tirto.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset. ICW beralasan, pengembalian kerugian negara dalam kasus korupsi masih dinilai kecil.
Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW, Wana Alamsyah, menjelaskan pengembalian kerugian keuangan negara yang dilakukan penegak hukum, berdasarkan perhitungan dari tren vonis kasus korupsi periode 2019-2023, hanya mencapai puluhan triliun atau sekitar Rp32,8 triliun. Padahal, kerugian keuangan negara akibat korupsi dalam empat tahun terakhir mencapai ratusan triliun atau sekitar Rp234,8 triliun.
Wana menilai, keberadaan beleid khusus seperti RUU Perampasan Aset menjadi keuntungan besar bagi kerja-kerja pemberantasan korupsi.
"Kerugian negara ada Rp234,8 triliun (selama 2019-2023) akibat korupsi, tapi yang bisa dirampas hanya Rp32,8 triliun yang mana hanya 13 persen dan ini menurut kami adalah preseden buruk bagi pemberantasan korupsi karena tidak bisa mendapatkan nilai kerugian negara atas perilaku koruptor," kata Wana dalam diskusi bertajuk 'Tarik Ulur Nasib RUU Perampasan Aset' di Jakarta Selatan, pada Jumat (19/9/2025).
Wana mewanti-wanti terkait lima poin yang masih absen dalam draf RUU Perampasan Aset sejauh yang diketahui isinya oleh publik. Pertama, Wana menilai perlu ada klausul tambahan menyoal siapa subjek hukum yang dikenakan prinsip pembuktian terbalik terhadap kekayaan tidak wajar.
"Karena sampai saat ini subjek hukum masih umum. Sehingga nanti bisa disalahgunakan (pengenaannya)," ujar Wana.
Kedua, Wana melanjutkan, kecenderungan hukum acara dalam isi draf hanya berkutat pada norma non-conviction based asset forfeiture. Semestinya perlu ditegaskan beleid merujuk asas pembuktian terbalik. Ia beralasan, beban pengusutan hukum bertumpu pada harta tersangka atau terdakwa.
"Bukan (ditekankan) mengenai kekayaan dengan yang tidak wajar atau illicit enrichment. Sehingga penting dimasukkan," kata dia.
Ketiga, Wana menyoroti threshold atau ambang batas jumlah aset yang dapat dirampas. Berdasarkan Pasal 6 RUU Perampasan Aset per April 2023, aset yang berhak dirampas bernilai paling sedikit Rp 100 juta saja dan diancam dengan empat tahun atau lebih. Beleid tidak menghitung dinamika perekonomian sebagai konsekuensi logis nilai uang.
"Dalam perspektif masyarakat sipil ini perlu disesuaikan karena perampasan paling sedikit 100 juta ini bagi kami (kecil) angka kerugian (dibanding) sepanjang 20 tahun setidaknya," ungkapnya.
Keempat, Wana menegaskan perlu ada penguatan pelaksanaan lebih guna memastikan perampasan aset berjalan maksimal karena tak jarang koruptor lebih mahir menyamarkan aset hasil bancakan dibanding kerja-kerja penelusuran aset oleh aparat penegak hukum.
"Mulai pengalihan dan penyamaran kekayaan ke keluarganya sampai ke perusahaan cangkang," kata dia.
Kelima, Wana menyoroti sejauh mana otoritas kejaksaan dalam proses penyisiran dan pengembalian kerugian dari hasil bancakan. Tujuannya agar mekanisme check and balance terlaksana. "Misalnya dari konteks penyimpanan sampai pemeliharaan diatur lembagai lain," ujar dia.
Kelima poin di atas penting digaungkan terus agar masuk konten RUU Perampasan Aset. Sebab, tarik mundur pembahasan beleid ini terjadi tiap tahun. Mulai dari Jokowi yang hanya menerbitkan surat presiden hingga Prabowo yang mulai angkat suara setelah muncul protes publik.
"Kami menduga ini jangan-jangan hanya untuk meredam kemarahan publik," kata dia.
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Andrian Pratama Taher
Masuk tirto.id


































