tirto.id - Amdani sudah menjalani pekerjaannya sebagai agen properti selama dua tahun. Ia bekerja pada sebuah pengembang yang banyak membangun rumah di sekitar Depok, Jawa Barat.
Tahun 2014, saat awal ia bergabung dengan salah satu pengembang, masih ada rumah tipe 36 yang harganya di bawah Rp200-an juta. Rumah dengan harga seperti itu tidak berlokasi di Kota Depok memang, melainkan di Kecamatan Citayam, atau Sawangan. Tetapi, orang lebih sering menyebutnya sebagai “sekitaran Depok”.
Dua tahun kemudian, tak ada lagi rumah baru di bawah Rp300 juta di Depok. Salah satu rumah yang sedang dijual oleh Amdani harganya di atas Rp300 juta. Itu pun lokasinya tidak strategis. Tak ada angkutan umum lewat di jalan depan komplek perumahan itu.
Tahun 2014, saat Amdani mulai menjadi agen rumah, saya juga sempat mengunjungi pameran properti di Jakarta. Waktu itu, masih ada rumah baru seharga Rp500 juta di Bintaro. Pertengahan Agustus tahun ini, saya kembali datang ke pameran properti di Jakarta dan tak lagi menemukan rumah baru di bawah Rp1 miliar di Bintaro.
Ada memang rumah yang harganya Rp200 juta. Tetapi itu rumah subsidi dan lokasinya cukup jauh bagi mereka yang bekerja di Jakarta. Beberapa lokasi rumah subsidi bahkan tak memiliki akses kereta.
“Dalam setahun saja, harga rumah itu bisa naik Rp100 juta,” kata Amdani berapi-api. Ia tengah berusaha meyakinkan saya bahwa rumah adalah investasi yang cukup menjanjikan.
Benar bahwa rumah atau properti adalah investasi yang cukup menjanjikan saat ini. Tak hanya di Indonesia, aturan ini juga berlaku di seluruh dunia, kecuali negara-negara yang tengah dilanda krisis ekonomi atau konflik berkepanjangan.
Di Inggris, pascakrisis global tahun 2008, harga rumah terus terbang tinggi. Maret 2009, rerata harga rumah di Inggris masih 154.452 poundsterling atau sekitar Rp2,5 miliar. Juni tahun ini, harganya melonjak hingga 213.927 poundsterling atau setara Rp3,68 miliar.
Itu hanya harga rata-rata di Inggris. Di kota-kota besar seperti London, harganya tentu lebih menggila. Generasi muda dipastikan tak mampu membeli rumah di kota itu jika hanya mengandalkan penghasilan dari pekerjaan.
Di Jakarta pun demikian. Mereka yang tidak kaya raya sejak lahir tak akan mampu membeli rumah di Jakarta. Pilihannya adalah kota-kota di pinggiran Jakarta dan harus menempuh jarak puluhan kilometer untuk sampai ke tempat kerja.
Mengapa harga rumah sedemikian tingginya? Jika pertanyaan ini ditanyakan kepada pemerintah jawaban klasik yang akan muncul, yakni permintaan lebih besar dari persediaan. Sesungguhnya itu hanya mitos dan hanya bagian kecil dari penyebab naiknya harga rumah. Jika ditanya kepada pengembang, jawabannya juga klasik lagi, ini bukan kenaikan, tetapi hanya penyesuaian.
Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia (REI) Eddy Hussy mengatakan kenaikan harga rumah itu karena harga material dan upah pekerja naik setiap tahun. Dengan kenaikan itu, pengembang butuh melakukan penyesuaian. “Bukan propertinya yang naik, tetapi penyesuaian harga kok,” katanya.
Pernyataan Eddy ini bisa dimentahkan dengan fakta yang ditemukan tirto.id, dan mungkin juga ditemukan oleh Anda semua. Sebuah perumahan bernama Depok Country yang dikembangkan oleh Grande Group di dekat Stasiun Citayam, Depok dijual dengan harga mulai Rp450 juta tahun lalu.
Tahun ini, perumahan yang sama, jenis rumah yang sama, harga jualnya menjadi Rp600 juta. Penyesuaian seperti apa yang mengakibatkan kenaikan harga sedemikian rupa?
Positive Money, sebuah organisasi nirlaba di London memaparkan beberapa alasan penyebab melonjaknya harga rumah di kota-kota besar di seluruh dunia. Banyak yang percaya bahwa naiknya harga rumah dikarenakan jumlah penduduk yang terus bertambah, jumlah imigran yang kian banyak, sementara persediaan rumah sedikit.
Menurut organisasi itu, kepercayaan itu hanyalah mitos. Di Inggris misalnya, setiap empat manusia baru, ada tiga rumah baru yang dibangun. Di Jakarta pun mitos itu tampaknya berlaku. Banyak yang membeli rumah untuk sekadar investasi. Coba jalan ke daerah Kemang, Jakarta. Maka Anda akan menemukan banyak sekali properti yang disewakan atau dijual. Di wilayah Kemang Timur saja, ada lebih dari sepuluh rumah dengan pamflet “Dijual” bergantung di pagarnya.
Begitu juga di apartemen-apartemen di Jakarta. Banyak sekali unit-unit kosong. Unit-unit itu sudah terjual, tetapi tak ada yang menempati. Ia benar-benar hanya dijadikan instrumen investasi bagi si empunya. Semakin banyak orang yang menjadikan properti sebagai instrumen investasi, maka semakin tak terjangkau harganya bagi mereka yang belum memiliki rumah.
Positive Money menyebutkan penyebab utama kenaikan harga rumah adalah bank. Perbankan memiliki kemampuan untuk menghasilkan uang lebih banyak setiap kali mereka menyalurkan kredit perumahan. Selama periode tersebut, jumlah uang bank yang diciptakan melalui hipotek pinjaman bisa lebih dari dua kali lipat. Pinjaman ini merupakan pendorong utama dari peningkatan besar dalam harga rumah.
Rumah seharga Rp500 juta di Indonesia, jika dibeli dengan metode kredit pemilikan rumah (KPR) selama 20 tahun, harganya akan menjadi lebih dari Rp1 miliar. Mereka yang membeli rumah Rp500 juta tahun ini, pada kenyataannya akan membayar lebih dari Rp1 miliar kepada bank. 20 tahun mendatang, jika ia ingin menjual rumahnya, harganya tentu tidak di bawah uang yang sudah mereka keluarkan.
Fakta bahwa harga rumah naik lebih cepat dari pada upah membuat rumah semakin tidak terjangkau. Data dari Positive Money menunjukkan bahwa tahun 1996, masyarakat mengalokasikan 17,5 persen gaji mereka untuk membayar cicilan rumah. Tahun 2008, angkanya meningkat menjadi 49,3 persen.
Di London, kenaikannya lebih fantastis. Tahun 1997, rata-rata orang menghabiskan 22,2 persen dari gajinya untuk mencicil rumah. Pada tahun 2008, porsinya naik menjadi 66,6 persen.
Untuk menghentikan kegilaan naiknya harga rumah ini, dibutuhkan peran pemerintah untuk mengatur kepemilikan rumah atau tanah. Atau menyediakan instrumen investasi lain. Atau berupaya menurunkan bunga kredit. Jika kegilaan harga rumah ini dibiarkan saja, maka generasi mendatang akan semakin sulit memiliki rumah jika tidak mengandalkan warisan.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti