Menuju konten utama

Jejak Kelam di Balik Eksploitasi Tambang Masif Sulawesi Tengah

Pegawai tambang kebingungan mencari keadilan atas kawan yang meninggal sementara warga sekitar dihantui kehilangan pencarian dan penyakit.

Jejak Kelam di Balik Eksploitasi Tambang Masif Sulawesi Tengah
Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Bungku Timur Bersatu berorasi di depan smelter nikel PT Wanxiang di Bungku Timur, Morowali, Sulawesi Tengah, Rabu (31/1/2024). ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah/nym.

tirto.id - Sejak kawannya ditemukan tewas tak bernyawa pada Sabtu (28/9/2024) sekitar pukul 6 pagi, Ade Indra Wardana alias Hikma dan para anggota SPIM-KPIB lainnya terus berupaya untuk mencari keadilan, baik ke perusahaan tempat mereka bekerja, PT Walsin Nickel Industrial Indonesia (WNII) maupun pemerintah setempat. Apa daya, laki-laki 33 tahun itu tak kunjung mendapat jawaban atas kematian kawannya yang bernama Andri. Hasil nihil pun tetap diperoleh lantaran pemerintah melalui Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Sulawesi Tengah juga enggan menanggapi laporan SPIM-KPIB.

“Ini kan hanya kejadian satu korban, kenapa begitu lama? Karena tidak viral, beda dengan kemarin?” tanya Hikma, salah satu koordinator Serikat Pekerja Industri Morowali Konfederasi Pergerakan Buruh Indonesia (SPIM-KPIB) PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dengan nada pahit, kepada Tirto, Rabu (9/10/2024).

Dugaan itu bukan tanpa sebab. Pada Desember tahun lalu, IMIP dan pemerintah gerak cepat dalam menangani kecelakaan kerja yang terjadi karena ledakan tungku smelter PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel dengan memakan korban cukup banyak, yakni 13 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka. Sedangkan yang terjadi pada kawannya, meski SPIM-KPBI telah mencoba memviralkan kecelakaan kerja ini, seperti tak ada hasil.

“Dan lebih parahnya lagi, pada saat paginya itu diketahui bahwa ada kecelakaan kerja dan meninggal, itu selang satu jam saja sudah tetap beroperasi pabrik itu,” imbuhnya.

Tak muluk-muluk, yang diinginkan Hikma adalah waktu hening sebentar untuk mengenang kepergian kawannya saat menjalankan pekerjaannya, tepatnya saat bertugas di Divisi Killen Konveyor. Selain itu, meskipun hanya satu orang, yang hilang adalah nyawa manusia.

“Ada beda perlakuan dengan yang terjadi dengan satu bulan lalu (kematian Andri). Ya, karena mungkin nilai korbannya waktu tahun lalu lebih banyak dibanding sekarang. Kami sudah menuntut ke perusahaan sesuai prosedur, tapi sampai saat ini belum ada konfirmasi penyebab meninggalnya apa, padahal sudah jelas ada bukti dan fotonya ada,” kata laki-laki yang juga menjabat sebagai Ketua Pimpinan Unit Kerja (PUK) PT Indonesia Ruipu Nickel and Chrome Alloy (IRNC) tersebut.

Berbeda dengan Hikma yang kehilangan kawannya di smelter nikel, Murniati sudah hampir kehilangan sumber penghidupannya karena aktivitas penambangan pasir di Desa Tompira, Petasia Timur, Morowali Utara. Sejak sebelum menikah sampai kini, dia dan warga Desa Tompira selalu menggantungkan hidup pada hasil tangkapan kerang meti, kerang yang hidup di air tawar dan banyak ditemukan di Sungai Laa, Morowali Utara.

Sebelum industri pertambangan pasir masuk ke Desa Tompira, tepatnya di sekitar tahun 2020-2023, meti sangat mudah ditemukan saat permukaan air sungai naik. Sehingga, meskipun harga jualnya murah, namun para nelayan Desa Tompira bisa mengumpulkan pendapatan besar seiring dengan banyaknya hasil tangkapan.

“Saya mengenal meti itu dulu, saya kawin dengan suami saya, suami saya juga nelayan meti. Meti itu dulu memang mudah didapat, Tetapi harganya murah sekali. Tapi mudah didapat. Tapi sekarang sulit didapat, mahal harga tapi sulit didapatkan karena tambang pasir,” keluh Murniati dalam acara Konferensi Nasional Mineral Kritis, di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (9/10/2024).

Dengan setidaknya Rp3 juta setiap bulan yang didapat para nelayan dari hasil tangkapan meti, cukup untuk menghidupi kebutuhan seluruh keluarga. Bahkan, tak jarang warga Desa yang berhasil menyekolahkan anaknya sampai jenjang S1 atau S2.

“Di situ ada pendapatan suami kami untuk beli beras, beli sayur. Maka hasil meti inilah yang kami dapatkan untuk menghidupi anak-anak kami, untuk kami memberikan biaya-biaya sekolah untuk anak kami dari meti. Dari meti, bukan dari mana, anak-anak Tompira mungkin sudah ada yang sekolah sampai S1 atau S2, itu hasil dari meti,” ujar ibu rumah tangga tersebut.

Kini, sudah lebih dari satu tahun suaminya tak lagi mencari meti. Sebagai gantinya, banyak lelaki Desa Tompira yang beralih profesi menjadi para pencari limbah besi tua di pabrik-pabrik pasir dan nikel. Namun, sudah lah hanya bisa bekerja saat malam hari, para pengambil limbah besi juga acap kali dianggap pencuri.

Belum lagi, limbah besi tua biasanya hanya baru ada satu minggu sekali. Hal ini jelas membuat pendapatan yang bisa dibawa pulang oleh para lelaki Desa Tompira jauh lebih sedikit karena dengan ukurannya yang besar, limbah besi tua hanya bisa diangkat oleh 4-5 orang.

“Tidak bisa kita sendiri masyarakat yang mencari. Kita dilempar oleh perusahaan, karena termasuk seperti orang mencuri. Karena nelayan ini beralih profesi seperti itu, bagaimana mereka menghidupkan istri dan anak-anaknya di rumah. Karena terpaksa, mereka mengambil limbah besi tua di perusahaan,” keluh Murniati.

Peningkatan aktivitas industri ekstraktif tak hanya telah menghancurkan kehidupan orang-orang di lingkar tambang secara langsung. Di saat bersamaan, industri ekstraktif juga telah mengakibatkan kerusakan lingkungan dan memicu peningkatan beberapa penyakit seperti Infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA, kasus demam berdarah (DBD), malaria, bahkan HIV dan AIDS.

Sebagai provinsi yang memiliki kekayaan sumber daya mineral besar, Sulawesi Tengah menjadi rumah bagi industri-industri pertambangan besar seperti PT Obsidian Stainless Steel, dengan kapasitas produksi tahunan sebesar 2,2 juta ton feronikel dan 3 juta ton baja tahan karat, PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel dengan kapasitas produksi 2,5 juta ton besi kasar nikel dan 3 juta ton baja tahan karat, Kawasan industri seluas 4.000 hektare milik IMIP, maupun aktivitas pertambangan pasir dan batu di wilayah galian C di Teluk Palu.

Berdasar kajian Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia di lingkar tambang nikel di Kecamatan Bahodopi, Sulawesi Tengah pada indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH) yang terdiri dari tiga komponen, indeks kualitas air, indeks kualitas udara dan indeks kualitas tutupan lahan, ditemukan cemaran di udara dan air.

Hasilnya, kualitas air maupun air laut dan udara sudah tercemar, terlihat dari 5 dari 17 parameter air sungai, antara lain kebutuhan oksigen biokimia (BOD), oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen kimiawi (COD), total fosfat (T-Phosphat), dan total coliform yang sudah melebihi baku mutu.

“Bahwa memang di sana diduga memang banyak kegiatan pembuangan limbah ke sungai, baik limbah domestik maupun limbah organik. Kemudian ada 4 dari 14 parameter yang melebihi baku mutu untuk parameter air laut. Ada suhu, BOD, ortofosfat, nitrat, dan itu memang diduga karena pembuangan limbah batu bara dari proses pencucian batu bara ke laut tanpa melewati proses pengolahan lebih dulu,” jelas Direktur Eksekutif TuK Indonesia, Linda Rosalina, dalam acara Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia, di Palu, Rabu (9/10/2024).

Dari segi kualitas udara, TuK Indonesia menemukan ada 2 dari 7 parameter udara yang melebihi baku mutu, yaitu gas sulfur dioksida juga debu. Diduga hal ini terjadi karena kegiatan industri pertambangan, baik dari proses pengolahan nikelnya maupun sampai proses mobilisasi pekerja.

“Secara keseluruhan, kita dapat simpulkan bahwa air dan udara di sana itu sudah mengalami kondisi tercemar. Tapi yang menarik, karena kita menggunakan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup dari KLHK, indeks tutupan lahan di Bahodopi masih dalam kondisi sangat bagus,” imbuhnya.

Padahal, 4 persen dari luas Bahodopi merupakan Kawasan IMIP. Apalagi, dua komponen IKLH lainnya mendapat rapor merah.

Buruknya kualitas air dan udara di Bahodopi diamini pula oleh data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Sulawesi Tengah. Bahkan, dengan proses pembangunan industri ekstraktif yang masih terus berlangsung di sekitar Morowali, membuat kesehatan masyarakat di daerah tersebut cukup mengkhawatirkan.

“Hasil yang diperiksa Puskesmas maupun rumah sakit sehingga data itu terakumulasi di kami, di Dinkes. Situasi saat ini di Morowali itu, ngeri-ngeri gimana ya,” kata Staf Bidang Kesehatan Masyarakat Dinkes Sulawesi Tengah, Sukri dalam kesempatan yang sama.

Perawatan korban kecelakaan kerja di Morowali

Sejumlah korban kecelakaan kerja di lokasi pabrik PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) menjalani perawatan di RSUD Morowali di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, Minggu (24/12/2023). ANTARA FOTO/Faisal/Mh.

Otoritas kesehatan setempat mencatat, prevalensi penyakit ISPA di Puskesmas Bahodopi saja meningkat dari 28.867 kasus di 2022 menjadi 46.739 kasus sampai triwulan III 2024. Kemudian, prevalensi penyakit diare tercatat mengalami penurunan dari 610 kasus di 2022 menjadi 572 di 2023, dan 406 sampai bulan ke-9 di 2024.

Sedangkan untuk prevalensi penyakit mata, pada 2022 tercatat terdapat 94 kasus dan meningkat di 2023, pada triwulan III 2024, prevalensi penyakit mata menjadi 71 kasus. Adapun untuk prevalensi penyakit kulit, pada 2022 tercatat sebanyak 281 kasus dan melonjak drastis di 2023 menjadi 336 kasus, kemudian menjadi 178 kasus sampai September 2024.

“Sanitasi khususnya di Morowali itu Lumayan data di kita, kemudian air tercemar, kemudian info ada tim kami di Puskesmas yang melakukan pemeriksaan air dari rumah ke rumah, di luar depot air minum. Bahwa dari sumber informasi yang kami dapatkan sumber cemaran dari kawasan industri. Kami kurang tahu, limbahnya bentuknya seperti apa. Tapi yang jelas terkontaminasi bakteri E.Coli,” imbuh Sukri.

Sementara itu, Direktur Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Anas Ma’ruf, mengatakan, pada 2022, Kemenkes dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di bawah instruksi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) telah melakukan pengujian IKLH di Sulawesi Tengah, khususnya Morowali.

Pada saat itu, memang Kemenkes menemukan bahwa konsentrasi PM2,5 lebih besar dari ambang batas yang diperbolehkan, yaitu 65 µgram/m3. Pun dengan sulfur dioksida yang dihasilkan dari aktivitas pembakaran yang melebihi 150 µg/m3 di udara.

“Selain mengecek kualitas udara, kemudian juga mengecek kualitas air, kemudian juga melakukan pendataan penyakit yang ada di sekitar lokasi-lokasi tambang,” kata Anas, saat dihubungi Tirto, Jumat (11/10/2024).

Pun dengan masalah sanitasi yang memburuk karena padatnya jumlah pekerja di satu kawasan. Anas mengakui, karena kepadatan pekerja, terjadi penumpukan sampah di beberapa tempat, yang mana selain diare kondisi ini juga berisiko menimbulkan penyakit pes.

Setelah melakukan pengujian, Kemenkes dan KLHK mengumpulkan perusahaan-perusahaan tambang dan memaparkan hasil yang didapat. Setelah itu, pemerintah meminta agar perusahaan-perusahaan tambang yang terbukti berkontribusi terhadap dampak buruk yang dihasilkan baik kepada masyarakat maupun lingkungan untuk berbenah.

“Jadi misalnya tadi terkait dengan sanitasi, ya. Tempat tinggal para pekerja harus diperbaiki, kemudian dari kecukupan air, sanitasi, makanan, dan sebagainya perlu diingatkan. Sampah-sampah yang menumpuk di mana-mana itu juga perlu dikelola dengan baik,” jelas Anas.

Sementara itu, selain kepada perusahaan, hasil evaluasi ini juga disampaikan kepada pemerintah daerah. Dengan ini, diharapkan pemerintah daerah dapat meningkatkan pengawasannya terhadap operasional perusahaan.

“Jadi supaya sama-sama bergerak itu. Jadi mungkin katakanlah adanya gas-gas yang meningkat di udara, itu harus dilakukan perbaikan di pembuangan ya,” sambung dia.

Meski tak dipungkiri industri ekstraktif kerap kali berdampak pada masyarakat dan lingkungan di lingkar tambang, Anas mengakui bahwa hilirisasi penting. Ia beralasan, industri ini dinilai dapat memberikan sumbangan besar terhadap penciptaan tenaga kerja hingga pertumbuhan ekonomi nasional.

“Tapi secara umum kan kalau kita lihat bahwa yang namanya industri itu tujuannya kan baik ya, untuk meningkatkan ekonomi, investasi. Tetapi memang harus juga dilakukan dengan cara-cara yang sesuai supaya tidak menjadi risiko kesehatan bagi lingkungannya,” tegas Anas.

Penjagaan PT GNI Morowali

Sejumlah aparat menjaga keamanan di kawasan PT GNI pascabentrok, Selasa (17/1/2023). ANTARA/HO-Humas Polda Sulteng

Baca juga artikel terkait PENCEMARAN LINGKUNGAN atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Andrian Pratama Taher