tirto.id - Beruntung sidang kasus Reynhard Sinaga dilangsungkan di pengadilan Inggris. Jika itu terjadi di Indonesia, mungkin ceritanya akan lain.
Reynhard, 36 tahun, yang terbukti melakukan 159 kasus pemerkosaan dan serangan seksual terhadap 48 pria, dijatuhi hukuman seumur hidup oleh pengadilan Manchester, baru-baru ini. Tiap kali melakukan aksinya dia selalu terlebih dulu membius sang korban.
Kasus terbongkar saat ada satu korban terbangun saat diperkosa, lalu lapor ke polisi.
Uli Pangaribuan, pengacara publik dari LBH APIK, yang berfokus pada advokasi korban kekerasan seksual, menjelaskan kasus semacam itu akan sangat sulit diusut dengan hukum Indonesia.
Dalam hukum Indonesia, hanya ada dua perangkat hukum yang mengatur masalah kekerasan seksual, salah satunya KUHP Pasal 285 yang berbunyi, “barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.”
Apa yang dilakukan oleh Reynhard tak dapat dikategorikan sebagai pemerkosaan karena “di KUHP itu hanya mengenal pemerkosaan yang berbentuk persetubuhan antara laki-laki dan perempuan, dengan adanya penetrasi penis ke vagina,” kata Uli kepada reporter Tirto, Selasa (7/1/2020).
Kedua, Pasal 289 sampai Pasal 296 KUHP yang mengatur perbuatan “cabul”. Hukuman penjara paling lama yang diatur dalam pasal tersebut lebih singkat daripada pasal pemerkosaan, yakni hanya tujuh tahun.
“Kalau pemerkosaan ke anal, itu masuknya ke pencabulan. Di luar penetrasi antara laki-laki dan perempuan, itu masuknya pencabulan, padahal pasal pencabulan hukumannya lebih ringan daripada pemerkosaan,” lanjutnya.
Contoh tersebut menunjukkan bagaimana hukum Indonesia masih sangat terbatas memandang perkara kekerasan seksual, kata Uli.
Ia masih sangat jauh dari Inggris yang mampu menjatuhi Reynhard dengan hukuman maksimal. Hukum Inggris sudah mengakomodasi bentuk-bentuk kekerasan seksual yang sebenarnya memang cukup beragam dan dapat menimpa siapa saja, tak terbatas gender dan usia.
“Sementara bentuk-bentuk itu memiliki dampak trauma yang sama dengan pemerkosaan. Kerugiannya juga sama.”
Lebih parahnya lagi, dua perangkat hukum yang Uli sebut dalam praktiknya sulit menjerat pelaku. Misalnya, selama ini pembuktian terkait itu sulit dilakukan.
“Di pasal 285 itu salah satu pembuktiannya dengan adanya kekerasan, dilihat dari perlawanannya. Jadi pertanyaan yang muncul seperti, 'kamu melakukan apa saat terjadi pemerkosaan? Berapa kali? Gimana perasaanmu? Posisinya gimana?' Yang dilihat itu, perlawanannya itu ada atau enggak,” jelas Uli.
“Jadi tanpa perlawanan, rentan dianggap suka sama suka. Apalagi kalau konteksnya dalam ranah privat seperti pacaran, dianggapnya suka dan suka.”
Bentuk hukuman yang diberikan kepada pelaku juga tak mungkin seberat Reynhard, apabila kasus tersebut dilihat dari perspektif hukum Indonesia.
“Kalau di UK itu dilihat jumlah korbannya, dihitung sama mereka berapa kerugiannya. Kalau di sini, jumlah korban itu tidak dilihat. Pokoknya sanksinya ya hanya sesuai dengan pasalnya. Jadi sebanyak apa pun korbannya, ya sanksinya begitu saja, yang dihitung tetap satu,” jelas Uli.
Hukum Belum Progresif
Maidina Rahmawati, peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), lembaga kajian independen dan advokasi yang fokus pada reformasi sistem peradilan pidana, menegaskan hukum Indonesia belum progresif menangani masalah kekerasan seksual.
“Dalam konteks progresif, rape atau pemerkosaan itu sudah seharusnya dirumuskan dengan gender neutral, tidak hanya di luar perkawinan, tidak hanya dalam bentuk penetrasi penis ke vagina,” ujar Maidina kepada reporter Tirto.
Maidina menegaskan harusnya titik tekan pengaturan hukum soal pemerkosaan ada pada “tidak adanya persetujuan, atau persetujuan tidak diberikan dalam keadaan beban, atau korban pada kondisi tertentu tidak memiliki kapasitas untuk memberikan persetujuan, misalnya pingsan atau diracun.”
Penegakan hukum bertambah runyam manakala aparat justru lebih banyak fokus pada kondisi korban.
Dalam kasus Reynhard, korbannya adalah pria yang keluar kelab malam dan dalam keadaan mabuk. Di Indonesia, kondisi korban yang seperti itu justru kerap membuat mereka didiskreditkan para penegak hukum.
“Kondisi mabuk dijadikan bahan untuk mendiskreditkan korban. Padahal, kondisi itu, kan, berarti korban tidak bisa memberikan consent,” jelas Maidina.
Aparat, juga publik, menurut Maidina masih terjebak mitos pemerkosaan. Misalnya, pemerkosa pasti orang asing, pemerkosaan pasti menyebabkan luka, serta seharusnya korban melawan dan lapor langsung. Padahal, kenyataannya, yang terjadi tak selalu seperti itu.
Maka, agar hukuman Reynhard tak berhenti di pergunjingan soal orientasi seksualnya, Uli, juga Maidina, menegaskan para pembuat kebijakan perlu belajar dari kasus ini.
Lebih detail, ia menegaskan aturan di Inggris itu bisa diadopsi di Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), sebuah peraturan yang sempat dibahas oleh DPR periode 2014-2019 tapi gagal disahkan dan dilanjutkan DPR periode sekarang.
RUU PKS banyak menambal kekosongan soal kekerasan seksual dalam KUHP. Bahkan, dalam draf, pemerkosaan terhadap laki-laki juga diakui.
“Makanya perlu segera disahkan RUU PKS, agar bentuk-bentuk pemerkosaan di luar penetrasi antara vagina dan penis dapat memiliki landasan hukum,” tegas Uli.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino