tirto.id - Raut kebahagiaan tak bisa disembunyikan dari wajah Sunoto. Masa-masa nelangsa mendiami rumah reyot, sebentar lagi berakhir. Ia menjadi salah satu penerima bantuan perbaikan rumah tidak layak huni (RTLH) di Provinsi Jawa Tengah.
Sunoto merupakan warga Desa Kawengen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Sejak 13 tahun lalu, ia hidup sederhana bersama istri, hingga kini memiliki dua buah hati masing-masing berusia 12 dan 5 tahun.
Kondisi rumah mereka sudah tampak berumur. Wajar, karena rumahnya hasil warisan dan belum pernah direnovasi secara menyeluruh. “Rumah ini dikasih orang tua,” kata dia, Selasa (10/6/2025).
Dinding rumahnya terbuat dari papan kayu, lama-lama mulai lapuk. Lantai rumah masih beralaskan tanah. Dapur ala kadarnya, banyak tumpukan barang bekas berserakan di sudut ruang. Kamar mandinya bahkan tak beratap.
Rangka bangunan rumahnya tak kalah mengkhawatirkan, seolah tinggal menunggu waktu. Rangka atap tampak keropos. Gentingnya ada yang rusak, bahkan di beberapa titik terlihat bolong.
Saat hujan melanda, air menetes di segala arah. "Kalau hujan, bocor, airnya masuk semua," keluhnya.
Meski begitu, Sunoto sebagai tulang punggung keluarga, tidak bisa berbuat banyak. Sehari-hari, pria berusia 43 tahun ini bekerja sebagai buruh bangunan. Uang yang ia dapat rata-rata kurang dari Rp1 juta per bulan.
Pendapatan minim yang tak menentu itu hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari keluarganya. Bahkan kadang kurang. Sehingga, jika hanya mengandalkan jerih payahnya, tak mungkin bisa memperbaiki rumah.
Terpisah, berjarak 150 kilometer dari kediaman Sunoto, ada Dasuki yang bernasib serupa: rumahnya tidak layak huni tetapi pendapatan yang diperoleh tak cukup untuk merenovasi tempat tinggalnya.
Dasuki merupakan warga Desa Asemdoyong, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang. Rumah Dasuki belum memiliki pondasi, lantainya masih tanah, berdinding anyaman bambu, dan atapnya tampak rapuh.
Lelaki berumur 43 tahun ini kesulitan lepas dari jurang kemiskinan. Dasuki selama ini berjuang menghidupi keluarganya dengan bekerja sebagai nelayan di pesisir Pantura Barat.
Pendapatan Dasuki tidak seberapa. Paling setiap hari hanya mendapat uang Rp100 ribu sampai Rp300 ribu. Jumlah yang tentu sangat kurang untuk biaya hidup Dasuki bersama istri dan tiga anaknya.
“Kerjaan nelayan kan (penghasilannya) tidak pasti. Sudah 20 tahun tinggal di sini," ujar Dasuki didampingi istrinya, Taisyah, kepada wartawan pada Kamis (5/6/2025).
Di lain tempat ada Nakuwan. Lebih dari 20 tahun, pria berusia 56 tahun menghuni rumah renta bersama keluarganya di Desa Pucangrejo, Kecamatan Gemuh, Kabupaten Kendal.
Sehari-hari, Nakuwan berkerja sebagai buruh tani. "Saya buruh tani, sawah milik orang. Ini baru tanam, belum panen," ceritanya pada Selasa (3/6/2025).
Penghasilan dia dari bertani tidak menentu, apalagi lahan garapannya bukan milik sendiri. Jika dihitung-hitung secara kasar, pendapatan Nakuwan per bulan hanya sekitar Rp1,8 juta.
Sudah lama Nakuwan berkeinginan merenovasi rumah tuanya yang berukuran 6 kali 20 meter itu. Rumahnya memang cukup memprihatinkan. Berdampingan dengan kandang sapi.
Dinding tempat berteduh keluarga Nakuwan masih dari papan teriplek. Rangka atap menggunakan bambu, dengan genting tua di atasnya. Lantainya beralaskan tanah, sesekali diberi tikar jika ada tamu datang.
Kondisi yang lebih mengenaskan adalah tiang penyangga rumah yang terlihat lapuk, sudah tidak kokoh, sehingga berpotensi membahayakan penghuni jika tak segera diperbaiki. Namun apa daya, Nakuwan tak punya cukup uang.
Bahagia Dapat Bantuan
Nakuwan bisa tersenyum lega setelah mendapat kabar bahwa ia menjadi salah satu penerima bantuan perbaikan rumah tidak layak huni di Kabupaten Kendal. Program tersebut dinilai sangat membantu.
“Bangga bisa dapat bantuan bedah rumah ini," ujarnya, Selasa (3/6/2025).
Kebahagiaan juga diungkap Sunoto, penerima bantuan dari Kabupaten Semarang. Ia dan istrinya tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya. Senyumnya merekah.
“Terima kasih sekali sudah dibantu diperbaiki rumah saya. Perasaan senang banget, alhamdulillah," tutur Sunoto.
Bahkan, penerima bantuan asal Pemalang, Dasuki, saking bahagianya tak kuasa menahan tangis. Air matanya menetes saat dikunjungi Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, pada Kamis (5/6/2025).
“Senang sekali dapat bantuan ini," ucap Dasuki sembari menyeka air mata.
Melihat Dasuki menangis, Ahmad Luthfi mencoba mencairkan suasana. Ia meminta dengan halus agar Dasuki tersenyum dan tetap semangat karena rumahnya akan direnovasi.
“Senyumnya mana, mboten usah nangis (tidak perlu menangis). Semangat, jangan nangis. Sing seneng. Rumahnya nanti baru," ucap Luthfi disambut senyum bahagia.
Mantan Kapolda Jawa Tengah itu berharap agar bantuan perbaikan rumah tidak layak huni dari anggaran pemerintah provinsi, dapat meringankan beban para penerima manfaat.
“Semoga bermanfaat, rumahnya nanti dapat dimanfaatkan untuk keluarga," harap Luthfi.
Berdasarkan data dari Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Disperakim) Provinsi Jawa Tengah, total rumah tidak layak huni yang telah tertangani sampai akhir 2024 sebanyak 1.800.531 unit.
Masih ada 1.022.113 unit rumah tak layak huni yang belum diperbaiki. Sisa tersebut akan dientaskan melalui program serupa pada tahun anggaran berbeda.
2025 Entaskan 17.000 RTLH
Gubernur Ahmad Luthfi mengatakan, pada 2025, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menargetkan perbaikan rumah tidak layak huni sebanyak 17.000 unit. Untuk tahap pertama fokus merealisasikan 3.090 unit.
“Seluruh kabupaten untuk 2025 ada 17.000 rumah. Ini terus menerus dan akan kami lakukan secara bersama-sama. Bupati saya minta untuk ikut mengawasi," pesan Luthfi.
Kepala Disperakim Jawa Tengah, Boedyo Dharmawan, merinci, target 17.000 unit rumah itu akan dibagi ke dalam 29 kabupaten di Jawa Tengah. Kuota masing-masing kabupaten tidak sama karena menyesuaikan kondisi yang ada.
“Masing-masing kuota akan berbeda-beda karena kita hitung dari jumlah penduduk miskin dan jumlah rumah tidak layak huni di kabupaten tersebut," ujar Boedyo saat dihubungi Kamis (12/6/2025).
Berdasarkan pemetaan, kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki banyak rumah tidak layak huni ialah Grobogan dan Blora. Otomatis, dua kabupaten itu mendapat kuota perbaikan rumah lebih banyak.
“Memang kalau dilihat yang paling banyak di Grobogan dan Blora," bebernya.
Syarat penerima bantuan perbaikan rumah tidak layak huni sudah ditentukan. Di antaranya ia harus masuk kategori tidak mampu, ditunjukkan dengan tercatat dalam data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) Dinas Sosial Jawa Tengah.
Syarat umum lainnya adalah rumah yang hendak diperbaiki kondisinya tidak layak, bangunannya berdiri di tanah milik pribadi, serta lahannya tidak sedang bersengketa. Secara teknis, pendataan akan diusulkan pihak desa/kelurahan.
Berbasis Gotong Royong
Boedyo mengatakan, program ini berupa perbaikan rumah yang sudah ada, bukan membangun rumah baru. Sebab, anggaran yang digelontorkan juga terbatas. "Ini perbaikan rumah tidak layak huni menjadi layak huni," jelasnya.
Kata dia, anggaran perbaikan per masing-masing unit rumah senilai Rp20 juta. Anggaran tersebut direalisasikan untuk pembelian material Rp18 juta, sisanya untuk biaya tenaga kerja dan makan minum saat proses pembangunan.
Boedyo menegaskan, anggaran Rp20 juta per unit rumah merupakan dana pemantik yang bisa dielaborasi dengan skema tambahan bantuan dari masyarakat.
“Jadi sifat bantuan ini stimulan. Kami mendorong supaya masyarakat juga istilahnya ada swadaya. Misal tenaga kerja bisa gotong-royong, lalu ada yang bantu menambah material, dan lain-lain," paparnya.
Menurutnya, program perbaikan rumah tidak layak huni sangat penting sehingga program ini dilangsungkan terus menerus setiap tahun.
“Program ini tidak terdampak efisiensi karena kan program prioritas, ya, menyentuh masyarakat secara langsung," jelasnya.

Upaya Entaskan Kemiskinan
Di sisi lain, Gubernur Ahmad Luthfi mengatakan, bantuan renovasi rumah tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah provinsi untuk memangkas kemiskinan ekstrem di Jawa Tengah.
“Harapannya, minimal kita kikis miskin ekstrem di tempat kita sehingga masyarakat memiliki kesejahteraan," kata Luthfi.
Boedyo menambahkan, keluarga yang memiliki rumah layak huni bakal lebih sejahtera. Dia mencontohkan dengan bangkitnya perekonomian seorang keluarga di Banyumas setelah kondisi rumahnya layak dan sehat.
“Ada penerima manfaat yang sebelumnya rumahnya tidak layak, tidak sehat. Mereka tidak nyaman tinggal di dalamnya. Setelah rumah diperbaiki, menjadi nyaman, sehat begitu,” kata dia.
Dengan kondisi rumah layak, sang istri lebih semangat membantu mencari tambahan penghasilan dengan membuka usaha rumahan. Akhirnya, keluarga tersebut berangsur-angsur mentas dari status miskin.
“Kondisi rumah yang sehat, rumah yang layak itu secara psikis membuat pemilik rumah semangat untuk bekerja, mencari nafkah," ungkap Boedyo.
Ia menambahkan, “dengan begitu, akhirnya secara tidak langsung berdampak pada meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat penerima bantuannya.”
Penulis: Baihaqi Annizar
Editor: Abdul Aziz
Masuk tirto.id


































