tirto.id - Wali Kota Depok Mohammad Idris nampaknya belum jera untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan ajaibnya. Kali ini, ia berencana sebuah program untuk mencegah apa yang ia sebut sebagai “upaya penyebaran perilaku LGBT”.
Program yang ia canangkan tersebut berbentuk razia aktivitas kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender), hingga pembentukan crisis center khusus korban terdampak LGBT.
Ia berdalih, “peningkatan upaya pencegahan ini guna memperkuat ketahanan keluarga, khususnya perlindungan terhadap anak,” kata Idris, seperti dilansir situs Pemkot Depok, Jumat (10/1/2020). Nantinya, razia itu akan dilakukan di kos-kosan, kontrakan, dan apartemen di Depok.
Usul tersebut disampaikan Idris sebagai respons dari kasus pemerkosaan massal yang dilakukan oleh Reynhard Sinaga di Inggris. Berdasarkan hukum Inggris, Reynhard mendapatkan hukuman seumur hidup atas 159 kasus perkosaan dan puluhan serangan seksual terhadap pria.
Reynhard merupakan warga Indonesia yang tengah kuliah di Inggris. Keluarganya pun tinggal di Depok.
Alih-alih mendapat apresiasi, rencana itu justru dikecam banyak pihak. baik dari tatanan pemerintahan pusat, maupun masyarakat.
Komnas HAM, misalnya, mereka melayangkan surat kepada Wali Kota Depok ditandatangani oleh Koordinator Subkomisi Pemajuan Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, pada Senin (13/1/2020). Dalam surat tersebut, langkah Wali Kota Depok dinilai diskriminatif.
Komnas HAM juga meminta Wali Kota Depok untuk membatalkan kebijakan tersebut, serta memberikan perlindungan kepada kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender.
Komnas HAM menilai bahwa langkah tersebut melanggar dasar negara Republik Indonesia, UUD 1945, yakni Pasal 28G (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawa kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Selain itu, langkah Wali Kota Depok juga bertentangan dengan Pasal 28I (2) UUD 1945, Pasal 33 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hingga Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik Pasal 17.
Selain itu, Komnas HAM juga menegaskan bahwa Badan Kesehatan Dunia (WHO/World Health Organization) pada tahun 1992 telah menghapus kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender dari daftar penyakit kejiwaan. Ketentuan tersebut pun telah dimasukan melalui PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa) III tahun 1993.
Sementara itu, Anggota Ombudsman RI Ninuk Rahayu menilai bahwa langkah yang diambil oleh Idris dapat masuk ke kategori penyelewengan kewenangan.
"Pemerintah daerah tak memiliki kewenangan untuk melakukan razia karena dalam konteks ketertiban umum, kalau memang ada penertiban, itu adalah tugas dari aparat keamanan," jelas Ninuk kepada reporter Tirto pada Senin (13/1/2020).
Belum lagi, ujar Ninuk, kebijakan tersebut bersifat diskriminatif karena hanya menyasar kelompok LGBT.
"Kalau memang mau melakukan upaya untuk mencegah kekerasan seksual, maka itu seharusnya berlaku bagi siapa saja, dan itu memang tugas pemerintah, bukan hanya untuk kelompok tertentu saja," ujarnya.
Pelaku Kekerasan Seksual Bisa Siapa Saja
Ketua YLBHI Asfinawati mengecam dan menilai bahwa cara langkah Idris justru hanya menumbuhkan kebencian masyarakat terhadap kelompok LGBT.
"Jika mau menetaskan masalah kekerasan seksual seharusnya bukan dengan cara seperti itu karena pelaku kekerasan seksual bisa siapa saja, dengan orientasi seksual apapun, baik heteroseksual ataupun homoseksual," tegas Asfinawati kepada reporter Tirto pada Senin (13/1/2020).
Asfinawati pun menganalogikan tindakan Idris seperti pemerintah yang dalam membenahi kejahatan korupsi di Indonesia, alih-alih membenahi hukum dan menegakkan hukumnya, malah memilih untuk melangsungkan razia kepada kelompok agama tertentu berdasarkan identitas agama pelaku yang pernah terseret masalah korupsi.
"Dan ia [Idris] enggak belajar dari sejarah. Dalam sejarah kita sudah banyak sekali genosida yang dilakukan berdasarkan kebencian akan kelompok tertentu," ungkap Asfinawati.
Asfinawati pun mencontohkan pemerkosaan massal yang dilakukan pada 1998 terhadap perempuan Tionghoa akibat dari kebencian yang ditanamkan kepada mereka. Selain itu, diskriminasi dan kekerasan massal yang dilakukan kepada kelompok Islam selepas kejadian 9/11 di Amerika.
"Jadi sudah banyak sekali fobia atas kelompok tertentu yang berujung pada kekerasan, hingga genosida," tegas Asfinawati. Dan sayangnya, lanjut Asfinawati, mereka baru akan sadar ketika anggota keluarga atau kerabat mereka yang menjadi korban.
Ada Kepentingan Politis
Ketua LBH Masyarakat Ricky Gunawan menilai langkah Idris tak lain sebatas untuk kepentingan politiknya.
"Jelas ini tindakan yang mempolitisir persoalan LGBT untuk kepentingan politik mereka. Bagi saya ini langkah politik yang kerdil karena mengeksploitasi kerentanan kelompok minoritas," tegas Ricky kepada reporter Tirto pada Senin (13/1/2020).
Ricky menilai pemberitaan soal Reynhard menjadi pukulan bagi Pemkot Depok. Dengan itu, Pemkot Depok malah memilih untuk mengalihkan fakta bahwa keluarga Reynhard tinggal di Depok dengan memilih "lawan politik yang mudah", yaitu LGBT yang adalah minoritas seksual.
"Tindakan Pemkot Depok untuk mengalihkan perhatian tersebut sekaligus untuk mengambil keuntungan politik, akan semakin memperparah stigma dan diskriminasi terhadap LGBT yang sudah kian terkucilkan dan termarginalisasi di masyarakat," ujar Ricky.
"Upaya untuk merazia LGBT adalah sebuah langkah mengirim sinyal bahwa keberadaan LGBT tidak dikehendaki dan tentu saja tindakan Pemkot itu semakin melanggengkan kebencian terhadap komunitas LGBT," lanjutnya.
Saat reporter Tirto mencoba untuk bertanya lebih jauh mengenai kebijakan tersebut ke Idris, Idris tak membalas pesan, ataupun mengangkat telepon reporter Tirto.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Restu Diantina Putri