tirto.id - Sudah lebih dari setengah tahun Indonesia berjibaku dengan pagebluk COVID-19. Kenyang sudah kita menelan berbagai macam kabar, mulai dari kenaikan angka kematian, kelelahan nakes, teori konspirasi, hingga pemerintah yang bingung sendiri menghadapi wabah ini.
Sementara tren kasus tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan, orang-orang pun mengeluh dirundung kepenatan. Klop dengan dibukanya berbagai macam promo tiket pesawat dan paket liburan. Apalagi, kebanyakan dari kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung ke daerah tujuan wisata populer.
Perjalanan pergi-pulang Jakarta-Jogja atau Jakarta-Belitung cukup dibayar seharga Rp700 ribuan saja. Kemudian, rute ke Bali atau Lombok hanya dikenakan biaya Rp1 jutaan. Banyak hotel juga banting harga supaya tetap bisa beroperasi di masa pandemi.
Kapan lagi bisa liburan dengan harga hemat. Mungkin, melancong barang sebentar tidaklahjadi masalah, asal tetap menerapkan protokol kesehatan. Biar jiwa dan raga tetap waras adanya. Saat satu-dua orang berpikir begitu, yang lain akansegera mengekor. Lalu, tiba-tiba saja area wisata padat kembali.
Bus-bus dan kendaraan pribadi berpelat “B” hilir mudik lagi di kawasan wisata. Titik-titik tongkrongan ikonik pun disesaki muda-mudi gaul ibu kota. Sebagian mereka patuh memakai masker, tapi lebih banyak yang tidak. Apalagi urusan jaga jarak, satu depa pun tak ada. Kegembiraan terbayar dengan risiko tingkat penularan virus yang makin besar.
“Jumlah kunjungan (saat ini) masih sedikit, Sabtu-Minggu biasanya 10 bus pariwisata dalam kurun waktu satu hari,” kata Kepala Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta Agus Arif Nugroho seperti diwartakan Suara Jogja.
Ukuran “sedikit” yang disebut Agus itu ditentukan berdasarkanperbandingan kasar jumlah pelancong dengan luas tempat parkir pada tahun 2019. “(Tahun 2019 lalu) Lokasi parkir sampai tidak muat,” lanjutnya.
Yogyakarta sebagai salah satu daerah wisata populer di Indonesia memang tidak pernah melakukan penutupan akses keluar-masuk secara regional. Jadi, menurut Agus, menerima pelancong dari luar kota adalah konsekuensi—entah apakah yang dia maksud juga termasuk konsekuensi penularan dari kluster pariwisata.
Tapi, Agus menegaskan bahwa salah satu syarat bepergian ke Yogyakarta adalah membawa surat bebas COVID-19. Jika pelancong berasal dari zona hijau, dia cukup menunjukkan surat sehat. Jikapelancong berasal darizona merah diminta membawa hasil rapid test. Sementara itu, tamu dari luar negeri wajib membawa hasil tes PCR.
Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta merasadaerahnya tetap aman, meski sedari awal rapid test tak pernah direkomendasikan WHO sebagai alat deteksi. Padahal, mayoritas wisatawan berasal dari zona merah—yang tingkat kepatuhan warganya terhadap protokol kesehatan sangat minim.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Yogyakarta menunjukkan mayoritas petandang berasal dari Jakarta. Di Yogyakarta International Airport, penumpang asal Bandara Soekarno Hatta, Jakarta, menempati urutan pertama pelancong domestik. Jumlahnya naik 146,61 persen selama periode Juni hingga Juli—dari semula 7.193 orang menjadi 17.739 orang.
Kondisi serupa juga terlihat di Bandara Adisucipto. Jumlah penumpang dari Bandara Halim Perdanakusuma periode Juni-Juli naik 141 persen, dari 278 orang menjadi 670 orang. Di bandara ini kenaikan jumlah penumpang terbanyak kedua berasal dari Surabaya (456,6 persen) dan Bandung (625 persen). Ketiganya merupakan zona merah kasus COVID-19.
Perkembangan PSBB Jakarta
Sebulan pascakasus pertama ditemukan, Jakarta menerapkan PSBB pada 10 April dan diperpanjang hingga tiga kali. Pada 5 Juni, Pemerintah Provinsi Jakarta beralih menerapkan PSBB transisi yang diperpanjang sampai lima kali.
Saat masa transisi inilah lonjakan kasus COVID-19 menggila. Rata-rata kasus positif harian di Jakarta pada September mencapai seribuan kasus. Pascalibur panjang 16-22 Agustus 2020, penambahan kasus positif sempat mencapai 3.003 kasus per hari.
Untuk menekan laju infeksi, Gubernur Jakarta Anies Bawedan akhirnya memberlakukan PSBB jilid dua pada 14 September dan kini diperpanjang hingga 11 Oktober nanti.
Sekilas pandang, tak ada jalanan lengang atau gambaran lain yang jadi tengara kepatuhan terhadap protokol kesehatan di Jakarta sejak Gubernur Anies Baswedan menerapkan PSBB jilid dua. Muda-mudi masih asik menongkrong, tanpa masker, dengan jarak berdempet. Kafe-kafe dipenuhi para pemuja kopi. Bagi mereka yang kebelet balik ke era normal, pagebluk ini seperti tak mencekam lagi .
Itu terjadi pula di banyak tempat di Bekasi, Bogor, Depok, dan Tangerang—daerah-daerah penyangga Jakarta. Padahal, jika bercermin dari pengalaman PSBB jilid pertama, PSBB tidak akan berdampak maksimal tanpa pengetatan protokol kesehatan serta dukungan daerah penyangga dan pemerintah pusat. Karena itu, semua pihak itu semestinya bersinergi.
Lain itu Pemprov Jakarta juga masih punya pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Sejak PSBB jilid pertama, Jakartasebenarnya belum pernah mencapai angka reproduksi efektif (Rt) virus yang stabil.
Angka Rt mencerminkan kemampuan transmisi virus. Idealnya, Rt harus berada di bawah angka 1—yang berarti satu orang terinfeksi bisa menularkan pada satu orang lainnya—agar transmisi virus bisa ditekan. Jadi, semakin besar Rt maka kian masif pula virus menyebar. Jakarta sebagai salah satu wilayah dengan jumlah kasus positif tertinggi masih memiliki Rt di atas 1.
Akun media sosial DKI Jakarta mengklaim pertambahan kasus positif mulai melandai—dari 49 persen menjadi 12 persen—sejak PSBB jilid 2 diberlakukan. Tapi, hitung-hitungan ini adalah akumulasi data selama 12 hari pra dan paska PSBB, bukan data harian. Sementara itu, data Dinas Kesehatan Jakarta menunjukkan rata-rata infeksi harian masih berada di atas angka seribu orang.
Angka pertambahan kasus harian periode 21-25 September, misalnya, masih menunjukkan adanya fluktuasi. Pada 21 September, tercatat 1310 kasus positif baru. Pada 22 September angkanya sempat turun menjadi 1122 kasus sebelum naik lagi menjadi 1187 pada 23 September. Angka positif kembali turun menjadi 1133 kasus pada 24 September, tapi kembali naik menjadi 1289 kasus pada 25 September.
Pandemi Belum Usai
Jakarta dan wilayah lain yang tengah mati-matian memerangi COVID-19 ibarat serdadu yang terpencar di medan perang. Kekuatan dan fokusnya terpecah karena ketiadaan komando dari pusat. Sia-sia melawan musuh yang semakin solid.
Di tingkat menteri dan presiden, kebijakan yang diambil sering kali instan dengan berpatokan pada tenggat waktu dua minggu.
“Kalau situasi kompleks seperti sekarang, penularan sudah terjadi di komunitas, waktu dua minggu tidak masuk akal untuk menekan laju penularan,” kata epidemiolog dari Universitas Udayana Bali I Made Ady Wirawan kepada reporter Tirto.
Begitu pula para pemimpin daerah yangsering kali tidak satu suara dalam menetapkan kebijakan penanganan pandemi. Saat Gubernur Anies menerapkan PSBB jilid dua, beberapa menteri dan kepala daerah di sekitar Jakarta justrutak satu suara. Daerah-daerah penyangga Jakarta juga tidak menerapkan protokol pembatasan ketat.
Baru-baru ini, Bekasi malah mengeluarkan aturan jam operasional bagi tempat hiburan seperti pub, karaoke, dan kafe. Tempat-tempat hiburan itu diharuskan menutup operasionalnya pada pukul 9 malam. Meski begitu, ada saja tempat hiburan yang bandel dan baru tutup pada pukul 11 malam.
Sekilas, pembatasan jam operasional itu terkesan membatasi pergerakan orang. Padahal, sebenarnya tidak demikian. Virus korona tidak hanya menyebar pada malam hari, bukan?
“Saya lihat pelaksanaanya (pengetatan protokol kesehatan) tidak sebaik sebelum dilonggarkan. Jadi ya tetap longgar saja,” kata Ady.
WHO memiliki enam kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu negara untuk memulai peralihan ke fase normal baru. Indonesia tidak memenuhi satu pun syarat itu. Indonesia masih lemah dalam hal pengawasan protokol kesehatan dan kontrol penularan. Kapasitas deteksi, isolasi, tes, perawatan, dan penelusuran kontak juga masih payah. Pun demikian dengan upaya minimalisasi risiko wabah.
Belum lagi upaya pencegahan di sekolah dan tempat kerja, pengendalian risiko-risiko penting, dan sosialisasi kelaziman baru kepada masyarakat yang masih diterapkan secara ala kadarnya. Seakan-akan nyawa rakyat hanyalah sekadar statistik.
Jika kebijakan penanganan pandemi masih seperti sekarang, jangan harap kita bisa seperti Cina yang warganya bisa bebas bergerak tanpa masker dan berkumpul tanpa tersekat jarak.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi