Menuju konten utama

Kacaunya Data Penerima Bansos COVID-19 antara Pusat dan Daerah

Mulai dari anggota DPRD hingga warga yang meninggal dunia masih terdaftar sebagai penerima dana bansos pandemi COVID-19.

Kacaunya Data Penerima Bansos COVID-19 antara Pusat dan Daerah
Sejumlah warga mengantre saat penyerahan Bantuan Sosial Tunai (BST) di Kantor Pos Bogor, Jawa Barat, Rabu (13/5/2020). ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/aww.

tirto.id - Niatan pemerintah dalam menanggulangi dampak ekonomi akibat COVID-19 nampaknya masih jauh dari efektif. Banyak yang beranggapan bahwa bantuan sosial dengan berbagai skema tersebut belum tepat sasaran.

Salah satu penyebabnya, simpang siur data yang dimiliki pemerintah pusat dengan daerah. Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Wamendes PDTT) Budi Arie Setiadi, misalnya, menyebut Provinsi DKI Jakarta adalah provinsi paling kacau dalam hal Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) untuk penerima Bantuan Sosial.

"Yang paling ngawur itu data Provinsi Jakarta. Nah, itu memang datanya kacau sekali," kata Budi Arie saat melakukan siaran langsung di Facebook Migrant Care, Selasa (12/5/2020).

Menurut Budi Arie, hal itu terjadi lantaran sejak 2011 DTKS DKI Jakarta belum pernah diperbarui lagi. "Persoalan data harus diperbaiki bersama, konsolidasi data DTKS kita, data terpadu ini harus dievaluasi dan direvisi,” kata dia.

Kekacauan data ini juga berakibat seorang anggota DPRD DKI dari Fraksi PDIP, Johnny Simanjuntak terverifikasi sebagai penerima dana bansos. Johnny yang bukan termasuk kategori penerima bansos, diketahui masuk sebagai penerima bansos untuk Kelurahan Lagoa, Koja, Jakarta Utara. Sekretaris Komisi E ini pun mengaku sudah menolak bantuan itu.

Tak hanya DKI, amburadul data penerima bansos juga terjadi di Sumatera Barat. Gubernur Sumatera Barat Iwan Prayitno menyoroti data program bantuan sosial yang kacau sehingga rentan salah sasaran.

Iwan menjelaskan ada berbagai skema bantuan yang disiapkan pemerintah pusat. Pertama, bantuan langsung tunai (BLT) dari Kementerian Sosial (Kemensos) sebesar Rp600 ribu per bulan untuk tiga bulan.

Kemudian BLT yang diambil dari dana desa sebesar Rp600 ribu per bulan. Selain itu juga ada bantuan tunai lewat Kartu Prakerja, Program Keluarga Harapan, dan bantuan sembako.

Terkait BLT Kemensos, awalnya terdapat 250 ribu kepala keluarga yang terdaftar untuk mendapat bantuan. Seiring waktu, jumlahnya dipangkas menjadi 234 ribu KK dan dipangkas lagi jadi 206 ribu KK. Iwan menyebut hal ini merepotkan Bupati dan Walikota di wilayahnya.

Selain itu, ketika bantuan siap disebar, rupanya 30 persen data dari Kemensos yang merujuk pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) itu tidak tepat sasaran.

Dia menduga itu dikarenakan pembuatan data yang tidak real time dan tak didasari tatap muka. "Sehingga beberapa Bupati dan Walikota menahan sementara di bank untuk meminta pendapat dengan menyurati kepada [pemerintah] pusat," kata Iwan.

Selanjutnya, terkait dengan Dana Desa, Iwan menjelaskan kriteria untuk mendapat bantuan ialah, hunian harus berupa gubuk dengan lantai tanah dan atap rumbia. Padahal, saat ini sudah tidak ada rumah dengan deskripsi tersebut di Sumatera Barat. Akhirnya, Pemprov Sumbar memodifikasi kriteria penerima bansos dengan mencari yang paling miskin dan paling terdampak di daerah tersebut.

Di Buleleng, Bali tepatnya di Kelurahan Penarukan Lingkungan Pendes, sejumlah warga yang sudah meninggal dunia juga diketahui masih masuk dalam daftar penerima bantuan sosial sebesar Rp600 ribu per Kepala Keluarga selama 3 bulan.

Menurut Ketua RT setempat Kadek Pasek Sukrawan, dari 129 desa dan 19 desa/kelurahan di Buleleng, hanya 20 desa yang memiliki data valid, data kemiskinan yang akurat dan punya operator khusus. Pembaharuan data kemiskinan melalui SIKS-NG (Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial Next Generation).

“Apakah kelurahan melakukan pembaruan data? Survei aja enggak, bagaimana mereka tahu kondisi nyata di lapangan? Tujuan kami hanya ingin agar bansos tunai sesuai peruntukan, itu saja,” sembur Kadek Pasek seperti dikutip Balipuspanews.com pada Selasa (12/5/2020).

Kepala Lingkungan (Kaling) Pendes, Kelurahan Penarukan Nyoman Gede Artawan membenarkan soal ada warganya yang sudah meninggal masih tercantum sebagai penerima bansos.

Namun menurutnya, masih melansir Balipuspanews.com, data tersebut berasal dari pusat. Kelurahan tidak bisa langsung mengganti karena harus berkoordinasi dulu dengan pihak pusat.

Pemerintah Akui Data Masih Tumpang Tindih

Presiden Jokowi mengakui masih ada masalah dalam pendataan penerima dana bantuan sosial yang terdampak COVID-19, khususnya pada pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Ia berjanji akan memperbaiki data tersebut pada pembagian BLT Tahap II agar tidak tumpang tindih. "Memang ada satu, dua, tiga yang berkaitan dengan data itu masih belum bisa diperbaiki," kata Jokowi usai meninjau penyaluran bantuan sosial tunai di Kantor Pos Kota Bogor, Rabu (13/5).

Pada kesempatan yang sama, Menteri Sosial (Mensos) RI Juliari Batubara juga mengakui data penerima bantuan sosial (bansos) khususnya untuk tahap pertama masih tumpang tindih dan belum sempurna.

“Kami sadar bahwa tahap pertama ini masih saja ada kekurangan dan masih ada data yang sedikit tumpang tindih, di tahap kedua in syaa Allah koordinasi lebih baik lagi bisa diatasi dengan baik,” kata Mensos Juliari setelah mendampingi Presiden Joko Widodo seperti dikutip Antara.

Ia mengatakan semua yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi dampak pandemi COVID-19 diakuinya masih jauh dari kesempurnaan.

Namun pemerintah pusat berupaya untuk memperkuat sinergi dengan pemerintah daerah (Pemda) dalam rangka penguatan data penerima bansos.

“Apa yang sudah pemerintah lakukan melalui bantuan sosial tunai atau BST dan bansos sembako juga untuk wilayah Jabodetabek tentu masih jauh dari kesempurnaan, kami juga terus meng-update data dari pemda juga,” katanya.

Pemda bekerjasama dengan Kemensos untuk mengkomunikasikan apabila ada warga-warga terdampak yang perlu dibantu tapi belum mendapat di tahap pertama dapat dimasukkan ke tahap kedua.

Ia menargetkan pembagian bantuan sosial tunai (BST) tahap kedua sebesar Rp600 ribu sudah bisa dibagikan sebelum Idul Fitri.

Khusus bantuan langsung tunai, pemerintah pusat melalui Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy berharap pemerintah daerah ikut memberikan data di luar DTKS agar bisa menerima bantuan tepat sasaran, terutama bagi orang-orang yang jatuh miskin akibat COVID-19.

"Mereka ini warga negara, penduduk kita yang semula tidak terkategori tidak mampu atau tidak miskin tapi sekarang menjadi jatuh miskin akibat dari COVID-19 ini atau kalau saya boleh menyebut miskin kagetan. Semula tidak miskin, kemudian jatuh miskin akibat dampak dari COVID-19," kata Muhadjir.

"Ini tentu saja perlu ada pencarian data, verifikasi data dan kemudian baru dipastikan mereka harus mendapatkan bantuan dan inilah sesuai arahan bapak presiden supaya diutamakan, diperhatikan betul, kelompok masyarakat yang sekarang mendadak menjadi miskin ini," lanjut Muhadjir.

Baca juga artikel terkait DANA BANSOS COVID-19 atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Gilang Ramadhan