tirto.id - Jhonny Simanjuntak adalah anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDIP. Tentu dia bukan orang yang layak mendapatkan bantuan sosial (bansos) dari Pemprov DKI selama masa pandemi COVID-19 dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tapi toh namanya masuk sebagai salah satu penerima di Kelurahan Lagoa, Koja, Jakarta Utara.
Ia menyimpulkan ini dapat terjadi tidak lain karena pendataan penerima bansos "asal-asalan."
Cerita serupa terjadi di RW 07, Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara, pertengahan April lalu. Setidaknya 20 paket sembako dikembalikan warga karena mereka merasa masih mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sendiri.
Dalam Keputusan Gubernur Nomor 386 Tahun 2020 tentang penerima bantuan sosial selama pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) juga ditemukan nama-nama orang yang bekerja sebagai PNS dan TNI aktif--dua kelompok yang 'aman' karena tetap mendapatkan gaji pada masa pandemi.
Rujak Center for Urban Studies juga menemukan hal serupa saat membuka pos pengaduan selama masa pandemi. 32 persen pengaduan terkait bansos. Sebagian besar, 71 pengaduan, berasal dari Jakarta. Hampir seluruh keluhan dilayangkan mereka yang tinggal di kontrakan dan tidak memiliki KTP DKI.
"Dalam beberapa kasus, malah ditemukan bahwa bansos diterima oleh pemilik kontrakan, namun tidak oleh penyewa atau pengontrak yang jelas lebih membutuhkan," kata Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja kepada reporter Tirto, Kamis (14/5/2020).
Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Wamendes PDTT) Budi Arie Setiadi bahkan mengatakan dibanding provinsi lain, DKI Jakarta-lah yang paling kacau dalam perkara data penerima bansos. Saat siaran langsung di Facebook Migran Care, Selasa (12/5/2020) lalu, Budi Arie mengatakan data bansos DKI "paling ngawur" dan "kacau sekali."
Budi Arie, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Relawan Projo, relawan pendukung Presiden Joko Widodo dalam dua pemilu terakhir, mengatakan kekacauan ini dapat terjadi karena Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang jadi basis data penerima bansos belum pernah diperbarui lagi sejak 2011. "Data terpadu ini harus dievaluasi dan direvisi," katanya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tidak menyanggah fakta kalau penerima bansos tidak tepat sasaran. "Di negeri ini, data yang super akurat sulit. Tidak usah ditutupi fakta itu," katanya Rabu (22/4/2020) lalu. Satu contoh, akan selalu ditemukan orang-orang dengan nama yang sama persis. "Tentu saja enggak mungkin sempurna, enggak mungkin," tambahnya.
Sementara terkait orang-orang yang tidak dapat bansos padahal semestinya berhak, ia bilang itu terjadi karena mereka awalnya memang tidak terdata. Mereka jadi lemah secara ekonomi persis saat masa pandemi, misalnya karena penghasilannya jadi berkurang, atau nol karena di-PHK tempat kerja.
Saat itu Anies bilang data penerima akan segera diperbaiki. Mereka yang sebelumnya tak terdata diupayakan jadi penerima.
Alternatif
Ketua Komisi A DPRD Mujiyono mengatakan meski data telah diperbarui, bukan tidak mungkin kesalahan serupa kembali terulang. Oleh karena itu ia meminta pemprov memperkuat pengawasan, misalnya dengan mempublikasikan nama-nama penerima bantuan di kantor kelurahan, balai RW, maupun melalui portal media sosial resmi. Pemprov juga diminta menyediakan hotline khusus agar warga dapat langsung lapor seandainya melihat penyelewengan.
"Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat bekerja sama dengan kepolisian dan kejaksaan untuk melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran pemberian bantuan sosial tersebut," tambah Mujiyono.
Mujiyono juga mengatakan bersama anggota telah mengevaluasi pelaksanaan Kepgub Nomor 386/2020 tentang penerima bansos tahap I. Selain tidak tepat sasaran, mereka menemukan pula masalah lain. Misalnya waktu pelaksanaan yang molor menjadi 24 April dari yang awalnya 18 April. Masalah lain, Perumda Pasar Jaya dan mitra (Transmart, Lottemart, dan Hypermat) kesulitan menyediakan paket kebutuhan karena kendala suplai barang dan hambatan teknis lainnya.
Atas dasar itu mereka meminta pemprov mempertimbangkan mengganti bansos dengan bantuan langsung tunai. Politikus Partai Demokrat itu mengatakan ada sejumlah kelebihan distribusi uang tunai dibanding sembako.
Pertama, pemprov tak akan lagi kesulitan menyediakan dan mendistribusikan sembako. Biaya distribusi dan pengemasan bisa dihemat sehingga jumlah bantuan bisa ditingkatkan. Kemudian, uang tunai juga dapat meningkatkan daya beli masyarakat, sehingga dapat menggerakkan ekonomi di sekitar tempat tinggal.
"Warga penerima mendapatkan kebebasan untuk menentukan prioritas kebutuhannya masing-masing selama COVID-19," katanya menegaskan.
Namun Pemprov DKI tetap mendistribusikan bansos berupa paket sembako sebagaimana tahap pertama. Bansos tahap kedua yang mulai disalurkan Kamis (14/5/2020) kemarin kini menyasar 2,3 juta keluarga, dengan nominal perpaket sebesar Rp255 ribu. Angkanya naik dua kali lipat ketimbang penyaluran tahap pertama: 1,2 keluarga dengan satu paket senilai Rp149 ribu.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino