tirto.id - Meskipun bukan perkumpulan pedagang tahu bulat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di Senayan ternyata memang suka yang serba dadakan. Tabiat itu kembali terlihat ketika parlemen melakukan rapat di masa reses, Senin (20/1/2025), untuk membahas revisi UU Minerba. Hal itu cukup mengherankan mengingat Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 akan dimulai sehari setelahnya.
Rapat dilakukan oleh Badan Legislasi atau Baleg DPR di Ruang Rapat Baleg DPR, Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta. Rapat mulanya dilakukan secara terbuka saat pembahasan soal panitia kerja (Panja) RUU Minerba disepakati. Sejurus kemudian, rapat justru dilakukan secara tertutup hingga malam hari.
Baleg DPR memang seolah-olah seperti kejar tayang. Senin malam, Baleg melakukan pleno pengambilan keputusan bahwa revisi RUU Minerba menjadi usulan inisiatif DPR. Dalam draf sementara agenda revisi UU Minerba, terdapat usulan pasal pemberian wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) dengan cara lelang atau prioritas untuk badan usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan, organisasi masyarakat (ormas), dan perguruan tinggi.
Keputusan draf tersebut menjadi usul inisiatif DPR juga tidak alot-alot amat. Semua fraksi menyetujuinya. Dari delapan fraksi yang ada di Senayan, empat fraksi menyetujui dengan catatan sementara, empat lainnya manggut saja.
Ketua The Constitutional Democracy Initiative (CONSID), Kholil Pasaribu, menilai pembahasan RUU di masa reses sama saja DPR mengabaikan hak rakyat untuk didengar. Masa reses sebetulnya disediakan agar wakil rakyat di Senayan turun ke daerah pemilihan masing-masing. Mereka seharusnya mendengarkan aspirasi masyarakat, dan harus dibawa ke tingkat nasional agar dibahas secara mendalam.
“Jadi jika masa reses justru digunakan untuk membahas RUU Minerba – apalagi terkesan sembunyi-sembunyi – hal ini patut dicurigai oleh publik ‘ada udang di balik batu’,” kata dia kepada wartawan Tirto, Rabu (22/1/2025).
Sikap DPR periode 2024-2029 ini dinilai Kholil sungguh mengecewakan. Padahal anggota dewan periode baru beberapa bulan lalu dilantik menjabat. Namun barulah seumur jagung, mereka sudah menunjukkan sikap yang tidak pro rakyat.
Padahal, RUU Minerba tidak masuk dalam Prolegnas 2025 karena sejak awal dinilai bukan beleid yang urgensi dibahas tahun ini. Tidak heran sistem kebut semalam Baleg DPR dalam membahas RUU Minerba membuat masyarakat bertanya-tanya. Memang seberapa darurat RUU Minerba sampai harus tergesa-gesa mengorbankan masa reses, dan melangkahi UU lain yang lebih mendesak.
Usut punya usut, usulan di draf RUU Minerba sebetulnya sejalan dengan niatan pemerintah yang ingin membuka ruang bagi ormas mengelola tambang. Pemerintah sudah memberikan karpet merah untuk ormas keagamaan ‘bermain’ tambang lewat PP Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang berlaku pada 30 Mei 2024. Beleid lainnya adalah Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2024 tentang Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi yang berlaku pada 22 Juli 2024.
Padahal, jika merujuk pada UU Mineral dan Batu Bara saat ini, keistimewaan mendapatkan prioritas penawaran hanyalah bagi badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah. Ketika kedua badan pelat merah itu menolak penawaran lahan tambang, pemerintah baru menawarkannya kepada badan usaha swasta dengan proses lelang.
Tetapi dalam kedua payung hukum sebelumnya, pemerintah menyatakan ormas keagamaan yang sudah memiliki badan usaha berhak mendapat penawaran prioritas atas wilayah izin usaha pertambangan khusus atau WIUPK. Badan usaha milik ormas keagamaan tidak perlu ikut lelang karena langsung mendapat penawaran. Maka, aturan saling kontradiktif tersebut menghambat karpet merah pemberian izin tambang bagi ormas keagamaan. Agenda Revisi UU Minerba jadi salah satu pintu keluarnya.
“Kalau sekadar untuk buru-buru mengakomodir ormas dan kampus agar dapat mengelola tambang, maka wajar dipertanyakan nilai urgensinya. Sehingga patut diduga, ini terjadi karena ada tekanan investor atau kepentingan korporasi besar yang bermain,” ucap Kholil.
Pembahasan revisi UU Minerba yang terburu-buru dan tertutup mencederai asas partisipasi masyarakat yang bermakna dalam pembentukan undang-undang. Menurut Kholil, apabila UU Minerba dilahirkan tanpa melibatkan masyarakat, sudah pasti akan cacat secara formil dan dapat digugat ke Mahkamah Konstitusi.
Jika demikian, sama saja laiknya mengulang kaset lawas. Revisi UU Minerba terakhir pada 2020, melahirkan Undang-Undang Nomor 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Disahkan Presiden Joko Widodo dengan banyak kritik terkait proses yang kurang transparan.
Saat itu, banyak elemen masyarakat sipil, termasuk organisasi masyarakat adat, mengkritik minimnya pelibatan publik dalam pembahasan revisi UU Minerba. Kritik yang ada misalnya soal potensi masyarakat yang bisa dipolisikan jika menganggu aktivitas tambang.
Tabiat Berulang DPR
Pembentukan undang-undang oleh DPR dan pemerintah seharusnya mencerminkan prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi partisipasi publik. Sayangnya di dalam praktiknya, proses legislasi kerap dilakukan secara tergesa-gesa dan minim keterlibatan masyarakat. Revisi UU Minerba yang awal pekan ini digulirkan Baleg DPR hanya menambah panjang daftar tabiat pembentuk undang-undang yang abai terhadap suara rakyat.
Peneliti senior dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, melihat pembahasan revisi UU Minerba yang ‘super ngebut’ membuat tahapan perencanaan legislasi DPR patut dipertanyakan kualitasnya. Karena publik tahunya perencanaan legislasi DPR untuk skala tahunan sudah termaktub dalam Prolegnas RUU Prioritas 2025. Tidak ada RUU Minerba sebagai salah satu dari 41 Proglegnas Prioritas 2025.
Karena itu, kata Lucius, jadi aneh ketika tetiba RUU Minerba ini dibahas. Seakan kebutuhan merevisi UU Minerba tidak disadari oleh DPR dan Pemerintah ketika membicarakan Daftar RUU Prioritas sebelumnya.
“Atau ada kepentingan tersembunyi yang muncul tiba-tiba di masa reses, dan kepentingan itu datang dari elite berpengaruh, sehingga Baleg langsung ingin tancap gas,” ucap Lucius kepada wartawan Tirto, Rabu.
Ia mengingatkan, model perencanaan legislasi acak adul macam ini yang membuat kinerja legislasi DPR melempem. Peran legislasi DPR disetir kepentingan tertentu sehingga kualitas undang-undang yang dihasilkan minim dan bermasalah secara prosedural umumnya. Di sisi lain, gelagat DPR melakukan pembahasan revisi UU Minerba di masa reses, tanpa rencana transparan, menunjukkan keinginan DPR mempertahankan kebiasaan lama.
Pembahasan revisi UU Minerba di masa reses hanya untuk rapat yang bersifat mendesak. Itu pun harus atas persetujuan pimpinan DPR. Maka, apabila Pimpinan DPR mengaku telah memberikan izin bagi Baleg untuk membahas revis Minerba, mereka harus menjelaskan ke publik apa urgensinya.
Kebiasaan mengadakan rapat di masa reses akan menurunkan makna reses. Lama-lama reses dianggap tidak penting lagi. Hal ini tentu berbahaya karena ada anggaran besar yang diberikan kepada anggota DPR di setiap reses. Terlebih, pembahasan RUU di masa reses berdampak pada sempitnya ruang partisipasi bermakna bagi masyarakat untuk ikut terlibat dalam proses pembahasan.
Pembahasan pada masa reses seolah bisa jadi pembenaran untuk proses legislasi yang tidak partisipatif. Proses yang tidak partisipatif muncul karena adanya kepentingan tertentu dari DPR dan pemerintah. Tak heran pembahasan diam-diam jadi strategi agar kepentingan sepihak itu segera digolkan dalam naskah legislasi yang berdampak pada publik.
Diberitakan sebelumnya, Ketua DPR RI, Puan Maharani, mengatakan pembahasan RUU Minerba pada masa reses mendapatkan persetujuan pimpinan. Puan berdalih pembahasan RUU pada masa reses diperbolehkan apabila pembahasan tersebut dianggap penting dan diperlukan. Anehnya, Puan sendiri tampak tidak terlalu memahami apa yang akan dibahas.
Ia mengaku belum mendapat salinan pembahasan RUU Minerba. Puan mengatakan akan meninjau lebih lanjut hasil pembahasan tersebut ke Baleg DPR RI.
“Ya kita lihat ini bagaimana hasilnya, ini baru pembukaan paripurna, setelah ini saya akan coba cek apa yang dihasilkan oleh Baleg terkait UU Minerba. Makanya hari ini kan belum mendapat hasil dan belum ada agenda apa pun di paripurna," kata Puan usai agenda Rapat Paripurna Pembukaan Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (21/1/2025).
Ketua Baleg DPR, Bob Hasan, memastikan bahwa syarat formil dan materiil RUU tersebut sudah terpenuhi dengan baik. Meski begitu, ia tak malu-malu mengakui adanya kekurangan dalam menerapkan meaningful participation yang baik. Seperti biasa, ia menyebut persoalan itu akan dijadikan pertimbangan dalam agenda pembahasan selanjutnya.
“Kita masih ada waktu kalau memang partisipasi publik ini akan kami manfaatkan di masa penyusunan [RUU Minerba] ya. Nah ini kan yang diminta oleh Bapak/Ibu sekalian ya,” kata Bob Hasan, Senin (20/1/2025).
Sebaiknya Pimpinan DPR dan anggotanya jangan meremehkan partisipasi bermakna dalam pembentukan undang-undang. Sebab prosedur ini sudah dengan tegas diatur dalam Pasal 96 ayat (1) UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) yang menyebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan tertulis dalam proses legislasi. Selain itu, sudah pula ditentukan kemudahan akses terhadap naskah akademik atau rancangannya yang diatur dalam Pasal 96 ayat (4) UUP3.
DPR harus membuka lagi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang perkara pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law. MK menyatakan UU itu inkonstitusional bersyarat, sebab cacat formil dalam pembentukannya. MK menyoroti bahwa partisipasi publik dalam proses legislasi tidak boleh hanya menjadi formalitas, tetapi harus bersifat bermakna sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Adalah hak setiap warga negara untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Partisipasi bermakna dalam hal ini adalah hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk mendapatkan penjelasan.
Jangan sampai agenda revisi UU Minerba saat ini mengulangi kesalahan yang sama. Publik tidak ingin menerima produk legislasi yang dibuat secara mendadak dan secepat kilat. Untuk apa menerima undang-undang yang diproduksi dadakan laiknya menggoreng tahu bulat.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz