Menuju konten utama

Mengenal 'Gig Economy': Dunia Kerja Baru yang Rentan Eksploitasi

Forbes menulis bahwa pekerja lepas di gig economy seringkali merasa tereksploitasi. Apalagi jika mereka mengandalkan pekerjaan freelance sebagai mata pencaharian utama.

Mengenal 'Gig Economy': Dunia Kerja Baru yang Rentan Eksploitasi
Perempuan pekerja menggunakan laptop di ruang terbuka. FOTO/Istock

tirto.id - Dunia kerja mengalami transformasi pesat berkat perkembangan internet. Disadari atau tidak, peluang dunia kerja saat ini jauh lebih besar dari beberapa dekade silam. Melalui internet, pekerjaan-pekerjaan kontrak jangka pendek amat mudah didapatkan, seperti permintaan edit video, melakukan program web dan perangkat lunak, hingga transportasi daring.

Melonjaknya pekerjaan-pekerjaan kontrak dalam jumlah yang amat besar ini dikenal dengan sebutan gig economy. Apa itu? Dikutip dari BBC, kata gig berarti proyek kontrak sementara, yang biasanya digunakan di industri hiburan. Namun, dikarenakan banyaknya jenis pekerjaan dengan cara kontrak atau freelance menjadikan gig economy memiliki istilah tersendiri.

Pekerja di gig economy bisa dibilang sebagai pekerja kontrak independen. Misalnya di bidang desain web, penulis lepas, hingga driver ojek daring. Mereka tidak bisa dikategorikan sebagai karyawan. Hal ini dikarenakan mereka bekerja di bawah kontrak dengan perusahaan dan mengerjakan proyek secara mandiri.

Dilansir dari Forbes, 57 juta pekerja di Amerika merupakan bagian dari gig economy. Sedangkan di Indonesia, tren gig economy terus berkembang, ditandai dengan jumlah freelancer yang terus melesat. Menurut data statistik dari BPS per Mei 2019, jumlah pekerja lepas di Indonesia sebanyak 4,55 persen dari 129,36 juta pekerja di Indonesia. Jika dihitung, maka pekerja lepas berjumlah sekitar 5,89 juta orang.

Sribulancer, situs web penyedia jasa kebutuhan pekerja lepas medio 2019 merilis data bahwa pekerja lepas meningkat sebanyak 16 persen dari tahun 2018.

Melonjaknya fenomena gig economy sebenarnya tidak mengejutkan. Anthony Hussenot, profesor dari Université Nice Sophia Antipolis (UNS) telah memprediksi di artikelnya "Is freelancing the future of employment?". Ia menyatakan bahwa pekerjaan lepas (freelance) adalah pekerjaan masa depan.

Anthony menyatakan bahwa perkembangan dunia telekomunikasi dan pemanfaatan sumber daya bersama (crowdsourcing) menjadikan sejumlah bisnis tertentu tidak membutuhkan banyak karyawan tetap. Sebagai gantinya, perusahaan-perusahaan tersebut mempekerjakan pekerja lepas untuk proyek-proyek mereka.

“Model kerja kontrak, apapun jenisnya, menawarkan kebebasan kerja, kapan pun dan di mana pun ingin mengerjakannya," tulis Anthony.

Yang luput dari pengamatan Anthony bahwa pekerja lepas di gig economy rentan dieksploitasi oleh perusahaan penyedia layanan kerja.

Bagi beberapa jenis pekerja yang memiliki keterampilan profesional, dunia kerja gig economy menawarkan fleksibilitas, serta penghasilan menggiurkan. Misalnya, para konsultan yang mematok sendiri tarif mereka, demikian juga desainer, hingga pemrogram perangkat lunak.

Berbeda dengan pekerja yang tidak memiliki keterampilan profesional. Laman Forbes menulis bahwa pekerja lepas jenis ini seringkali merasa tereksploitasi. Apalagi jika mereka mengandalkan pekerjaan freelance sebagai mata pencaharian utama mereka.

Misalnya bekerja kontrak sebagai driver transportasi daring tidak menawarkan jenjang karir, pertumbuhan keterampilan, dan keamanan finansial. Terlebih lagi, undang-undang belum menjamin asuransi, hak cuti, hingga jaminan pensiun di masa tua.

Baca juga artikel terkait GIG ECONOMY atau tulisan lainnya dari Abdul Hadi

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Abdul Hadi
Penulis: Abdul Hadi
Editor: Alexander Haryanto