tirto.id - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memutuskan untuk "menarik rem darurat" penanganan COVID-19 dengan kembali menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan itu mulai berlaku pada Senin 14 September besok.
Kebijakan pembatasan ini diputuskan Anies setelah melihat kegawatan penyebaran COVID-19 di ibu kota. "Dengan melihat kedaruratan ini, maka tidak ada banyak pilihan bagi Jakarta kecuali untuk menarik rem darurat sesegera mungkin," kata Anies, Rabu (9/9/2020). "Artinya, kita kembali terpaksa menerapkan pembatasan sosial berskala besar seperti pandemi dulu."
Ketua Fraksi PSI DPRD DKI Idris Ahmad menilai tindakan Gubernur Anies "sudah terlambat". "Karena pak Anies enggak punya kriteria yang jelas dan terbuka kepada masyarakat," kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (10/9/2020). "Tidak cukup Pemprov DKI hanya mengeluarkan indikator ambigu seperti 'jika kasus naik'. Masyarakat harus dapat mengawasi dan mendorong."
Kriteria Anies disebut tidak jelas karena sebenarnya apa yang sudah terjadi sekarang telah muncul gejalanya awal Agustus lalu. Pada saat itu, peningkatan kasus mulai terlihat, yakni positivity rate melebihi standar WHO,7,8 persen. Penambahan kasus pun sudah melebihi 500 per hari. Sejumlah klaster juga muncul: perkantoran, pelancong, dan kegiatan keagamaan.
Saat itu PSI telah meminta Anies memberlakukan rem darurat. "Seharusnya tanda-tanda inilah [yang] menjadi peringatan bagi Pemprov DKI segera menarik rem darurat. Namun, Pemprov DKI malah mengeluarkan kebijakan yang tidak efektif dan plin-plan. Contohnya, kebijakan ganjil genap dan car free day (CFD)."
Saat ini kondisinya lebih mengkhawatirkan. Kamis (10/9/2020) kemarin kasus positif COVID-19 sudah mencapai 51.287 pasien. Setiap hari, sebanyak 1.000 kasus bertambah dengan positivity rate sebesar 12,7 persen. Jumlah pasien COVID-19 yang meninggal pun sudah sebanyak 1.365 atau 2,7 persen.
Akibatnya, jumlah tempat tidur rumah sakit, fasilitas kesehatan, dan makam semakin menipis. Bahkan diprediksi jika angkanya stabil atau bahkan meningkat, pada September ini makam dan tempat tidur rumah sakit bakal penuh.
Tenaga kesehatan (nakes) pun saat ini sangat terbatas, sampai Dinkes DKI harus menambah sebanyak 1.174 orang untuk menangani pasien.
Apa yang Harus Dilakukan Anies?
Tapi toh kebijakan tetap akan dilakukan. Oleh karena itu, PSI meminta agar Pemprov DKI meningkatkan sejumlah tempat berobat tersebut. Termasuk menambah tempat yang akan digunakan untuk ruang isolasi mandiri pasien positif COVID-19 dengan gejala rendah dan tanpa gejala (OTG).
"Dengan menggunakan rusun-rusun yang masih belum ditempati," katanya memberikan contoh.
Idris, yang menjabat sebagai anggota Komisi E DPRD DKI, juga mendorong pemprov meningkatkan kapasitas tes dan tracing. Saat ini kapasitas tes masih stagnan, belum mencapai 10 ribu per hari.
Kemudian selama PSBB total, PSI meminta Pemprov tidak membuat kebijakan yang kontraproduktif seperti kebijakan ganjil genap dan CFD. Dua kebijakan ini tentunya rawan menimbulkan kerumunan yang berpotensi meningkatkan penularan.
Pemprov DKI juga diminta mengubah bantuan sosial dari sebelumnya barang kebutuhan pokok menjadi uang tunai. "Maka warga dapat berbelanja barang kebutuhan sehari-hari di toko-toko sekitar sehingga dalam masa PSBB masih ada perputaran ekonomi di masyarakat," katanya.
Juga penting memperbaiki data penerima. Jangan sampai terjadi kesalahan data seperti pada Mei lalu.
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi meminta Gubernur Anies lebih tegas dibanding masa PSBB sebelumnya. Dia meminta Anies dan jajarannya langsung menindak tegas para pelanggar protokol kesehatan, baik warga maupun para pelaku usaha, baik yang skalanya kecil hingga perkantoran.
"Sekarang sudah bukan lagi sosialisasi-sosialisasi, tapi penindakan tegas," kata dia melalui keterangan tertulis, Kamis (10/9/2020).
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino