tirto.id - Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) harus berbesar hati usai bakal calon presiden (capres) Anies Baswedan dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) memilih Abdul Muhaimin Iskandar sebagai pendampingnya. Ketua Umum Partai Demokrat itu, bahkan mengaku sudah move on dan siap menyambut peluang baru ke depan.
“Hari ini kami keluarga Partai Demokrat dengan berbesar hati dan dengan kerendahan hati menyatakan move on dan siap menyongsong peluang-peluang baik di masa depan,” kata AHY dalam konferensi pers di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta Pusat, Senin (4/9/2023).
Awalnya, AHY sempat mendapatkan angin segar dari Anies untuk mendampinginya maju di Pilpres 2024. Permohonan Anies ditulis tangan menggunakan pena berwarna biru yang dibuat pada 25 Agustus 2023.
Namun di tengah jalan, manuver politik Muhaimin Iskandar atau Cak Imin membuat peta politik nasional jelang pendaftaran berubah. Cak Imin tiba-tiba berbelok dukungan dari Prabowo Subianto ke Anies dan menerima pinangan dari Ketua Umum NasDem Surya Paloh.
Kejadian itu lantas membuat Partai Demokrat mencabut dukungannya kepada Anies di Pilpres 2024. Sikap ini juga menjadi buntut kekecewaan Demokrat terhadap keputusan Anies dan partai pendukungnya, Nasdem, yang memilih Cak Imin sebagai bakal calon wakil presiden.
Selain itu, Partai Demokrat tidak lagi berada di dalam KPP karena telah terjadi pengingkaran terhadap kesepakatan yang dibangun selama ini. Demikian dua keputusan dari rapat majelis tinggi partai.
Keputusan partai berlambang mercy tersebut yang kemudian dianggap oleh sebagain pihak sebagai sikap setengah dalam mengusung calon. Apalagi, Partai Demokrat punya kasus hampir mirip pada Pilpres 2019. Saat itu, Demokrat dinilai setengah hati mendukung Prabowo dan Sandiaga Uno usai AHY gagal jadi cawapres.
Dosen politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin menilai, sikap Demokrat yang setengah hati ditenggarai karena bisa jadi kurang cocok dengan koalisi dan partai pendukung lain. Sehingga Demokrat berbelok arah dan menentukan sikapnya sendiri.
“Iya karena memang mungkin Demokrat punya cara sendiri. Caranya bisa jadi kurang pas, kurang tepat, dan kurang cocok dengan koalisi lain," kata Ujang kepada reporter Tirto, Selasa (12/9/2023).
Ujang menyebut, langkah Demokrat tidak total mendukung paslon memang terekam pada Pilpres 2019. Sikap setengah hati ini dipertontonkan lantaran AHY tidak jadi cawapres Prabowo. Prabowo saat itu justru memilih berpasangan dengan Sandiaga. Sehingga Demokrat tidak full power karena dianggap tidak menguntungkan bagi elektoral partainya.
“Maka harus berjuang sendiri di pileg bukan di pilpres ketika AHY tidak jadi cawapres Prabowo di 2019. Akhirnya setengah hati di situ,” kata Ujang.
Dukungan setengah hati Demokrat kala itu disampaikan secara terang-terangan melalui Andi Arief. Andi yang saat itu menjabat sebagai Wakil Sekjen DPP Demokrat, melalui akun Twitter pribadinya @Andiarief_ menulis partainya tidak akan turut mengampanyekan Sandiaga Uno sebagai cawapres Prabowo Subianto di Pilpres 2019.
Twit itu kemudian memunculkan spekulasi partai berlambang logo mercy ini setengah hati memberi dukungan ke Prabowo-Sandi.
“Partai Demokrat tidak akan mencampuri bahkan bergabung dengan komitmen kampanye Sandi, PAN dan PKS. Sampai saat ini pembicaraan intens dan matang itu berkoalisi dengan Prabowo dan Gerindra. Sesekali Prabowo, AHY, dan SBY bisa bergabung dalam kampanye yang diadakan Gerindra,” tulis Andi kala itu.
“Saat ini pun misalkan, ketika AHY tidak jadi cawapresnya Anies memang pasti keluar dan sudah keluar, kan, begitu logikanya,” kata Ujang menambahkan.
Dalam konteks tertentu, Ujang melihat, Demokrat masih memiliki kekurangan. Bisa jadi AHY atau justru Demokrat-nya tidak punya nilai jual di mata koalisi lain. Atau mungkin Demokrat tidak mau keluar uang banyak untuk bisa memberi kompensasi partai lain atau memberikan kontribusi untuk kampanye yang membutuhkan uang besar.
“Mungkin banyak hal bisa saja kita potret dari posisi Partai Demokrat. Bukan persoalan ego atau lain sebagainnya. Saya tidak tahu apakah ego atau tidak yang pasti dalam konteks koalisi, ya harus sama-sama senang, sama-sama enak," jelasnya.
Di sisi lain, keinginan Demokrat yang memaksakan agar AHY menjadi cawapres di 2019 dan 2024 dinilai tidak membuat partai koalisi senang. Sehingga partai lain balik arah meninggalkan Demokrat dan AHY.
“Bisa jadi seperti itu saya melihatnya," imbuhnya.
Sebaliknya, Direktur IndoStrategi Research and Consulting, Arif Nurul Iman berpandangan, konteks Pilpres 2024 dengan sebelumnya di 2014 dan 2019 tentu berbeda bagi Demokrat. Pada pilpres sebelumnya, Demokrat tidak memiliki tokoh yang hendak disokong ikut berlaga dalam pilpres.
Namun kini, kata Iman, Demokrat memiliki AHY yang jika ada kesempatan politik akan maju dalam pilpres. “Meski hari ini sudah keluar dari koalisi perubahan, saya kira pilpres ke depan Demokrat akan full power dalam memberi dukungan meski AHY tidak maju dalam pilpres,” katanya kepada Tirto.
Respons Partai Demokrat
Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani menepis sikap partainya yang disebut setengah hati dalam memberikan dukungan kepada bakal calon presiden. Dia mengklaim Partai Demokrat selalu berikhtiar dengan sungguh-sungguh baik pileg maupun pilpres.
“Semua partai politik tentunya ingin sukses pemilu, baik itu pileg maupun pilpres. Jadi itu pemikiran yang tak tepat jika menganggap Partai Demokrat tak sungguh-sungguh berjuang untuk sukses pilpres," kata Kamhar saat dikonfirmasi reporter Tirto, Selasa (12/9/2023).
Dia memastikan, partainya tidak kendur dan akan bersungguh-sunguh meski tidak mendapatkan kesempatan sejarah kembali untuk memperjuangkan kader utama dan terbaik Partai Demokrat sebagai kontestan.
“Ini akibat presidential threshold 20 persen yang menghambat kesempatan partai politik mengajukan kader-kader terbaiknya. Ini mendistorsi demokrasi," katanya.
Sementara itu, Kepala Badan Komunikasi Strategis Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra menilai wajar, jika partainya menarik dukungan terhadap Anies. Sebab, Demokrat merasa dilukai dengan pengkhianatan yang dilakukan oleh Koalisi Perubahan.
“Anies yang selingkuh dan mengkhianati kami, mengapa kami malah yang dianggap tidak full power mendukung?” kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (11/9/2023) malam.
Dia menegaskan Anies lah yang mengajak dan meminta AHY menjadi cawapres. Bukan justru kehendak partai yang dianggap memaksakan AHY menjadi cawapres Anies.
“Dia yang membuat kesepakatan diam-diam dengan Nasdem dan PKB tanpa melibatkan kami, punya hidden agenda, mengingkari kesepakatan dan komitmen bersama, mengapa malah kami dianggap berseteru dengan Anies?" kata dia.
Demokrat sendiri, klaimnya telah membuktikan sebagai sahabat setia dan militan. Sejak 7 Oktober 2022, ketika Anies datang ke kantor Demokrat, AHY menegaskan kepada seluruh kader, per hari itu petarung AHY adalah petarung Anies.
"Padahal, belum ada komitmen apa-apa. Belum ada kesepakatan koalisi. Belum ada mandat bacapres untuk Anies. Kan kita tahu piagam baru di 14 Februari 2023," katanya.
Sejak saat itu, partainya melaksanakan seluruh arahan AHY. Kader seluruh Indonesia, membela Anies di berbagai front, di media sosial, media massa, termasuk ratusan diskusi publik di layar kaca, podcast, maupun di ruang-ruang publik lainnya.
Dalam perjalanannya bersama Anies, Herzaky mengaku, partainya didekati bolak-balik dengan partai lain. Namun tak sedikit pun, kata dia, Demokrat tergoda dengan tawaran tersebut.
“Tak ada pula pembicaraan di belakang yang tidak kami komunikasikan dengan mantan mitra koalisi dan mantan bacapres. Kami berkomitmen dan pegang teguh etika politik. Bukan seperti yang lain menganggap remeh kesepakatan dan komitmen, serta dengan gampangnya buat pertemuan diam-diam di belakang,” tutupnya.
Sampai hari ini, arah Demokrat dalam Pilpres 2024 masih berada di persimpangan. Demokrat masih menunggu keputusan Majelis Tinggi Partai yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk berkoalisi setelah dikhianati oleh Anies.
“Menurut pandangan saya, saat ini, hari ini, besok atau lusa. Belum saatnya kita mengambil keputusan ke mana Demokrat akan bergabung misalnya. Atau capres mana yang kita dukung. Atau contoh yang lain,” kata SBY.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz