tirto.id - Komnas HAM menilai imbauan Wali Kota Depok Mohammad Idris Abdusshomad untuk melakukan razia aktivitas kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) sangat diskriminatif. Apalagi sampai harus membentuk crisis center khusus korban terdampak LGBT pada 10 Januari 2019.
Dilansir dari Antara, Senin (13/1/2020), Komnas HAM juga telah melayangkan surat kepada Wali Kota Depok untuk meminta pembatalan kebijakan serta permintaan perlindungan bagi kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender tersebut.
Dalam surat yang ditandatangani oleh Koordinator Subkomisi Pemajuan Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, Komnas HAM menyatakan imbauan tersebut bertentangan dengan dasar negara Republik Indonesia, UUD 1945, yakni Pasal 28G (1).
Beka menjelaskan setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawa kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Terlebih Pasal 28I (2) UUD 1945 menyebutkan secara eksplisit bahwa setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Beka menambahkan instrumen HAM lainnya yang menjamin pemenuhan hak atas kebebasan ialah Pasal 33 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya," kata Beka.
Menurut Beka kebijakan Wali Kota Depok itu juga mencederai Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik Pasal 17 yang menyatakan tidak boleh seorang pun yang dapat secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah-masalah pribadinya, keluarganya, rumah atau hubungan surat-menyuratnya, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya.
"Hal lain yang dicermati oleh Komnas HAM, terkait kewajiban lembaga negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia semua warga negara termasuk kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender," kata Beka.
Komnas HAM memandang perlunya penguatan bagi pemerintah daerah mengenai perlindungan terhadap hak-hak hidup warganya. Khusus untuk Pemerintah Kota Depok, lanjutnya wajib melakukan kerja-kerja dan mengeluarkan kebijakan yang berbasis pada prinsip dan nilai-nilai HAM.
Menurut Beka berdasarkan catatan Badan Kesehatan Dunia (WHO/World Health Organization) pada tahun 1992 telah menghapus kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender dari daftar penyakit kejiwaan.
Ketentuan dari WHO ini diimplementasikan oleh Kementerian Kesehatan melalui PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa) III tahun 1993 yang menyatakan bahwa kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender bukan merupakan penyakit jiwa maupun cacat mental.
Untuk itulah, tak semestinya bagi Wali Kota Depok melakukan diskriminasi terhadap kelompok LGBT.
"Berdasarkan pertimbangan di atas, Komnas HAM RI meminta Pemerintah Kota Depok untuk membatalkan imbauan tersebut dan memberikan perlindungan bagi kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender (LBGT) dari tindakan diskriminasi dan kekerasan," ucap Beka.
Komnas HAM juga meminta kepada Presiden melalui Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan untuk meningkatkan kualitas pemerintahan daerah agar tak ada lagi peraturan yang diskriminatif.
"Sehingga kebijakan yang diskriminatif dan merendahkan harkat dan martabat manusia tidak lahir," pungkasnya.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Bayu Septianto