tirto.id - Proses pembentukan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengesahan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua dari Penghilangan Paksa (Konvensi Anti Penghilangan Paksa) yang sedang diusulkan oleh pemerintah masih terhambat masalah administratif. Salah satunya karena draf tersebut belum juga ditandatangai oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Hal tersebut dikatakan langsung Direktur Instrumen HAM Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Timbul Sinaga, dalam sebuah diskusi daring yang diselenggarakan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Jum’at (25/2/2022) sore.
Awalnya, Kemenkumham menargetkan pengesahan konvensi tersebut rampung pada 10 Desember 2021 lalu—bertepatan dengan Hari HAM Internasional. Namun, karena terdapat berbagai kendala, hingga saat ini draf tersebut masih di tangan pemerintah dan belum dibahas bersama DPR RI.
Timbul mengatakan bahwa draf RUU Ratifikasi Anti Penghilangan Paksa sudah berada di Kementerian Sekretaris Negara (Kemensesneg) sejak 9 Desember 2021 lalu.
Pada 5 Januari 2022, meminta empat kementerian melakukan paraf atas draf tersebut sebelum Surat Presiden (Surpres) dibawa ke DPR RI. Mereka adalah Kemenkumham, Kemenkopolhukam, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Pertahanan.
“Sekarang tinggal paraf dari Kementerian Pertahanan, tiga kementerian yang lain sudah,” kata Timbul.
“Kami berharap awal Maret sudah diparaf. Sehingga dibawa ke DPR dan dimulai pembahasan. Pada prinsip dan substansinya tak ada masalah,” tambahnya.
Timbul bilang, sekitar dua pekan lalu, dirinya sempat bertanya ke pihak Kementerian Pertahanan soal paraf ini. Pihak Kementerian Pertahanan mengklaim tak ada masalah apapun. Semua pihak di internal kementerian sudah sepakat merekomendasikan draf agar diparaf oleh Prabowo Subianto.
“Secara politis sudah tidak ada masalah. Kenapa belum diparaf? Ya, barangkali karena butuh waktu dan proses administrasi di kementerian,” katanya.
Beberapa pihak saat diskusi mempertanyakan soal paraf Menteri Pertahanan Prabowo Subianto kepada Timbul. Salah satunya soal mengapa Menteri Pertahanan harus ikut memparaf draf soal RUU Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa. Namun, Timbul tak menjawab dengan jelas.
“Sesuai dengan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, di sana dikatakan ketika Surpres diajukan ke DPR, RUU harus diparaf oleh menteri terkait. Di bawah Menteri Pertahanan kan ada Panglima TNI. Kenapa? Ya itu tadi. Jadi bukan ke Panglima TNI-nya kita minta paraf, tapi ke Menteri Pertahanan. Yang di dalam Kementerian pertahanan kan ada TNI, itulah kira-kira. Jadi jangan berprasangka yang lain, harus positive thinking,” jelas Timbul.
Kata Timbul, setelah semua menteri memparaf draf RUU, Kemensesneg akan mengirim Surpres ke DPR RI dan akan mulai dibahas bersama. Ia mengklaim bahwa tak ada perubahan krusial dalam draf yang diadopsi dari konvensi resmi internasional.
“Kami sudah pastikan RUU ini tidak berlaku surut. Isinya hanya empat pasal, standar dari konvensi. Paling lama dua hari dibahas di DPR RI,” kata dia.
Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah ikut menandatangani Konvensi Internasional tentang Perlindungan terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Secara Paksa (International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance, ICPAPED)—agar mudah, bisa disebut dengan Konvensi Anti Penghilangan Paksa—pada 2010 lalu.
Tiga tahun setelah tanda tangan konvensi, Pemerintah berencana untuk meratifikasi dan membawa draf RUU itu ke DPR RI. Namun, respons negatif datang dari pihak-pihak yang punya konflik kepentingan di masa lalu.
Namun, akhirnya pada 4 Desember 2013, Pemerintah dan DPR sama-sama memutuskan menunda ratifikasi konvensi tersebut sampai waktu yang tak ditentukan. Sejak saat itulah ratifikasi tersebut tak jelas nasibnya hingga kini.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Bayu Septianto