Menuju konten utama
Decode

Tarif Ojol Mahal, Siapa yang Diuntungkan?

Apa yang membuat harga layanan ojek online dinilai makin mahal?

Tarif Ojol Mahal, Siapa yang Diuntungkan?
Header Periksa Data Tarif Ojol Mahal, Siapa yang Diuntungkan. tirto.id/Fuad

tirto.id - Kenaikan tarif ojek online beberapa tahun terakhir, utamanya setelah pandemi, memantik keluhan dari konsumen. Meskipun tarif naik, banyak pengemudi tidak merasakan peningkatan pendapatan akibat potongan aplikasi yang signifikan. Pengemudi berharap adanya regulasi yang lebih adil dalam penentuan tarif agar dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.

Seniti (30) terkejut dengan pengeluarannya untuk transportasi sebulan terakhir. Perempuan asal Kota Depok, Jawa Barat ini, baru kembali dari merantau di Kota Yogyakarta, beberapa tahun belakangan. Dia selama ini memang mengandalkan transportasi daring, secara khusus ojek online (ojol), sebagai moda angkutan penunjang kegiatan sehari-hari.

“Kalau ditanya worth it atau enggak, kalau dibanding dulu (awal menggunakan aplikasi transportasi online, sekitar tahun 2016), ojol lebih murah dulu. Sekarang itu hitungannya mahal dan jarang banget diskonnya. Dulu itu sering banget dapat diskon,” ceritanya saat berbicara dengan Tirto, Selasa (8/10/2024).

Dia membandingkan tarif sekali perjalanan untuk jarak kurang dari tiga kilometer (km) dari rumahnya ke stasiun terdekat, yang sekarang memakan biaya Rp13.500.

“Kalau dulu itu –sekitar 2016– sepertinya masih bisa Rp9 ribu, di bawah Rp10 ribu lah. Di Jogja juga sekarang, masih bisa di bawah Rp 10 ribu. Kalau di Jakarta kayaknya base-nya (batas minimal tarif) itu Rp13 ribu - Rp15 ribu deh,” ucap Seniti sambil mengira-ngira.

Untuk mencapai tempat kerjanya di daerah Jakarta Barat, Seniti biasanya menyambung lagi menggunakan ojol, untuk berangkat dari Stasiun Tanah Abang. Jarak ke tempat kerjanya sekitar 5 km dari stasiun transit di Jakarta Pusat itu.

“Gue paling murah pernah dapat (tarif) Rp18 ribu, tapi rata-rata Rp22 ribu. Apalagi kalau berangkat kerja itu jam rush hour ya, jadi mungkin itu juga yang bikin harganya lebih mahal,” tuturnya.

Jika dihitung, dalam satu hari, untuk pulang pergi kerja saja, dia bisa menghabiskan Rp35.500 untuk biaya ojol saja.

Senada, Alex (30), juga merasakan harga ojol yang makin mahal. “Gue mulai merasa mahal banget setelah Covid-19 sih. Mulai melonjak setelah kondisi (kondisi pandemi) agak normal, sekitar tahun 2022,” ujar pria yang tinggal di Jakarta Timur ini.

Setiap harinya, Alex mengandalkan ojol untuk berangkat ke kantornya di daerah Jakarta Utara yang berjarak sekitar 10 km dari rumahnya.

“Kalau tarif ke kantor itu, tadinya Rp25 ribu-Rp 28 ribu (tahun 2017-2019). Sekarang tiba-tiba sudah jadi Rp38 ribu itu pun pakai promo. Hitungannya kalau normal Rp43 ribuan,” terangnya.

Selisih harga sampai Rp18 ribu untuk satu kali perjalanan itulah yang menurutnya cukup memberatkan.

Dia juga menyebut sempat membandingkan tarif penggunaan ojol di Jakarta dengan koleganya yang sering pergi ke Makassar. Berdasar catatan mereka, terdapat hitungan tarif minimal untuk jarak dekat yang berbeda antara dua kota ini. “Kalau di Jakarta (tarif) minimalnya di kisaran Rp15 ribu, sementara kalau di luar Jabodetabek, masih bisa Rp10 ribu,” tambah Alex menyimpulkan.

Alex mengaku, dalam sebulan, jumlah transaksinya di salah satu platform ojol bisa mencapai Rp2 juta. Meski ada juga penggunaan untuk membeli makanan (Gofood atau Grabfood) dari angka tersebut, tapi jumlahnya cenderung kecil.

Alex menduga, mahalnya biaya transportasi ojol terkait dengan biaya layanan aplikasi yang mahal.

“Gue pernah ngintip handphone driver-nya pas sampai di tempat tujuan. Itu gue lihat yang dia dapat Rp20 ribuan. Itu kan berarti potongan platformnya lumayan. Meski tidak sampai 50 persen, tapi dari keseluruhan tarif mungkin sekitar Rp7 ribu sampai Rp10 ribu,” ujarnya.

Hal ini yang membuatnya terpikir untuk membeli saja sepeda motor untuk menunjang kebutuhan transportasinya. “Hitung-hitung kalau buat bensin, kemungkinan habis Rp250 ribu per bulan,” ujarnya.

Bagaimana Skema Perhitungan Tarif?

Argumen Alex tentang kenaikan harga ojol antara sebelum dan setelah adanya pandemi Covid-19, bisa jadi ada benarnya. Sebab, jika merujuk ketentuan tarif ojol yang dikeluarkan pemerintah, memang ada perubahan antara tahun 2019 dan tahun 2022.

Berdasar rangkuman Tirto, setidaknya ada empat kali penentuan tarif dalam Keputusan Menteri Perhubungan berubah dalam kurun waktu empat tahun itu.

Aturan teranyar soal tarif ojol tercantum dalam Keputusan Menteri Perhubungan RI (Menhub) KP 667 Tahun 2022, tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi. Dalam beleid tersebut, terdapat tarif batas atas dan tarif batas bawah untuk layanan ojol, yang dibagi lagi dalam tiga zona.

Berdasar aturan tersebut, untuk kasus Alex dan Seniti, yang tinggal di wilayah Jabodetabek, maka aturan tarifnya ikut di Zona II. Rentang biaya yang bisa diterapkan ojol untuk wilayah Jabodetabek, berdasar aturan ini antara Rp2.550-Rp2.800/km.

Jika membandingkan dengan tarif pada tahun 2019 ada perbedaan. Kala itu, pengaturan tarif ojol diatur dalam Keputusan Menhub Nomor KP 348 tahun 2019. Untuk Zona II, Jabodetabek, besaran tarifnya berkisar antara Rp2.000-Rp2.500/km.

Sebagai catatan nilai ini belum ditambah lagi dengan komponen biaya tidak langsung. Dalam beleid KP 348 tahun 2019 maupun KP 667 tahun 2022 mendefinisikan komponen ini sebagai biaya sewa penggunaan aplikasi. Besarannya paling tinggi 20 persen dalam KP 348 tahun 2019 dan 15 persen pada KP 667 tahun 2022.

Terkait biaya sewa penggunaan aplikasi, kemudian keluar revisi dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 1001 tahun 2022 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 667 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat Yang Dilakukan Dengan Aplikasi.

KP 1001 tahun 2022 menyebut besaran biaya sewa aplikasi paling besar 15 persen dan/atau tambahan biaya penunjang berupa biaya dukungan kesejahteraan mitra pengemudi paling tinggi 5 persen. Komponen yang ditambahkan terakhir mencakup asuransi keselamatan tambahan, fasilitas pelayanan mitra pengemudi, dukungan pusat informasi bantuan biaya operasional, dan bantuan lainnya.

Sederhananya, secara tarif dasar, memang terjadi kenaikan tarif sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri. Selain itu, terjadi perubahan juga dalam skema biaya tak langsung yang bisa jadi berpengaruh terhadap harga akhir yang diterima konsumen.

Selain menentukan tarif batas bawah dan batas atas, Keputusan Menhub yang beredar juga menentukan biaya jasa minimal. Ini adalah tarif paling rendah yang harus dibayarkan untuk penumpang untuk jarak tempuh 4 km pertama.

Tarif ini bisa menjadi jawaban untuk perhitungan tarif minimal yang sempat disebut oleh Seniti dan Alex.

Lebih lanjut, Tirto juga sempat mencoba menanyakan tarif ideal untuk ojol kepada dua orang konsumen yang kami wawancarai ini. Keduanya mengatakan perhitungan tarif sekitar Rp3.000 per km menjadi patokan yang cukup pas. Dengan catatan nilai tersebut sudah termasuk juga untuk biaya layanan aplikasi.

“Itu masuk akal karena kan harus mikir juga uang itu harus masuk ke driver, juga harus masuk ke platform juga. Kalau ingin menguntungkan diri sendiri saja sih, saya maunya Rp15 ribu (untuk jarak 10 km, merujuk jarak ke kantornya dari rumah). Tapi kan gak mungkin juga, akan jadi pada susah kalau begitu,” tutur Alex.

Dia juga menyebut tidak berkeberatan dengan kenaikan tarif kalau memang untuk menunjang kesejahteraan pengemudi ojol. Sebab, menurut dia kalau tarifnya naik karena biaya aplikasi, dia berharap ada peningkatan layanan juga yang diberikan aplikasi.

Sementara Seniti lebih berharap ada lebih banyak lagi promo/potongan harga. Sebab solusi ini menurut dia tidak akan berpengaruh terhadap pendapatan pengemudi ojol. “Harapan gue harga bisa affordable buat customer tapi gak jadi beban buat driver,” tuturnya menyimpulkan.

Driver Ojol Tidak Menikmati Kenaikan Pemasukan

Celakanya, harga mahal yang dirasakan konsumen, ternyata tidak langsung berdampak pada kenaikan pendapatan pengemudi alias mitra ojek online.

Riza (35), yang sejak empat tahun terakhir menjadikan ojol sebagai profesi utamanya, mengaku tak merasakan adanya dampak kenaikan tarif ojol terhadap penghasilannya sebagai mitra pengemudi.

“Penyesuaian tarif (kenaikan) mungkin ada ya tapi kecil. Soalnya yang saya rasain dari tahun ke tahun tarif sih segitu-gitu aja. Jadi gak ngaruh ke pendapatan, malah makin ke sini pendapatan saya turun terus,” ceritanya kepada Tirto, Kamis (10/10/2024)

Ia menyoroti sejumlah hal, mulai dari tarif yang dirasa rendah, tingginya biaya potongan aplikasi (biaya sewa penggunaan aplikasi), jumlah pengemudi ojek online yang makin banyak, hingga makin tingginya biaya operasional seperti BBM dan perawatan motor yang dinilai turut andil dalam mempengaruhi penurunan pendapatannya.

“Dulu tuh gak ada potongan biaya dari aplikasi, tapi sekarang malah ada dan bisa sampai 20 persen. Lumayan banget itu (jumlah potongan aplikasi) buat kita, kadang narik sehari cuma nutup buat bensin sama makan aja,” katanya.

Apa yang disampaikan Riza nampak sesuai dengan hasil survei IDEAS pada 2023 terhadap 225 pengemudi ojol di 10 titik simpul transportasi di Jabodetabek. Dari responden dengan masa kerja lebih dari empat tahun, diketahui bahwa rata-rata pendapatan kotor pengemudi ojol memang cenderung menurun, yaitu dari Rp305 ribu per hari di masa pra pandemi (2018-2019) menjadi hanya Rp175 ribu per hari di masa pasca pandemi (2022-2023).

Lebih jauh, pendapatan yang semakin turun inipun harus diraih dengan kerja yang sangat keras. Mitra ojek daring rerata menyelesaikan 10 order per hari, menempuh jarak 42 km per hari dan menghabiskan waktu kerja hingga 11 jam per hari.

Dengan menggunakan asumsi 24 hari kerja, survei IDEAS juga menemukan bahwa rata-rata pendapatan kotor bulanan ool secara umum berada dibawah upah minimum kota. Sebagai contoh, rerata pendapatan kotor bulanan responden ojol di Kota Bekasi adalah Rp3,9 juta atau hanya sekitar 79 persen dari upah minimum kota yang Rp5 juta.

Survei IDEAS juga mengonfirmasi adanya potongan biaya sewa penggunaan aplikasi dari aplikator sebesar 20 persen seperti yang diungkap Riza. Hasil survei mengungkap, sebanyak 52,9 persen responden menyatakan bahwa potongan yang dikenakan aplikator ke mereka mencapai 20 persen. Hal ini secara jelas melanggar KP 667 Tahun 2022 yang menetapkan biaya sewa aplikasi dari bisnis ride hailing maksimum 15 persen.

Meski begitu, dalam KP 1001 tahun 2022, aturan tersebut direvisi. Perusahaan aplikasi memang memiliki batas maksimal penerapan biaya sewa penggunaan aplikasi paling tinggi 15 persen. Namun, perusahaan dapat menerapkan biaya tambahan dukungan maksimal 5 persen dalam bentuk asuransi keselamatan, dukungan pusat informasi, dan bantuan lainnya.

Keresahan yang sama dirasakan oleh pengemudi ojol lain, yaitu Danny Stephanus. Danny, yang juga aktif sebagai Ketua Bidang Teknis Asosiasi Pengemudi Transportasi Daring Garda Indonesia, menganggap tarif ojek online yang berlaku saat ini tidak manusiawi.

Ia beralasan, aturan tarif dasar ojol yang ditetapkan oleh pihak aplikator saat ini tidak berdasarkan dengan ketentuan yang diatur oleh pemerintah, melainkan algoritma supply and demand yang ditentukan aplikator.

“Tarif yang diperlakukan itu sangat amat tidak manusiawi. Karena perhitungan tarif di ojol itu tidak berdasarkan komponen tarif yang berlaku bagi angkutan. Sampai hari ini perhitungan tarif ojek online itu berdasarkan algoritma supply and demand. Tidak ada tarif yang berdasarkan peraturan pemerintah,” ceritanya saat dihubungi Tirto, Selasa (8/10/2024)

Danny menjelaskan bahwa perhitungan tarif berdasarkan algoritma supply and demand ini tidak berdasarkan pada sejumlah komponen tarif yang ditetapkan pemerintah.

Supply and demand, apabila demand-nya, permintaan banyak, suplainya ojol yang ada di wilayah tertentu itu sedikit, maka harga akan naik. Tapi sebaliknya, apabila ojolnya nguleng kayak laler hijau, tapi permintaannya sedikit, harga akan turun,” tambahnya.

Imbasnya, ia dan rekan-rekan sesama mitra pengemudi ojek online sering kali mendapatkan argo tarif yang di bawah standar batas biaya minimal. “Buktinya masih ada argo goceng (Rp5 ribu) tuh. Itu yang bikin teman-teman pengemudi marah,” ceritanya

Ia mengusulkan agar nantinya perhitungan tarif bagi ojol itu berpedoman pada aturan perhitungan tarif yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan Organisasi Angkutan Darat (Organda) masing-masing wilayah.

“Setiap wilayah kan punya kepadatan lalu lintas yang berbeda. Jadi, kita kembalikan aja ke perhitungan Organda. Paling nggak, kalau berdasarkan perhitungan Organda, komponen tarif itu ada semua. Ada tentang biaya BBM, biaya modal, ada penyusutan, perawatan, kan ada semua," katanya.

Menanggapi skema algoritma supply and demand yang digunakan aplikator dalam penentuan tarif ojol, Peneliti Ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menganggap hal itu sah-sah saja asal tidak melanggar peraturan tarif ambang batas atas dan ambang batas bawah yang ditetapkan pemerintah.

“Platform ketika menentukan harga harus berpedoman terhadap peraturan tersebut. Ketika harga turun, maka tidak boleh lebih rendah dari ambang batas bawah. Ketika harga naik, maka tidak boleh lebih tinggi dari ambang batas atas. Skema supply and demand selama tidak melanggar aturan ambang batas tersebut, saya rasa masih fine saja,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (8/10/2024)

Selanjutnya, terkait polemik adanya promo tarif hemat dari aplikator yang dianggap merugikan pengemudi online. Huda menilai, adanya potongan promo atau diskon dalam bentuk apapun dari sisi aplikator secara cost harus ditanggung oleh aplikator itu sendiri dan tidak dibebankan ke pengemudi.

“Misalkan aturan tarif Kemenhub itu minimal dalam 5 kilometer itu mendapatkan Rp10 ribu. Nah, ketika ada promo platform dari yang harga Rp10 ribu itu konsumen jadi hanya membayar Rp8 ribu. Lalu, Rp2 ribu nya itu harusnya dibebankan ke platform bukan pengemudi. Tidak boleh pengemudi ini mendapatkan kurang dari apa yang sudah diatur oleh pemerintah,” tambahnya.

Sementara, Huda menilai ada celah aturan yang “tricky” soal biaya potongan aplikasi dalam tarif ojol. Ia menjelaskan, biaya potongan aplikasi dalam bentuk komponen sewa jasa layanan platform asal jumlahnya sesuai dengan batas aturan yang diterapkan masih diperbolehkan.

Masalahnya, ada beberapa komponen tambahan lain yang dibebankan dan secara aturan belum diatur. “Namanya bisnis, platform akan terus mencari keuntungan. Melalui apa? Platform fee, asuransi perjalanan dan sebagainya. Nah ini yang akhirnya membuat potongan itu lebih dari 20 persen,” tambah Huda.

Perusahaan Penyedia Aplikasi Tidak Keluar Koridor Aturan

Menanggapi keluhan konsumen juga oleh mitra terkait tarif, Gojek, salah satu perusahaan teknologi penyedia layanan ojol pertama dan terbesar di Indonesia, mencoba meluruskan beberapa hal. Terkait dengan pengenaan biaya tambahan yang kelewat besar, mereka mengaku selalu mengikuti aturan yang berlaku.

“Tarif dan Komisi Gojek sudah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah baik melalui KP 1001/2022 untuk kendaraan roda dua dan PM 118/2018 untuk kendaraan roda empat dari Kemenhub. Gojek selalu memastikan bahwa biaya komisi dan tarif yang diterima driver sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” ujar Head of Corporate Affairs Gojek Rosel Lavina, lewat pesan tertulis kepada Tirto, Kamis (10/10/2024).

Rosel menambahkan dalam menentukan tarif, Gojek mempertimbangkan beragam aspek dengan tujuan untuk memberikan layanan terbaik bagi konsumen. “Tarif kami juga dirancang untuk dapat memastikan kualitas dan keandalan layanan kami di samping memastikan kesesuaian tarif kami dengan peraturan yang berlaku, daya beli konsumen, serta standar di industri yang berlaku,” tambahnya.

Dalam informasi dalam situs resminya, perusahaan teknologi ini juga menjabarkan terkait biaya jasa aplikasi. Komponen biaya ini didefinisikan sebagai biaya yang dikenakan di sejumlah layanan untuk mendukung peningkatan produk serta pengalaman pengguna melalui inovasi dan peningkatan teknologi.

Dari biaya inilah perusahaan bisa mengalokasikan dana untuk pengembangan fitur. Besaran biaya jasa aplikasi juga bervariasi tergantung sejumlah faktor, termasuk jenis layanan yang diberikan.

Sementara terkait dengan algoritma supply and demand yang dikeluhkan oleh mitra, Gojek juga menaruh informasi ini di situs resmi mereka. Hal ini mereka sebut sebagai penetapan harga dinamis untuk transportasi.

“Pada saat kamu menggunakan layanan Transportasi Gojek seperti GoRide, GoCar, dan Gocar L, harga dapat berubah sewaktu-waktu. Penetapan harga yang dinamis tersebut ditentukan oleh sistem kalkulasi yang bergantung pada permintaan dan penawaran yang seimbang mengikuti kondisi area sekitarmu,” begitu tulis Gojek dalam keterangan situs resmi mereka.

Harga dinamis diterapkan dengan tujuan untuk memastikan waktu tunggu yang lebih singkat bagi konsumen juga bagi mitra pengemudi. Selain itu harapannya hal ini juga bisa memberi kepastian permintaan yang seimbang untuk mendukung kesejahteraan para mitra pengemudi.

“Pada saat permintaan tinggi, kamu dapat dikenakan harga yang sedikit lebih tinggi seperti yang dapat dilihat di termometer kecil di halaman pemesanan kamu, namun kami pastikan bahwa harga yang tertera tersebut tetap mengikuti harga batas atas dan batas bawah yang telah diatur oleh pemerintah,” tambah keterangan informasi Gojek.

Dalam artikel pada 24 Februari 2024, Gojek juga menjabarkan skema tarif khusus saat jam sibuk. Hal ini bisa jadi contoh implementasi dari harga dinamis yang disebut di atas.

Gojek juga menekankan komitmennya untuk program kesejahteraan bagi mitra pengemudi, Gojek juga meluncurkan program khusus. Awal tahun 2024 lalu mereka sempat meluncurkan 12 Program Kesejahteraan Mitra Pengemudi.

Kami juga sempat mencoba meminta keterangan dari perusahaan teknologi penyedia jasa ojol lain seperti Grab, namun hingga artikel ini diturunkan, perusahaan tersebut belum memberikan tanggapan.

Perlu Ada Payung Hukum dan Lembaga Khusus yang Menaungi Ojol

Huda dari Celios menjelaskan pasar yang terbentuk dari bisnis transportasi digital seperti ojol ini dalam ekonomi disebut sebagai two-sided market atau pasar yang mempunyai dua sisi konsumen atau lebih.

“Pertama adalah dari sisi konsumen akhir seperti penumpang. Nah, penumpang ini sebagai konsumen tentu dari layanan ojek online. Yang kedua adalah dari sisi driver-nya. Driver itu sebagai konsumen dari aplikasi juga gitu. Jadi aplikasi itu dia mempunyai dua sisi konsumennya,” tutur Huda.

Ia menambahkan, dalam sistem two-sided market ini, penentuan harga, yaitu tarif ojol idealnya harus dilakukan dengan cara menghitung dua pembentuk harga. Pertama, mencari titik equilibrium biaya dari driver dengan biaya operasional dari driver. Hal ini dilakukan untuk menciptakan keseimbangan biaya dari sisi driver.

Kedua, mencari titik kesimbangan harga dari sisi permintaan konsumen dengan supply layanan dari platform. Ketika harga terbentuk maka bisa dihitung biaya keuntungan bagi platform. Keuntungan tersebut bisa “dibagi” oleh platform ke driver dan ke platform.

“Makanya memang ini harus mencari titik formulasi yang bagi ketiga belah pihak, yaitu platform, kemudian bagi mitra driver, dan juga bagi konsumen. Harus ada titik keseimbangan harga antara yang dibebankan kepada driver dan juga yang dibebankan kepada konsumen,” katanya

Huda menjelaskan, pengaturan dalam bisnis transportasi digital seperti ojek online ini memang kompleks dan melibatkan banyak stakeholder. Khusus dari sisi pemerintah, saat ini, ia melihat masih ada kekosongan atau missing link antar satu stakeholder dan lainnya.

Melihat semakin masifnya perkembangan ekonomi digital di Indonesia, Huda mengusulkan pemerintah untuk membuat satu lembaga yang khusus menangani beberapa sektor ekonomi digital, termasuk ojol.

“Satu lembaga mungkin lembaga seperti kementerian yang dia membidangi untuk beberapa sektor ekonomi digital. Bukan cuma ride hailing, tapi juga e-commerce dan sebagainya. Ini bisa menghilangkan missing link tersebut. Jadi, koordinasi akan lebih cepat,” tambahnya.

Selain itu, ia juga mengusulkan adanya payung hukum berupa aturan baku yang memayungi semua elemen dalam ekonomi digital. Hal ini penting mengingat pesatnya pertumbuhan pekerjaan yang berhubungan dengan gig economy seperti pengemudi ojol.

“Saat ini Kemenhub itu cuma mengatur hubungan antara platform dengan pengemudi seperti soal tarif. Sementara, Kominfo hanya mengatur dari sisi platform digital dan tidak mengatur hubungan antara platform dengan konsumen. Nah, yang kita belum paham adalah status kemitraan itu dia diampu oleh siapa?” sebut Huda.

Soal payung hukum, Danny, selaku perwakilan dari Asosiasi Pengemudi Transportasi Daring Garda Indonesia, juga mendesak pemerintah untuk segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu soal ojek online.

Hal ini disebabkan, Undang-Undang (UU) terkait yang berlaku saat ini yaitu UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebut kendaraan roda dua seperti motor tidak termasuk dalam kategori transportasi umum. Untuk saat ini, menurutnya payung hukum yang paling realistis untuk menaungi permasalahan ojek online adalah Perppu.

“Kalau kita harus merevisi UU No 22 Tahun 2009 itu prosesnya bisa puluhan tahun dan perlu political will dari anggota dewan yang terhormat yang jumlahnya 500 dan itu nggak mungkin ketemu,” ujar Danny.

Menurutnya, jika dalam bentuk Perppu prosesnya bisa jadi lebih cepat karena hanya membutuhkan maksud baik dari pemerintah. Ia mencontohkan, hadirnya Perppu Cipta Kerja yang hanya membutuhkan waktu yang singkat.

“Perppu yang kita inginkan isinya singkat. Satu, bahwa ojek online itu diatur sebagai angkutan khusus terbatas. Dua, melarang penggunaan algoritma dalam penghitungan tarif. Selesai,” tutup Danny.

Terjkait polemik penetapan tarif ojol, Tirto juga sempat mencoba meminta keterangan dari sisi pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub), namun, hingga artikel ini diturunkan, Tirto belum menerima pernyataan dari pihak Kemenhub.

==

Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.

Baca juga artikel terkait OJEK ONLINE atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar & Alfons Yoshio Hartanto

tirto.id - Bisnis
Penulis: Alfitra Akbar & Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Farida Susanty