tirto.id - “Jangan menjadi anggota REI karena ingin mendapatkan fasilitas, dan jangan pula menjadi anggota REI untuk menjadi calo tanah atau manipulator tanah."
Pesan ini disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin 42 tahun lalu saat Munas REI pada 1974 digelar di Jakarta. Pesan "Bang Ali" ini sangat masih relevan bagi para pengembang properti di Indonesia.
Saat ini, peranan pengembang swasta dalam penyediaan hunian di Indonesia sangat dominan. Di sisi lain, harga rumah terus mengalami kenaikan setiap tahun. Fakta ini menjadi dasar para pengembang sebagai pihak yang ditunjuk hidungnya akibat kenaikan harga rumah. Apa penjelasan pengembang terhadap tudingan miring ini.
Berikut wawancara tirto.id dengan Ketua Umum Realestat Indonesia (REI) Eddy Hussy, Kamis (18/8/2016).
Setiap tahun harga rumah terus meningkat, apa persoalannya?
Tidak semua daerah atau lokasi naik harganya. Terus kalau umpamanya naik itu karena harga material, gaji upah minimum kabupaten (UMK) setiap tahun naik. Dengan kenaikan itu tentu akan ada penyesuaian, bukan propertinya yang naik tapi penyesuaian harga kok. Tidak naik tapi penyesuaian harga ada dalam beberapa tahun ini. Dua tahun ini penjualan susah, ekonomi melambat, mana mungkin harga naik, jual saja susah.
Sekarang saja orang jual bisa cicil (uang muka) dua hingga empat tahun. Itu salah satu promosi-promosi oleh pengembang untuk meningkatkan daya beli. Jadi harga tidak naik. Tetapi penyesuaian harga ada karena setiap tahun UMK juga naik.
Material setiap tahun naik, harga komoditi setiap tahun naik di seluruh dunia. Besi, semen selalu ada penyesuaian setiap tahun, jadi penyesuaian itu karena ada kenaikan harga material, upah dan lain-lain yang menyebabkan kita harus menyesuaikan.
Ada anggapan pengembang menguasai dominan terhadap stok lahan menjadi pemicu harga rumah terus naik?
Harga tanah setiap tahun naik, kita tidak bisa kontrol karena itu harga pasar. Semua tanah bukan milik pengembang. Orang menganggap tanah itu milik pengembang. Padahal tanah itu sebagai bahan baku, bahan stok, kalau kita bikin keramik, butuh tanah liat sebagai bahan baku, terus pasir umpamanya, itu bukan kita spekulasi tapi kita harus stok, kalau tidak stok maka tidak berkesinambungan.
Dari kacamata pengembang, bisakah pemerintah intervensi harga pasar?
Susah juga mau intervensi, hak semua masyarakat untuk mematok harga (tanah) itu. Yang penting pemerintah perlu melakukan upaya memberi kepastian tata ruang tata kota RT/RW atau zonasi khusus untuk program sejuta rumah. Wilayah-wilayah yang dikhususkan untuk rumah murah bersubsidi terencana secara keseluruhan.
Dengan zonasi ini, maka NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) akan terjaga dan rumah MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) akan tetap terjangkau dan tidak semakin jauh dari pusat perkotaan. NJOP itu yang bisa membatasi atau mengurangi kenaikan harga tanah yang signifikan.
Ada upaya menyederhanakan perizinan, apakah itu bisa menekan harga rumah?
Harga rumah tidak perlu ditekan terus, rumah ini ada dua, satu untuk komersil satu untuk MBR. Kalau MBR ada penyederhanaan izin dan tentu akan membantu mengatasi kenaikan harga atau penyesuaian yang tidak terlalu tinggi. Tetapi kalau untuk komersil itu tergantung dengan pasar seperti daya beli masyarakat. Penyederhaan tentu sangat penting dan diperlukan karena menekan biaya pembangunan pastinya.
Kemampuan pengembang membangun rumah apakah bisa memenuhi permintaan?
Kebutuhan rumah setiap tahun mencapai 800.000 unit, sementara pengembang di Indonesia hanya mampu membangun 400.000 unit rumah per tahun. Jadi ada backlog sebesar 13,5 juta unit rumah.
Apa masukan ke pemerintah agar kekurangan itu bisa dikejar?
Penyederhanaan izin merupakan salah satu cara mempercepat program sejuta rumah. Jadi backlog 13,5 juta unit bisa dikurangin secepatnya. Agar cepat menutupi kekurangan rumah yang mencapai 13,5 juta unit.
Berapa yang sudah dibangun pengembang dalam sejuta rumah?
Total keseluruhan sudah 320.000 yang sudah terbangun dari target 1 juta rumah. Laporan REI per Juni capaian yang sudah terbangun tercatat mencapai sekitar 40.000 unit rumah untuk MBR atau sekitar 17,5 persen dari target 230.000 unit tahun ini.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti