Menuju konten utama

Risiko di Balik Fleksibilitas Gig Economy bagi Pekerja Perempuan

Negara harus hadir untuk memastikan pekerja perempuan mendapatkan hak dasar termasuk dalam Gig Economy.

Risiko di Balik Fleksibilitas Gig Economy bagi Pekerja Perempuan
Perempuan berjilbab menghadap laptop. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Ekonomi gig atau gig economy kerap kali dianggap sebagai sesuatu yang menjanjikan. Tersebab fleksibilitas ruang dan waktu yang ditawarkan, sektor ini pun dipromosikan bagi kelompok perempuan. Gig economy adalah sistem ekonomi di mana tenaga kerja didominasi oleh pekerjaan lepas (freelance), kontrak jangka pendek, atau berbasis proyek, bukan pekerjaan tetap.

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) belum lama ini menyampaikan bahwa ekonomi gig bisa menjadi salah satu solusi untuk memacu tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan.

"Gig economy menjadi peluang bagi perempuan, karena ada fleksibilitas bekerja paruh waktu, terutama dengan adanya teknologi digital, yang memungkinkan perempuan bisa mengatur waktunya," ucap Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Keluarga dan Kependudukan, Woro Srihastuti Sulistyaningrum, diwartakan Antara, Kamis (5/6/2025).

Meski begitu, menurutnya, peningkatan kapasitas perempuan di dunia kerja masih menjadi suatu prasyarakat yang mesti dipenuhi untuk menjawab tantangan yang semakin beragam di era digital.

PERLINDUNGAN PEKERJA PEREMPUAN

Pekerja perempuan memproduksi alat pelindung diri sebuah perusahaan garmen saat kunjungan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah di Jakarta, Rabu (1/7/2020). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.

Berangkat dari masih banyaknya persoalan gender di dunia kerja, Woro mengatakan, pemerintah harus memenuhi hak-hak dasar seperti kesehatan dan pendidikan, untuk mendukung peningkatan TPAK bagi perempuan di dunia kerja.

"Untuk meningkatkan TPAK perempuan di dunia kerja, kita juga mesti melihat sisi permintaan dan penawaran. Mesti ada evaluasi juga, adakah kebijakan pasar yang masih tidak responsif gender? Namun, untuk meyakinkan perempuan agar mau bekerja itu peluangnya masih ada dengan teknologi," ujar dia.

Woro juga mengamini masih adanya pelanggaran hak pekerja perempuan di tempat kerja, serta kebijakan, regulasi, dan kondisi di tempat kerja yang kurang mendukung serta diskriminatif, mulai dari penerimaan, saat bekerja, dan purnakerja.

Ide soal mengoptimalkan TPAK perempuan ini memang penting lantaran masih terus terlihatnya kesenjangan partisipasi kerja antara laki-laki dan perempuan. Pada 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, TPAK laki-laki berada di level 84,66 persen, sementara perempuan hanya 56,42 persen.

Meski TPAK perempuan merangkak naik ketimbang tahun 2023, peningkatan ini tak terlalu signifikan dan masih menunjukkan selisih yang lebar dibanding partisipasi angkatan kerja laki-laki. Pada 2023, TPAK perempuan tercatat sebesar 54,52 persen dan laki-laki mencapai 84,26 persen.

Ilusi Fleksibilitas Ekonomi Gig

Ekonomi gig barangkali memang bisa dipertimbangkan sebagai alternatif menuju peningkatan TPAK perempuan. Menurut Peneliti Center for Digital Society (CfDS), Treviliana Eka Putri, hal ini lantaran ekonomi gig tak terbatas pada usia, sementara peraturan kerja formal di Indonesia sangat diskriminatif secara umur.

“Sementara kita ketahui juga perempuan itu ketika kemudian memilih untuk berkeluarga dan kemudian memiliki anak itu pada umumnya mereka harus terpaksa untuk memilih keluarga ataupun kerjaan,” ucap Trevi saat dihubungi Tirto, Jumat (20/6/2025).

Dilema itu kerap bikin perempuan memiliki semacam gap kerja dari pertama kali mereka bekerja, kemudian memutuskan untuk tidak bekerja karena mengurus keluarga misalnya, dan akhirnya mereka baru masuk ke pasar kerja kembali di usia yang dianggap sudah tua.

“Karena banyak sekali lowongan kerja yang mensyaratkan usia-usia yang sangat muda, sehingga di pasar kerja konvensional ini mereka dianggap sudah expired, tidak bisa bekerja lagi,” lanjut Trevi.

Tak cuma persoalan diskriminasi usia, diskriminasi juga kadang berbentuk cuti hamil yang tak sesuai, atau alpanya aturan cuti di hari pertama menstruasi. Akan tetapi, kata Trevi, hal pertama yang mesti dilihat adalah bukan ekonomi gig sebagai solusi, melainkan mengapa kita harus berbondong-bondong beralih ke ekonomi gig.

“Ini jadi menurut saya yang paling penting di awal adalah gimana supaya perempuan ini bisa lebih punya banyak kesempatan untuk terlibat di pasar kerja konvensional yang non gig ekonomi. Jadi gig ekonomi kan awalnya sebenarnya muncul ketika orang cari side hustle (pekerjaan sampingan), jadi bukan untuk pekerjaan utama,” ucap Trevi.

Milenial dan Freelance

Perempuan pekerja menggunakan laptop di ruang terbuka. FOTO/Istock

Gig sendiri sebenarnya dipinjam dari istilah manggung musisi jazz pada awal abad ke-20. Pekerja ekonomi gig termasuk pekerja informal dan bisa dibilang sebagai pekerja prekariat alias rentan. Kajian SMERU Research Institute menunjukkan kalau sektor ini rentan terhadap ketidakpastian dan guncangan ekonomi, rentan terhadap stres dan waktu kerja yang terlalu panjang, serta rentan terhadap kejahatan siber dan pencurian data pribadi.

Dengan begitu, fleksibilitas dalam ekonomi gig sebetulnya hanyalah ilusi. Menukil lansiran CfDS berjudul "Perempuan dan Mitos Fleksibilitas di Gig Economy", terdapat dua faktor struktural utama yang membatasi pekerja dalam mengatur waktu mereka. Pertama adalah ketersediaan pekerjaan yang didasarkan pada algoritma platform, dan kedua adalah ketergantungan pekerja terhadap pendapatan dari pekerjaan tersebut.

“Algoritma dari platform itu juga melihat seberapa rajin Anda untuk mengaktifkan jasa Anda untuk ngojek ataupun jadi kurir dan yang lainnya, yang itu akan berpengaruh kepada jumlah order yang bisa diterima dan yang lainnya. Jadi, kalau misalnya mau dibilang fleksibel ya enggak juga gitu, karena kalau mau dapat kerja ternyata juga harus ada yang dilakukan gitu, gak se-fleksibel yang dibayangkan,” ucap Trevi.

Belum lagi diskriminasi gender pun masih ditemukan di lapangan. Dalam konteks pekerja ekonomi gig ojek online (ojol) misalnya, diskriminasi gender kerap terjadi dalam bentuk pembatalan pesanan dari pelanggan, baik oleh karena stigma ataupun norma/kepercayaan mengenai pengemudi perempuan.

Tidak Bisa Hanya Mengejar Angka Partisipasi Kerja

Pekerjaan yang berbasis digital sebenarnya perlu disikapi hati-hati dan tidak serta merta dilihat sebagai sesuatu yang cemerlang. Pengamat ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjuddin Noer Effendi, menyebut pekerjaan semacam ini sebagai eksploitasi gaya baru. Itu karena ekonomi gig minim jaminan sosial dan tak memiliki kontrak kerja yang jelas.

Lagi pula, menurut Tadjuddin, peningkatan TPAK tak menjamin adanya peningkatan ekonomi atau kesejahteraan masyarakat.

Dalam teori ketenagakerjaan, semakin tinggi partisipasi angkatan kerja, maka akan meningkatkan kegiatan ekonomi. Tapi itu terjadi jika ada mekanisme yang jelas, misal pekerjaan dengan kontrak kerja.

“Tapi dengan cara kerja digital yang sekarang ini, mereka tidak punya ikatan apapun dengan perusahaan, sehingga mereka itu rawan untuk dieksploitasi,” ungkap Tadjuddin lewat sambungan telepon, Jumat (20/6/2025).

Asosiasi ojol pada Mei lalu bahkan menggelar aksi akbar, yang mana aksi ini tercatat sebagai kali kedua aksi dilakukan para asosiasi selama pertengahan 2025. Salah satu tuntutannya yakni untuk mendesak penetapan pengemudi ojol hingga kurir online sebagai pekerja tetap, bukan lagi hanya kemitraan.

“Ojol itu kemarin demo menuntut pemerintah agar mau membuat regulasi, sehingga mereka terlindungi, jamiran sosial katakan seperti itu. Jadi tidak ada pemutusan hubungan kerja (sepihak). Mereka itu gampang sekali kena PHK kalau tidak punya kontrak,” lanjut Tadjuddin.

Aksi demonstrasi ojek daring

Sejumlah pengemudi ojek daring (ojol) melakukan aksi demonstrasi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (20/5/2025). Dalam aksinya mereka menutut aplikator untuk menurunkan potongan komisi menjadi 10 persen dan juga mendesak pemerintah untuk menerbitkan UU Transportasi Online Indonesia. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.

Sekali lagi, ia menyebut kalau TPAK tidak meningkatkan ekonomi, melainkan hanya mencatat kegiatan bekerja dan tidak ada kaitannya dengan kesejahteraan. Itu mengapa meningkatkan TPAK sendiri tidaklah cukup.

Arif Novianto sebagai Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tidar, pun sepakat dan menganggap poin ini sangat penting. Oleh karenanya, pemerintah tidak bisa hanya mengejar angka partisipasi kerja perempuan tanpa memperhatikan kualitas kerjanya.

Ia mendorong pemerintah untuk memperkuat regulasi dan perlindungan hukum, terutama untuk sektor informal dan ekonomi gig. Negara harus hadir untuk memastikan pekerja perempuan memiliki hak dasar, yang meliputi upah layak, jaminan sosial, perlindungan maternitas, dan kebebasan dari kekerasan dan diskriminasi di tempat kerja.

“Sebab, hasil riset saya dan tim menunjukkan bahwa 31,5 persen perempuan pekerja gig pernah mengalami pelecehan/kekerasan seksual,” ungkap Arif kepada jurnalis Tirto, Jumat (20/6/2025).

Ilustrasi Mesin Tik dan Pekerja Perempuan

Ilustrasi Mesin Tik dan Pekerja Perempuan. iStockphoto/GettyImages

Ia juga menjelaskan bahwa risetnya di bawah Institute of Governance and Public Affairs (IGPA), yang berjudul Di Bawah Kendali Aplikasi: Dampak Ekonomi Gig terhadap Kelayakan Kerja “Mitra” Industri Transportasi Online, menemukan kalau pekerja gig perempuan cenderung memiliki upah lebih rendah dibanding laki-laki.

“Kedua, perlu ada perubahan paradigma: bahwa partisipasi kerja perempuan bukan sekadar urusan keluarga atau individu, tapi persoalan struktural dan tanggung jawab negara. Kita harus memastikan bahwa perempuan tidak hanya masuk dunia kerja, tapi juga bisa bertahan dan berkembang di dalamnya tanpa harus mengorbankan kesejahteraan dan martabatnya,” lanjut Arif.

Kalau pemerintah tidak melakukan regulasi yang ketat dan justru mendorong perempuan masuk ke sektor kerja tanpa perlindungan ini, menurut Arif, maka kita justru sedang menormalisasi ketimpangan dan kerentanan dengan bungkus peluang kerja baru.

Peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan lewat ekonomi gig, juga bakal menjadi strategi kuantitatif jangka pendek yang berisiko memperluas lapangan kerja yang sifatnya rentan, ketimbang memperkuat kualitas dan kelayakan kerja perempuan.

“Pada konteks itu, lapangan kerja yang banyak tanpa dibarengi kualitas pekerjaan dan kelayakan kerja, maka akan menjadi persoalan lain atau omong kosong. Dan justru menunjukkan kegagalan negara dalam memberi pekerjaan yang layak bagi rakyatnya, sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi Indonesia,” ungkap Arif.

Baca juga artikel terkait GIG ECONOMY atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Anggun P Situmorang