tirto.id - Serangan teroris secara beruntun sejak kericuhan napi terorisme di Rutan Salemba Cabang Mako Brimob, pada Selasa (8/5/2018), hingga ledakan bom di Mapolrestabes Surabaya, Senin pagi (14/5/2018), membuat Presiden Joko Widodo mewacanakan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Penanggulangan Terorisme.
“Kalau nantinya di bulan Juni pada akhir masa sidang hal ini belum segera diselesaikan, saya akan keluarkan Perppu,” kata Jokowi di JI Expo Kemayoran, Senin (14/5/2018), seperti dilansir laman resmi setkab.
Presiden Jokowi menegaskan, amandemen UU Terorisme itu penting dilakukan karena merupakan sebuah payung hukum yang penting bagi aparat, khususnya Polri agar bisa menindak tegas dalam pencegahan maupun dalam tindakan.
Akan tetapi, pernyataan Jokowi itu mendapat kritik dari Ketua Pansus RUU Terorisme, Muhammad Syafii. Politikus Partai Gerindra itu berkata, presiden tidak semestinya mengeluarkan pernyataan semacam itu di tengah-tengah pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Terorisme. Sebab, menurutnya, pemerintah juga ikut andil dalam pembahasan regulasi itu.
“Selama ini pembahasannya tiga kali diundur karena belum ada kesepakatan dengan pemerintah soal definisi. Kalau ingin cepat, pemerintah seharusnya kooperatif,” kata Syafii kepada Tirto, Senin (14/5/2018).
Syafii menyatakan, pemerintah belum mau menerima usulan tambahan frasa “tujuan politik, motif politik atau ideologi" dalam definisi tindakan terorisme. Padahal, kata Sayfii, definisi tersebut telah disetujui oleh Polri, BNPT dan TNI.
Lagi pula, kata Syafii, pembahasan RUU Terorisme juga menjadi usulan pemerintah setelah peristiwa teror bom Thamrin pada 2016. Saat itu, menurut dia, DPR ingin pemerintah mengeluarkan Perppu sebagai tindakan cepat.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, pada 21 Januari 2016, menyatakan alasan pemerintah mengusulkan revisi UU tersebut guna mempercepat terbentuknya payung hukum bagi penanggulangan terorisme. Khususnya pada pencegahan. Sebab, jika melalui Perppu akan memicu kontroversi dan memperlambat jalannya proses pemberantasan terorisme.
Anggota Pansus RUU Terorisme dari Fraksi PKS, Nasir Djamil, menilai penerbitan Perppu dapat keluar dari esensi pembuatan RUU terorisme yang berfokus pada penindakan, pencegahan dan penanganan korban.
"Pastinya itu, kan, cuma fokus pada tindakan. Di sini, kan, kami bahas semua aspek, terutama pencegahan," kata Nasir kepada Tirto.
Lebih lanjut, kata Nasir, Perppu juga rawan disalahgunakan oleh rezim sebab tidak melibatkan masyarakat dan DPR dalam pembentukannya, seperti halnya dalam pembuatan Undang-Undang.
"Kami ingin hati-hati soal terorisme ini. Bukan enggak setuju," kata Nasir.
Berbeda dengan kedua anggota Pansus RUU Terorisme tersebut, Anggota Pansus dari Fraksi Golkar, Dave Laksono mendukung langkah pemerintah menerbitkan Perppu. Menurutnya, langkah itu bisa menjadi solusi di tengah kegentingan serangkaian teror yang terjadi akhir-akhir ini.
"Kalau nanti RUU Terorisme sudah selesai, ya tinggal dilengkapi lagi Perppunya," kata Dave kepada Tirto.
Dukungan juga disampaikan Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu. Menurutnya, keputusan Jokowi harus disambut baik sebagai upaya memperkuat aparat keamanan dalam menangani terorisme yang semakin nyata mengancam negara ini.
Ryamizard pun meminta kepada masyarakat agar tidak meributkan rencana Jokowi tersebut demi tetap menjaga soliditas bangsa memberantas terorisme.
“Yang penting buat keselamatan bangsa dulu. Untuk bangsa dan negara harus kita dukung. Jangan ribut dulu. Nanti ada begini [serangan teroris] lagi kelabakan," kata Ryamizard, di Kantornya, Jakarta Pusat, Senin, (14/5/2018).
Langkah Jokowi ini juga mendapat dukungan dari 14 ormas Islam yang tergabung dalam Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI). Mereka berpandangan pemerintah penting mengeluarkan Perppu apabila revisi UU Terorisme tak kunjung disahkan.
“Ya, sebagaimana dulu dikeluarkan Perppu Ormas untuk membubarkan HTI, Presiden kami minta mengeluarkan Perppu Antiterorisme kalau RUU tak segera disahkan,” kata Sekretaris Umum LPOI Luthfi A Tamimi dalam konferensi pers di Jakarta, Senin kemarin.
Mengenai pernyataan Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo yang menyatakan bahwa persoalan belum disahkannya RUU Terorisme ada pada pemerintah, Lutfi mengatakan sebagai bagian dari rakyat, LPOI hanya ingin RUU itu disahkan.
“Kami tidak mau tahu persoalannya di pemerintah atau DPR. Jangan saling lempar, apa mau menunggu jatuh korban-korban yang lebih banyak," katanya.
Menurut dia, aturan yang ada sekarang sangat tidak memadai untuk menangani terorisme, dan terbukti aksi-aksi teror masih terjadi. “Jadi, jangan hanya menyalahkan Polri, menyebut BIN kecolongan. Mereka sudah bekerja, tertangkapnya ratusan teroris salah satu buktinya, tapi aturan hukumnya memang tak memadai," kata Lutfi.
Polisi Masih Punya Wewenang Lebih
Wakil Direktur Imparsial, Ghufron Mabruri menilai, Presiden Jokowi belum perlu mengeluarkan Perppu. Alasannya, kata dia, di UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, aparat kepolisian masih mempunyai wewenang yang cukup untuk menindak terorisme.
Wewenang tersebut, kata Ghufron, seperti melakukan penahanan untuk keperluan penyidikan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan menggunakan informasi intelijen untuk memperoleh bukti permulaan.
"Jangan sampai suasana kebatinan kita menumpulkan rasionalitas kita dalam konteks pembahasan uu terorisme," kata Ghufron kepada Tirto.
Karena bagaimana pun, kata dia, UU harus dibuat berdasarkan prinsip-prinsip hukum negara, sesuai demokrasi dan tetap menghormati HAM.
Selain itu, kata Ghufron, yang perlu dipikirkan hari ini adalah aparat keamanan dan institusi lain bisa mengoptimalkan upaya deteksi dini dan pencegahan ancaman terorisme daripada membuat Perppu yang dapat menjadi blunder politik di masa depan.
"Sekarang belum dirasakan, tapi nanti kalau ada pasal-pasal yang abuse itu akan merugikan masyarakat dan demokrasi," kata Ghufron.
Hal senada juga diungkapkan Pengamat Terorisme dari Universitas Bhayangkara, Ali Ashgar. Ia menilai pemerintah sebaiknya tetap meneruskan pembahasan RUU Terorisme ketimbang menerbitkan Perppu. Sehingga, ke depannya negara ini bisa menghasilkan peraturan yang komprehensif sebagai payung hukum penindakan terorisme.
"Tetapi tetap berangkat dari kepolisian sebagai leadingsector dengan memberikan extended counter terorisme dengan penguatan fungsi intelijen. Jadi perlu ditambah fungsi intelijen terhadap kepolisian," kata Ali kepada Tirto.
Hal ini, kata Ali, berfungsi agar kepolisian dapat melakukan deteksi dini dan menindak pelaku sebelum teror terjadi. Sebuah hal yang menurutnya selama ini belum dapat dimaksimalkan kepolisian.
"Saya kurang sependapat kalau dikatakan kecolongan. Persoalan selama ini polisi ini tidak bisa menindak sebelum ada kejadian," kata Ali.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Abdul Aziz