Menuju konten utama

Mimpi Sejuta Rumah

Pemerintah terus mengejar target kekurangan produksi rumah dan pembiayaannya. Program sejuta rumah diluncurkan, dan kini sudah memasuki tahun kedua. Sayangnya, program itu tak kunjung menyelesaikan masalah. Harga rumah terus membubung tinggi dan semakin tak terjangkau masyarakat.

Mimpi Sejuta Rumah
Pemerintah menargetkan pada akhir 2019 jumlah backlog kepemilikan rumah berkurang 6,8 juta unit sedangkan backlog penghunian menjadi 5 juta unit dan tidak layak huni berkurang menjadi 1,9 unit. [Antara foto/Irwansyah Putra]

tirto.id - Harga rumah terus meningkat secara signifikan. Kenaikan gaji pekerja tak lagi sebanding dengan kenaikan harga rumah. Pemerintah sudah mencoba mengatasinya dengan program KPR bersubsidi. Sayangnya, hal itu tidak banyak membantu masyarakat dalam mendapatkan kebutuhan perumahan. Semua masalah ini bermuara pada ketersediaan dan harga lahan yang semakin tinggi. Dalam hal ini, pemerintah ternyata tak mampu berbuat banyak.

Kepemilikan tanah oleh pemerintah maupun BUMN untuk perumahan terutama untuk segmen Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) sangat minim. Ketika pengembang swasta sibuk mencari kawasan “jajahan” baru, pemerintah justru sibuk mencoba melepas semua persoalan ke pengembang swasta, dengan anggaran perumahan yang minim pula.

Persoalan tanah menjadi akar segalanya. Ketika harga tanah sudah merangsek naik, apa daya harga jual rumah tak bisa dipaksa dijual murah, terlebih yang membangun swasta. Tak mengherankan, pemerintah akhirnya tak berdaya, beberapa kali menaikkan batas harga rumah subsidi yang seharusnya harganya dilindungi. Program sejuta rumah pun seperti angan-angan muluk yang sulit terealisasi.

Masalah Tanah

Jauh sebelum program sejuta rumah, pemerintah punya program 1.000 tower yang digagas pemerintahan SBY-JK yang dapat dikatakan terbengkalai. Permasalahan utama yang mengganjal yakni ketersediaan lahan dan tidak adanya insentif seperti skema pembiayaan. Pemerintahan Jokowi-JK kemudian meluncurkan program berbeda untuk mengatasi masalah perumahan, yakni lewat Program Sejuta Rumah. Sayangnya, banyak masalah yang menghadang program ini, terutama dari soal pengadaan lahan.

Lahan-lahan untuk perumahan kini semakin sempit. Kalaupun ada dan letaknya strategis, harganya pasti selangit. Sementara yang harganya terjangkau, letaknya kurang strategis sehingga tidak ekonomis. Celakanya masyarakat yang kantongnya hanya pas untuk rumah-rumah subsidi harus rela membeli jauh di luar kota, karena keterbatasan lahan.

Indonesia Property Watch (IPW) sempat melakukan survei terhadap beberapa pengembang rumah kelas bawah. Hasilnya, stok lahan (land bank) dari pengembang diperkirakan hanya bertahan selama 2 -3 tahun. Artinya, setelah itu mereka harus membeli lahan yang pastinya harganya sudah melonjak, jika tidak ada intervensi dari pemerintah.

Sampai saat ini pemerintah belum punya program atau strategi untuk mengendalikan stok dan pergerakan harga tanah dan rumah. Semuanya masih diserahkan ke mekanisme pasar. Kalau sudah begini, maka harga rumah termasuk untuk subsidi sulit terkendali, apalagi rumah komersial.

Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil belum bisa berbuat banyak untuk urusan ini. Pemerintah memang sadar bahwa stok tanah sesuatu yang dibutuhkan. Namun, pemerintah tidak bisa berbuat banyak karena modal swasta lebih mencengkeram di lapangan. Pemerintah masih berharap kepada para pemilik tanah termasuk pengembang tak menjadikan lahannya sebagai ajang spekulasi. Tentunya hal ini sama saja ibarat pungguk merindukan bulan.

“Kalau dia beli tanah didiamin saja, kemudian terus mendapat keuntungan dari spekulasi harga tanah maka akan chaos, itu yang tidak tepat. Jadi kita perlu merumuskan kebijakan yang tepat,” kata Sofyan Djalil saat ditanya oleh tirto.id, Kamis (18/8/2016).

Salah satu upaya pemerintah terbaru saat ini adalah pembentukan holding BUMN perumahan yang diharapkan punya kekuatan dalam membangun lebih banyak rumah dan mengendalikan pasokan hunian. Maklum saja, kemampun Perum Perumnas saat ini hanya mampu membangun sekitar 10.000 unit rumah per tahun.

Rendahnya daya produksi BUMN perumahan karena pendanaan yang terbatas, ujungnya berdampak pada belanja stok tanah mereka. Hingga 2015, stok tanah Perumnas sekitar 2.000 hektar. Pada tahun itu memang ada upaya belanja tanah baru seluas 166 hektar yang mayoritas difokuskan di kota-kota besar di Indonesia. Kondisi ini mendorong adanya gagasan agar pemerintah punya badan otonomi perumahan sebagai penampung stok lahan untuk pembangunan rumah subsidi.

“Dengan pengelolaan oleh pemerintah maka seharusnya dapat lebih menata di mana harus dibangun rumah sederhana," kata Direktur Eksekutif IPW Ali Tranghanda dikutip dari Antara.

Jika stok lahan yang dipegang oleh pemerintah cukup, maka program sejuta rumah bisa dijaga oleh pemerintah dalam hal kemampuan produksi hingga harga hunian. Hukumnya sederhana, jika pemerintah tak bisa menjaga stok tanah, maka harga lahan yang seharusnya untuk hunian subsidi, terangkat oleh harga lahan perumahan untuk kebutuhan komersial atau non subsidi. Sayangnya, program sejuta rumah masih berkutat pada angka-angka produksi dan realisasi yang belum menyentuh pada esensi.

Sebatas Sejuta Rumah

Program sejuta rumah yang dicanangkan pemerintah masih berkutat pada target berapa jumlah yang akan dibangun oleh pemerintah maupun pengembang, berapa pembiayaan dan cara mendapatkan pembiayaan. Kondisi ini hanya memunculkan klaim-klaim pemerintah terhadap keberhasilan mereka.

Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Syarif Burhanuddin mengutip Badan Pusat Statistik (BPS), angka backlog atau kekurangan rumah pada 2015 telah turun jadi 11,4 juta unit dibandingkan 2010 yang mencapai 13,5 juta unit.

“Data BPS yang menyebutkan bahwa sekarang masyarakat yang mempunyai atau memiliki rumah kurang lebih 82 persen atau backlog tinggal 11,4 juta unit,” kata Syarif Burhanuddin dikutip dari situs Kementerian PUPR.

Padahal bila melihat realisasinya, program tersebut belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Apalagi, pemerintah kini harus berhemat memangkas sejumlah anggaran, termasuk untuk program perumahan. Pemerintah telah memangkas anggaran pembangunan program sejuta rumah yang berasal dari pos penyediaan atau pembangunan perumahan yang dibiayai langsung dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016.

Konsekuensinya, yang bisa dibangun pemerintah hanya 110.574 unit. Sangat jauh dari ambisi jumlah satu juta rumah per tahun. Pos anggaran penyediaan perumahan yang langsung ditangani pemerintah tahun ini hanya sekitar Rp8 triliun. Itu baru dari sisi penyediaan, belum lagi soal pembiayaan oleh pemerintah yang juga masih terbatas.

Di atas kertas, dana pembiayaan perumahan pemerintah dari anggaran 2016 mampu mendukung untuk membiayai pembelian 600.000 unit rumah dari yang dibangun pengembang hingga pemda. Kontribusinya berasal dari alokasi dana bergulir Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) Rp9,2 triliun untuk 87.390 unit, subsidi selisih bunga Rp2 triliun untuk 386.644 unit, bantuan uang muka Rp1,22 triliun. Jumlahnya Rp4 juta per nasabah KPR FLPP, total anggaran pembiayaan perumahan sekitar Rp12,5 triliun. Jadi total sumber APBN, tahun ini, alokasinya hanya sekitar Rp20 triliun yang mencakup dari pos penyediaan perumahan Rp8 triliun, dan pos pembiayaan perumahan Rp12,5 triliun.

“Sebenarnya, pencapaian target satu juta kalau dari segi pembiayaan tidak ada masalah, hanya memang dari sisi supply mampu nggak pengembang membangun sebanyak itu,” kata Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Maurin Sitorus.

Sejak tahun lalu pemerintah memang banyak mengandalkan pembiayaan di luar APBN untuk program sejuta rumah. Selain APBN, ada juga dana pembiayaan dari BPJS Ketenagakerjaan senilai Rp48,5 triliun, Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum PNS) senilai Rp3,1 triliun, dari PT Taspen Rp2 triliun, dan Perum Perumnas Rp1 triliun.

Persoalan pembiayaan memang masih kendala, tapi uang bisa dicari dengan berbagai cara termasuk dengan mekanisme pasar seperti instrumen pembiayaan sekunder perumahan berupa Efek Beragun Aset dalam bentuk Surat Partisipasi (EBA-SP) yang diterbitkan oleh PT Sarana Multigriya Finansial (Persero). Potensi pembiayaan dari sumber ini bisa triliunan rupiah. Namun lagi-lagi pembiayaan tak akan berarti bila ketersedian lahan tak mendukung, termasuk kemampuan pengembang dalam membangun. Ujung-ujungnya realisasi sejuta rumah berakhir tak memuaskan.

Data terkini Kementerian Pekerjaan Umum dan perumahan Rakyat (PUPR) program sejuta rumah hingga pertengahann Agustus mencapai 345.501 unit. Artinya menyisakan 654.499 unit yang belum terbangun. Padahal waktu produksi hanya menyisakan hanya empat bulan saja. Realisasi ini diperkirakan akan jauh lebih buruk dari realisasi tahun lalu yang per 22 Desember 2015 sudah mencapai 667.668 unit rumah untuk perumahan MBR maupun non MBR. Padahal tahun lalu saja dengan capai sebesar itu sudah sangat buruk.

Tahun ini Kementerian PUPR menargetkan pembangunan rumah untuk MBR sekitar 700.000 unit, sebanyak 586.578 unit pembangunannya menggunakan dana non APBN. Sementara itu, sisanya 300.000 unit untuk rumah non MBR alias rumah komersial yang harganya dilepas ke pasar. Artinya ada 886.578 unit rumah atau 88 persen dari target pembangunan rumah sejuta rumah tak langsung dikendalikan pemerintah. Pemerintah hanya menyiapkan pembiayaannya seperti subsidi KPR, selebihnya tergantung swasta atau BUMN yang akan merealisasikan pembangunan fisiknya.

Dengan kondisi demikian, peranan pemerintah sangat rendah dalam menambah pasokan rumah apalagi mengendalikan harga rumah, terlebih rumah komersial yang jelas-jelas dilepas oleh mekanisme pasar. Program sejuta rumah dari sisi target pembangunan pun jauh dari harapan. Jangan harap bisa berdampak pada pengendalian harga rumah apalagi harga tanah. Pekerjaan rumah yang masih panjang.

Baca juga artikel terkait RUMAH atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti