Menuju konten utama

Rukhsah Shalat Bagi Musafir & Ketentuan Shalat dalam Perjalanan

Berikut ini ketentuan rukhsah shalat bagi musafir di atas kendaraan beserta hal-hal yang perlu diperhatikan terkait shalat dalam perjalanan.

Rukhsah Shalat Bagi Musafir & Ketentuan Shalat dalam Perjalanan
Ilustrasi musafir melakukan safar. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Musafir dikenai ketentuan berbeda dari orang yang mukim dalam pelaksanaan salat. Hal ini terjadi karena pelaku perjalanan lazimnya menemukan kesukaran tertentu dalam menunaikan rukun Islam tersebut.

Oleh karena itu, Islam memberikan rukhsah (keringanan) bagi musafir dalam pendirian salat fardu. Di antara rukhsah tersebut, misalnya menunaikan salat di atas kendaraan. Musafir juga mendapatkan rukhsah bersuci dengan tayamum, jika tidak memungkinkan untuk berwudu.

Dalam pelaksanaan rukhsah tersebut, musafir harus mengetahui batas awal hingga akhir diperbolehkannya mengambil kemudahan tersebut. Pengetahuan ini penting karena menentukan sah atau tidaknya pelaksanaan rukhsah salat fardu bagi musafir.

Sederhananya, musafir adalah orang yang melakukan safar, perjalanan keluar dari daerahnya dengan ketentuan dan jarak tertentu.

Seorang muslim dianggap musafir dalam Islam apabila memenuhi tiga kriteria, yaitu berniat safar, keluar dari daerahnya, dan memenuhi jarak tertentu. Menurut pendapat para ulama, jarak minimal safar ialah 81 km.

Ketentuan Salat di Atas Kendaraan bagi Musafir

Seorang musafir yang melakukan perjalanan dengan menaiki kendaraan sebaiknya tetap melakukan salat fardu dengan turun dari kendaraan.

Hal ini dikatakan Nabi Muhammad dalam hadis riwayat Jabir bin ‘Abdillah RA berikut:

“Rasulullah SAW salat [sunah] di atas kendaraannya menghadap ke mana pun kendaraannya itu menghadap. Namun, apabila beliau hendak salat fardu, beliau turun dan salat menghadap kiblat,” (H.R. Bukhari).

Akan tetapi, terkadang terdapat kendala-kendala tertentu yang menyebabkan salat terpaksa dilaksanakan di atas kendaraan. Di antaranya, misalnya khawatir waktu pelaksanaan salat fardu habis.

Rasulullah SAW pernah memerintahkan Ja’far bin Abi Thalib menunaikan salat di kendaraan ketika ke Habasyah sebagai berikut: “Nabi Muhammad memerintahkan Ja’far bin Abi Thalib untuk salat di atas kapal laut dengan berdiri selama tidak takut tenggelam,” (H.R. Al-Bazzar).

Dalil ini kemudian digunakan oleh umat Islam untuk mendirikan salat di atas kendaraan dengan tetap mempertimbangkan ketentuan-ketentuan tertentu.

Sutrisno dalam bukuFikih (2020:55) menuliskan ketentuan salat di atas kendaraan, baik itu pesawat, bus, kereta, atau kapal laut sebagai berikut:

  • Seyogianya salat dengan berdiri menghadap kiblat apabila mampu.
  • Berusahalah tetap salat berjemaah (terutama bagi laki-laki).
  • Mendirikan salat seperti biasa.
  • Apabila tidak mampu rukuk, cukup dengan menundukkan kepala dalam keadaan berdiri.
  • Apabila tidak mampu sujud, cukup dengan duduk seraya menundukkan kepala.
  • Apabila salatnya dikerjakan dalam keadaan duduk, ketika rukuk dan sujud cukup dengan menundukkan kepala, serta menjadikan posisi kepala untuk sujud lebih rendah.

Ketentuan Tayamum bagi Musafir

Seorang yang safar menggunakan kendaraan umum tanpa toilet terkadang mengalami kendala berwudu.

Meskipun wudu dapat dilakukan menggunakan air mineral, namun pihak kendaraan publik kerap melarangnya.

Oleh karena itu, Islam memberikan rukhsah bagi musafir dalam bersuci, yakni dengan tayamum. Syekh Mushthafa al-Khin, ulama besar Damaskus dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzahib Al-Imam As-Syafi’i (1992)menjelaskan satu dari 4 alasan diperbolehkannya tayamum, yaitu ketiadaan air, baik secara kasat mata maupun secara syariat.

Ketiadaan secara kasat mata artinya air tidak dimiliki atau tak ditemukan musafir saat safar. Sementara ketiadaan secara syariat, airnya ada, namun digunakan untuk kebutuhan lain seperti minum.

Tayamum di atas kendaraan dapat dilakukan menggunakan debu yang suci. Berdasarkan uraian “Sebab dan Tata Cara Bertayamum” yang ditulis M. Tatam Wijaya di NU Online, berikut ini beberapa hal yang harus diperhatikan saat bertayamum:

  • Tayamum harus dilakukan setelah masuk waktu salat.
  • Jika alasannya ketiadaan air, keadaan itu harus dibuktikan setelah melakukan pencarian setelah masuk waktu salat.
  • Tanah yang digunakan harus bersih, lembut, dan berdebu. Artinya, tidak basah, tidak bercampur tepung, kapur, batu, dan kotoran lainnya
  • Tayamum hanya sebagai pengganti wudu dan mandi besar, bukan pengganti menghilangkan najis. Artinya, sebelum bertayamum, najis harus dihilangkan terlebih dahulu.
  • Tayamum hanya bisa digunakan untuk sekali salat fardu.
  • Tayamum berbeda dengan wudu. Jika wudu setidaknya ada 6 rukun, tayamum hanya memiliki 4 rukun: niat dalam hati, mengusap wajah, mengusap kedua tangan, dan dilakukan dengan tertib.

Batas Diperbolehkan Mengambil Rukhsah bagi Musafir

Ketentuan diperbolehkannya musafir mengambil rukhsah ialah ketika telah melewati batas desanya.

Sementara itu, batas akhir kemudahan musafir dalam menunaikan salat fardu juga sama, yakni sebelum mencapai batas desanya ketika kembali pulang.

Batas ketentuan ini meliputi seluruh rukhsah bagi musafir mulai dari salat jamak, qasar, salat di atas kendaraan, hingga tayamum.

Baca juga artikel terkait AGAMA ISLAM atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Abdul Hadi