tirto.id - Publish What You Pay Indonesia (PWYPI) mengkritisi kelonggaran reklamasi dan pasca tambang dalam Revisi UU (RUU) Minerba. Peneliti PWYPI Aryanto Nugroho menilai RUU Minerba membuat kewajiban perusahaan atas lubang bekas tambang menjadi relatif kurang tegas dibanding ketentuan dari UU Nomor 4 Tahun 2009.
“Bahasanya pasal 99-100 itu, lubang tambang itu ditutupnya berdasar presentase menurut peraturan perundang-undangan. Kalau dulu harus ditutup keseluruhan,” ucap Aryanto dalam konferensi pers virtual merespons RUU Minerba, Rabu (13/5/2020).
Menurut Aryanto, kepastian penutupan lubang tambang ini penting. Pasalnya, sampai saat ini saja sudah ada 143 orang yang meninggal karena lubang tambang. Dari 36 korban di antaranya adalah nyawa anak-anak.
Dalam pasal 99 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2009 terdapat ketentuan yang menyatakan, “Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan pascatambang.”
Ketentuan ini dipertegas oleh ayat (3) yang menyatakan peruntukan lahan pascatambang itu harus ditulis dalam perjanjian penggunaan tanah pemilik izin.
Namun, dalam pasal 99 ayat (3) RUU Minerba ketentuan itu diubah. Sedangkan ayat (3) huruf a menggunakan kalimat “wajib memenuhi keseimbangan antara lahan yang akan dibuka dan lahan yang sudah direklamasi” dan pada huruf b hanya dituliskan “wajib melakukan pengelolaan lubang bekas tambang akhir dengan batas paling luas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.“
Menurut Aryanto, ketentuan ini berpotensi membuat pemenuhan kewajiban pada lubang bekas tambang menjadi tidak maksimal. Menurutnya, tidak cukup bila penutupan lubang tambang dianggap selesai meski sudah memenuhi sekian persen saja tetapi harus ditutup sepenuhnya.
Soal reklamasi tambang ini juga, Aryanto mempertanyakan bilamana RUU Minerba bakal menimbulkan masalah karena mengizinkan pertambangan di bawah laut. Ia pun mempertanyakan bilamana pemerintah tetap memastikan ada reklamasi di bawah laut karena lubang tambang.
Peneliti Yayasan Auriga Nusantara Iqbal Damanik menilai persoalan lubang tambang berpotensi akan semakin diabaikan meski pemerintah mengklaim ada sanksi dan denda yang diterapkan. Hal itu terjadi lantaran pemerintah menjamin perpanjangan izin tambang bahkan mempermudahnya tanpa kemungkinan evaluasi bisa menghambat proses itu.
“Lubang tambang PKP2B itu lebih dari 87 ribu hektare. Setara kota Bandung dan DKI. Bayangkan ada sebesar itu dan tidak dipaksa segera dievaluasi dan malah diberi perpanjangan,” ucap Iqbal dalam konferensi pers virtual merespon RUU Minerba, Rabu (13/5/2020).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Maya Saputri