tirto.id - Hari ketiga di pembuka candra Mei 2018, seorang warganet menulis kabar miring bahwa PT Dirgantara Indonesia (PTDI) telah berpindah tangan ke pemerintah RRC. Seperti biasa, di tengah polarisasi politik yang telah begitu polusi, cuitan seperti itu langsung menyalakan riuh tambur sawala.
PT DI pada hari yang sama via salah satu kanal media sosialnya langsung membantah kabar tersebut.
“Pemberitaan mengenai PT Dirgantara Indonesia (Persero) dijual ke pihak asing, kami nyatakan HOAX. Berita ini adalah berita bohong yang berulang dari tahun 2017 lalu,” tulis akun Twitter @officialptdi
Kabar ini memang berulang, karena pernah muncul pada April 2017, dan waktu itu telah dibantah oleh PTDI lewat siaran pers resmi.
Menurut Manajer Hukum dan Humas PT DI, Irfan Budiman, seperti dilansir Antara, pasal 52 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2012 Tentang Industri Pertahanan, kepemilikan modal PT DI yang merupakan salah satu industri strategis, seluruhnya di miliki oleh negara.
“Industri Pertahanan dilindungi UU No. 16 Tahun 2012 yang terjamin oleh negara eksistensinya, dengan demikian tidak boleh sebagian atau seluruh sahamnya dijual kepada pihak manapun dan 100 persen milik Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya.
Bagaimana Industri Pesawat Terbang Nasional Bermula?
Jauh sebelum Perang Dunia II berkecamuk, tepatnya tahun 1914, meski tak pernah mempunyai program mendesain pesawat terbang, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Bagian Uji Terbang di Surabaya yang bertugas mempelajari kinerja penerbangan pesawat terbang di wilayah tropis.
Memasuki tahun 1930, Belanda membentuk Bagian Produksi Pesawat yang menghasilkan pesawat modifikasi berbadan kayu. Setelah itu, bagian ini dipindahkan ke Lapangan Udara Andir, Bandung (sekarang Bandara Husein Sastranegara).
Empat tahun pasca-pemindahan bagian tersebut, Khouw Ke Hien (1907-1938), seorang pengusaha rumah potong hewan NV Merbaboe, hendak mengembangkan usahanya dengan memanfaatkan transportasi udara, karena beberapa cabang usahanya berada di luar kota seperti Sukabumi, Yogyakarta, dan Magelang.
Ia kemudian menghubungi Achmad bin Talim, seorang teknisi pesawat terbang. Talim lalu menghubungi kawan-kawannya untuk mengerjakan permintaan Khouw Ke Hien. Mereka kemudian mengerjakan pesanan pengusaha tersebut di sebua bengkel di Jalan Pasir Kaliki, tak terlalu jauh dari Lapangan Udara Andir.
Dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia (2008) karya Sam Setyautama, dijelaskan bahwa Khouw Ke Hien merupakan Peranakan pertama yang mendapat diploma pilot dari Departemen Penerbangan Hindia Belanda. Pesawat pesanan ia bawa terbang sampai ke Amsterdam. Sebelum meninggal tahun 1938, ia berniat mendirikan pabrik pesawat terbang.
Tahun 1946, saat revolusi bergolak, Tentara rakyat Indonesia Angkatan Udara (TRI AU) mendirikan Biro Perencanaan dan Konstruksi di Magetan, Jawa Timur di bawah pengawasan Wiweko Supono, Nurtanio Pringgoadisurjo, dan Sumarsono.
Dua tahun kemudian mereka berhasil membuat pesawat pertama bermesin Harley Davidson yang dinamakan RI-X. Kegiatan ini terpaksa dihentikan karena terjadi pemberontakan PKI di Madiun. Tahun 1953, lembaga yang sebelumnya di Magetan dipindahkan ke Bandung dan berganti nama menjadi Seksi Percobaan di bawah pengawasan Komando Depot Perawatan Teknik Udara, Nurtanio Pringgoadisurjo.
Tahun 1954, Seksi Percobaan berhasil membuat tiga unit prototipe pesawat hasil rancangan Nurtanio yang diberi nama Si Kumbang. Tiga tahun kemudian Seksi Percobaan ditingkatkan menjadi organisasi yang lebih besar dan namanya menjadi Subdit Penyelidikan, Percobaan & Pembuatan. Tahun 1958, lembaga ini menerbangkan prototipe pesawat baru bernama Belalang 89.
Dari tahun 1960 sampai 1964, Nurtanio dan rekan-rekannya dikirim ke Far Eastern Air Transport Incorporated (FEATI) di Filipina. Setelah selesai belajar di Filipina, mereka kembali ke Bandung dan memimpin Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP). Tahun 1966, Nurtanio meninggal. LAPIP berganti nama menjadi Lembaga Industri Pesawat Terbang Nurtanio (LIPNUR).
B.J. Habibie yang belajar pesawat dan penerbangan di Jerman, tahun 1973 pulang ke Indonesia. Oleh pemerintah Orde Baru, ia diproyeksikan sebagai tokoh pengganti Nurtanio. Maka pada 1976, LIPNUR berubah nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) yang langsung dipimpin oleh Habibie.
Sejak kepemimpinannya, Habibie mengembangkan sejumlah teknologi dan kerjasama dengan negara lain dalam membuat sejumlah pesawat terbang, seperti CN235 (diproduksi massal tahun 1983), N250, dan N2130. Tahun 1985, ketika nama "Nurtanio" diganti menjadi "Nusantara", krisis keuangan mulai menerpa. Proyek N2130 dihentikan, sementara N250 berhasil mengudara pada peringatan 50 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia.
Saat Krisis Semakin Parah
Setelah penerbangan pertama N250 pada 1995, krisis moneter dan ekonomi 1997 semakin membuat IPTN goyah. Dalam situasi yang semakin memburuk, pemerintah Indonesia terpaksa meminjam dana kepada International Monetary Fund (IMF) dengan syarat harus menghentikan operasi IPTN. Ribuan karyawan dirumahkan. Gelombang demonstrasi mengguncang industri pesawat terbang tersebut.
“Setelah 1997 keadaannya malah semakin parah saja. Apalagi IMF tampil sebagai dokter ahli amputasi pada Februari 1998. Lembaga ini langsung menohok jantung industri strategis, yaitu IPTN yang menjadi kebanggaan Soeharto dan Menristek BJ. Habibie,” tulis Ishak Rafick dalam Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Jalan Baru Membangun Indonesia (2007).
Ishak Rafick menambahkan bahwa IMF menilai industri pesawat terbang itu adalah proyek mercusuar yang hanya menghambur-hamburkan uang. Lembaga tersebut menilai bahwa jika kondisi ekonomi cepat pulih, maka sejumlah proyek seperti IPTN harus segera dihentikan. Maka pada 15 Februari 1998, dana IPTN mulai diamputasi dari APBN. Akibatnya, IPTN sebagai salah satu industri strategis semakin kesulitan dana.
Tekanan terhadap IPTN sempat mengundang sejumlah cibiran yang mencurigai bahwa IMF tengah berupaya mengerdilkan industri pesawat terbang tersebut yang bukan sekadar tukang jahit.
“IPTN berupaya mengembangkan potensi dirgantara, sehingga Indonesia bisa menjaga kedaulatan udaranya dengan pesawat-pesawat buatan sendiri, sekaligus memudahkan penduduknya untuk menjelajahi tanah airnya yang luas lewat penetrasi udara,” tambahnya.
Sementara Fahmy Radhi dalam Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat (2008) menjelaskan bahwa sejak didirikan, industri pesawat terbang ini memang dianggap oleh sejumlah pihak sebagai proyek mercusuar seperti zaman Orde Lama. Kritik dari dalam dan luar negeri terus-menerus menyerang IPTN.
Kritik-kritik tersebut adalah menilai bahwa pemilihan jenis industri teknologi tinggi dan padat modal tidak cocok bagi kondisi Indonesia, juga pengelolaan perusahaan yang tidak efisien dan tidak transparan.
“Penghentian operasi perusahaan dengan merumahkan sebagian besar pekerjanya merupakan klimaks dari perjalanan terseok-seok industri strategis penghasil pesawat terbang yang dibanggakan pada masa Orde Baru,” tulisnya.
Perusahaan dengan sumber daya manusia melimpah ini kemudian terpaksa menyia-nyiakan potensi anak bangsa di bidang teknologi dirgantara. Chappy Hakim dalam Berdaulat di Udara: Membangun Citra Penerbangan Nasional (2010), mencatat bahwa dalam waktu sekitar 20 tahun IPTN berhasil meningkatkan jumlah tenaga teknisi desainer dan teknisi operator yang semula berjumlah 200-an orang pada tahun 1979, menjadi 1.578 orang pada 1998. Tenaga insinyur yang hanya 120 orang pada tahun 1980 menjadi 1.225 orang pada 1998.
Selain itu, banyak juga tenaga setingkat doktor yang dihasilkan pada bidang disiplin ilmu yang sangat langka pada spesialisasi khusus bidang industri pesawat terbang yang akhirnya pindah kerja ke industri pesawat luar negeri, atau memilih usaha lain.
“Bisa dibayangkan apa yang terjadi kemudian di tubuh IPTN yang program-programnya sangat ambisius dan selalu mendapatkan dukungan dana nyaris tanpa batas, mendadak harus terhenti tiba-tiba,” tambahnya.
Sumber daya terdidik yang kehilangan pekerjaan ini, dengan motivasi yang tidak terlalu tinggi karena mulai digerogoti usia dan mesti jauh dari keluarga, sebagian bekerja di industri dirgantara Malaysia, Eropa, Amerika Serikat, Kanada, dan Brasil.
Memperjuangkan Hak
Sabtu, 12 Juli 2003, tepat pukul 00.00, PT DI ditutup tanpa pemberitahuan kepada karyawan. Semua kegiatan operasional dihentikan. Mengetahui hal ini, para karyawan langsung mendatangi kantor industri pesawat terbang tersebut, tapi mereka tidak bisa masuk karena dijaga ketat oleh aparat keamanan dari unsur kepolisian dan TNI Angkatan Udara.
Sebelumnya, kabar penutupan PT DI telah diketahui karyawan tetapi hanya sebatas gosip yang beredar di antara mereka. Ketika perusahaan tempat mereka bekerja akhir benar-benar ditutup, mereka menuntut penjelasan resmi kepada pihak manajemen terkait dengan nasib mereka.
Rakhendi Triatna, Kepala Hubungan Masyarakat PT DI saat itu, menjelaskan bahwa langkah penutupan perusahaan dan perumahan karyawan terpaksa diambil karena kondisi perusahaan tengah sekarat.
“Rasio beban kerja dengan jumlah karyawan tidak seimbang,” ujarnya, seperti ditulis Liputan6.
Ia menambahkan bahwa karyawan yang dirumahkan tetap mendapat penghasilan normal, tetapi tanpa tunjangan transportasi dan makan.
Ribuan karyawan yang di-PHK tiba-tiba tentu merasa dirugikan, apalagi urusan keuangan yang merupakan hak mereka belum sepenuhnya diberikan oleh perusahaan. Hal ini kemudian menimbulkan gelombang demonstrasi menuntut pemenuhan hak-hak tersebut.
Bertahun-tahun mereka menempuh berbagai cara untuk mendapatkan haknya. Sementara perusahaan beralasan bahwa tuntutan tersebut tidak bisa segera dikabulkan karena kondisi keuangan tengah morat-marit, meski ujungnya bekas karyawan akhirnya mendapat pesangon secara bertahap.
Permasalahan yang berlarut-larut ini kemudian dibawa ke meja hijau. 4 September 2007, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai oleh Andriani Nurdin menyatakan PT DI pailit dengan segala akibat hukumnya. Namun, putusan pailit tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada 22 Oktober 2007.
PT. Dirgantara Indonesia Kiwari
Beberapa tahun setelah badai menerjang, PT Dirgantara Indonesia mulai membangun lagi roda bisnisnya. Salah satu produk yang mereka pasarkan dan berhasil menjaring pembeli adalah pesawat perintis N219.
“Yang pesan sudah lebih dari 200 unit. Tapi ada yang nambah, ada yang kurang. Yang ngurang itu karena perusahaannya tutup. Dulu Merpati datang, sekarang Merpati sudah enggak ada lagi. Tapi buat kami di atas 100 sudah lebih dari cukup. Lebih dari itu, bonus. Sekarang sudah dapat 100 lebih, sudah cukup,” kata Budi Santoso, Direktur Utama PT DI, seperti dilansir Tempo pada 16 Agustus 2017.
Sejumlah kerjasama dengan pihak asing juga mulai dilakukan oleh PT DI, salah satunya dengan Airbus yang diwujudkan dalam nota kesepahaman pada acara Singapore Airshow 2018. Sementara dengan Turkish Aerospace Industries, PT DI tengah menjajaki kerjasama pengembangan pesawat tanpa awak.
“Produk ini sudah digunakan oleh tentara Angkatan Darat Turki. Pesawat tanpa awak ini punya kemampuan terbang hingga 20 ribu feet dan mampu mengangkut beban hingga 200 kilogram. Dilengkapi kamera dan sejumlah sensor,” ujar Temel Kotil, Presiden dan CEO Turkish Aerospace Industries.
Beberapa kerjasama dengan pihak dalam maupun luar negeri terus dikembangkan oleh industri pesawat terbang ini, meski beberapa pelayanan masih kedodoran, seperti keterlambatan penyerahan pesawat yang sudah dipesan.
Editor: Maulida Sri Handayani