tirto.id - Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, menilai bahwa Indonesia pernah melakukan kesalahan fatal dalam merespons krisis pada 1997-1998. Saat itu, demi menjaga rupiah, Bank Indonesia (BI) justru menetapkan suku bunga tinggi, lebih dari 60 persen.
Namun, alih-alih konsisten menjalankan kebijakan uang ketat, BI justru mencetak uang sehingga jumlah uang beredar tumbuh hingga 100 persen. Kontradiksi kebijakan ini membingungkan publik: apakah BI sedang menerapkan kebijakan moneter ketat atau longgar.
“Jadi, kebijakannya kacau balau. Mau apa? Mau ketat apa mau longgar?” kata Purbaya dalam rapat kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu (10/9/2025).
Kekacauan kebijakan moneter itu tentu menimbulkan dampak serius bagi perekonomian. Suku bunga tinggi menghantam sektor riil karena bunga kredit pembiayaan melonjak drastis akibat keputusan BI.
Sebaliknya, kebijakan pencetakan uang justru dimanfaatkan pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk menyerang nilai tukar rupiah.
“Kalau kita melihat kebijakan kacau, yang keluar adalah setan-setannya dari kebijakan itu. Bunga yang tinggi menghancurkan real sector, uang yang banyak dipakai untuk menyerang nilai tukar rupiah kita. Jadi, kita membiayai kehancuran ekonomi kita pada waktu itu tanpa sadar,” tambah Purbaya.
Namun demikian, kesalahan tersebut bukan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan para ekonom-ekonom yang memberi masukan ke pemerintah. Sebab, krisis yang terjadi pada 1997-1998 merupakan kejadian pertama dan belum ada ekonom yang berpengalaman menghadapi krisis multidimensi tersebut.
“Ini bukan karena ekonom-ekonom yang dulu bodoh atau bagaimana, bukan. Tapi memang kita belum pernah mengalami keadaan seperti itu. Jadi kita belum tahu nyata seperti apa. Dan saya simpulkan kesalahan kita di situ,” jelas dia.
Karenanya, berbekal pengetahuan terkait krisis yang pernah terjadi sebelumnya, Indonesia berhasil melewati krisis ekonomi pada 2008. Saat itu, Purbaya mengaku menjadi salah satu orang yang ‘membisikkan' ke tim think tank Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Untuk menjaga nilai tukar Garuda dan agar ekonomi tetap tumbuh, likuiditas harus dibiarkan longgar, sehingga suku bunga acuan bank sentral diturunkan pada Desember 2008.
“Waktu itu mau jatuh ekonominya, ekspansi fiskal di tahun 2009, dan suku bunga diturunkan di bulan Desember 2008 ketika rupiah sedang melemah. Jadi hitungan saya adalah gini, kalau kita menjaga nilai tukar dan lain-lain, ciptakan pertumbuhan ekonomi. Kalau mau ciptakan pertumbuhan ekonomi, jaga kondisi likuiditas di sistem ekonomi. Itu yang terjadi,” kisah Purbaya.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id







































