tirto.id - Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dwi Estiningsih membuat gaduh lagi di Twitter. Setelah tiga tahun lalu membuat ramai karena mengkritik 'pahlawan-pahlawan kafir', kali ini dia memancing keributan kala mengatakan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) termasuk gangguan jiwa.
Dwi anti-LGBT. Dan untuk memperkuat posisinya itu, dia memberikan karya ilmiah yang dia pikir mendukung pandangannya meski "khawatir Anda (para pembela LGBT) tidak mau baca" dan "baca pun, Anda apa paham?" Sebab, bagi Dwi, para pendukung LGBT hanya "sok-sokan ilmiah."
Dwi lantas mengutip artikel Jaime M. Grant dkk berjudul Injustive at Every Turn (PDF) yang menyebut "93,8 persen LGBT mempunyai setidaknya satu gangguan kepribadian."
Dia juga mengutip jurnal yang ditulis N. Eugene Walls berjudul Correlates of Cutting Behavior among Sexual Minority Youths and Young Adults (terbit 2010) yang, menurutnya, mengatakan "59 persen LGBT mengalami episode depresi, dengan 22,3 persen pernah melakukan percobaan bunuh diri."
"Cukup? Mau berapa kajian ilmiah lagi?" katanya.
Tampak kokoh sudah posisi Dwi. Tapi satu-satunya masalah dari cuitannya itu, dan justru sangat fatal, adalah karya-karya yang dia kutip sebenarnya bermaksud menghilangkan stigma terhadap LGBT. Ringkasnya, riset ini justru pro-LGBT.
Pernyataan ini bahkan disampaikan para akademisi yang tulisannya dikutip Dwi, termasuk Brian Mustanski. Lewat Twitter Brian mengatakan penelitiannya menunjukkan sebagian besar kelompok LGBT mengalami masalah mental akibat tekanan dan diskriminasi dari lingkungannya, termasuk bullying dan kebijakan anti-LGBT. Jadi, gangguan mental tidak inheren di diri LGBT.
Hal serupa disampaikan N. Eugene Walls, juga via Twitter. Dia bahkan menegaskan "rekan penulis dan saya punya komitmen mendalam terhadap keadilan untuk LGBTQ."
Eugene bahkan mengatakan, "jika Anda (Dwi) akan mengutip penelitian akademis, setidaknya jujurlah."
Asal Comot
Dosen Kajian Media dari Universitas Padjadjaran Justito Adiprasetio menjelaskan apa yang dilakukan oleh Dwi merupakan analisis asal comot atau cherry picking.
"Cherry picking merupakan sejenis sesat pikir, yang diambil sesuatu yang sesuai dengan bingkai moral mereka, tidak dilihat dari formasi ilmu pengetahuan secara utuh," kata Tito kepada reporter Tirto, Selasa (10/12/2019).
Tito mengatakan sebenarnya gejala semacam ini "banyak di Indonesia," termasuk "dalam kajian-kajian akademik."
Salah satu fenomena yang sempat ramai di kalangan akademisi dan praktisi terjadi pada 2016. Saat itu Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) memasukkan homoseksual dalam kategori masalah kejiwaan. Asosiasi Psikiatri Amerika Serikat (APA) lantas menegur karena apa yang mereka putuskan bertentangan dengan sejumlah kajian ilmiah.
Tito menjelaskan mereka yang melakukan cherry picking sedari awal sudah mengklasifikasikan mana yang boleh dan benar, serta mana yang tidak. Mereka tidak membangun tesis dari pertanyaan, "padahal namanya filsafat itu harus dimulai dari pertanyaan."
Kadang pula ia "tercemari bias moral," tambah Tito.
Masalahnya, jika patokannya adalah moral, "kita enggak bisa bilang bahwa LGBT itu sehat atau tidak sehat." "Itu beda diskursus. Yang satu diskursus kesehatan, yang satu diskursus agama."
Ilmu pengetahuan yang terinfiltrasi ajaran agama semakin mewabah pasca Orde Baru. Sementara para era Orde Baru, "sains khususnya humaniora dibangun untuk melayani pembangunan negara."
Peneliti dari Pusat Penelitian Politik LIPI Fathimah Fildzah Izzati mengatakan "fenomena orang menyitir tulisan, terus maknanya jadi lain," juga dimungkinkan karena tidak terbangunnya "tradisi berpikir kritis" di Indonesia. Karena itu cuitan Dwi sebetulnya merupakan bagian kecil dari "fenomena yang jamak terjadi," kata magister jurusan Labor, Social Movements and Development SOAS University of London tersebut.
Namun, kata Fildzah, itu tetap saja tidak benar dan "terlalu dinormalisasi." Untungnya, dalam kasus ini, Dwi seperti lupa kalau akan "ada saja yang membaca secara kritis."
Reporter Tirto sudah mencoba menghubungi Dwi Estiningsih melalui Facebooknya. Tetapi hingga tulisan ini naik, belum ada balasan.
Di Twitter, Dwi tetap berkampanye anti-LGBT, salah satunya pada 7 Desember lalu saat dia mengatakan kalau apa yang dilakukannya adalah "wujud kepedulian kepada saudara-saudara."
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino