tirto.id - Direktur Eksekutif Pusat Studi Demokrasi dan Partai Politik Dedi Kurnia Syah Putra menjelaskan, ada alasan mengapa Ketua Umum (Ketum) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) memperlihatkan sikapnya yang lebih lunak di periode ini.
Ia menyatakan, sikap tersebut membuktikan bahwa Prabowo tak lagi memprioritaskan dirinya, tetapi lebih untuk kebaikan partai politik yang dibangunnya.
"Kontestasi 2019 ini bisa dibilang sebagai arena terakhir keikutsertaan Prabowo sebagai Capres, meskipun tidak ada yang membatasi jika 2024 ia kembali maju, hanya saja semakin sulit meraih suara mengingat klimaks capaian politik Prabowo adalah tahun ini. Dengan asumsi itu, sedikit banyak pengaruhi sikap pragmatis Prabowo," kata Dedi kepada Tirto, Jumat (26/7/2019).
Ia menjelaskan, prioritasnya kini lebih banyak ke Gerindra sebagai Partai Politik dibanding dirinya sendiri sebagai personal. Untuk itu, perubahan sikap politik Prabowo muncul untuk menimbang untung rugi Gerindra sepanjang 5 tahun mendatang.
"Sekaligus menegaskan dinamika politik Indonesia yang memang cair dan mengurus pada kepentingan Parpol. Hal ini juga menihilkan komitmen koalisi oposisi untuk tetap beroposisi," ujar dia.
Ia juga menimbang penafsiran lain dari melunaknya sikap prabowo, yaitu harus ada ada distribusi kekuasaan yang ditawarkan oleh kubu petahana, dan nilainya tentu tidak kecil.
Artinya, kata Dedi, jika Gerindra akan masuk koalisi, tentu pemerintah harus memberikan jatah yang cukup untuk partai utama penyokong sisi oposisi itu.
"Tentu nilainya tidak kecil. Mengingat Gerindra mendominasi perolehan kursi di DPR di antara mitra koalisinya," tandas dia.
Dari sejarah antara Prabowo dan Megawati. Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 adalah tahun penting dari hubungan keluarga Sukarno dan Sumitro.
Ada pasangan Mega-Pro yang maju sebagai calon presiden dan wakil presiden waktu itu. Mega-Pro tentu mudah diingat orang, karena itu adalah salah satu merek sepeda motor rilisan Honda yang beredar luas di Indonesia.
Pada akhirnya, Prabowo harus mengalah dan membiarkan Megawati jadi "nomor satu" untuk sementara waktu.
Dua pihak ini bahkan pernah mengikat diri dalam Perjanjian Batu Tulis yang diteken pada 16 Mei 2009 di Jakarta. Poin pertama perjanjian itu membicarakan tentang siapa yang akan jadi presiden atau wakil presiden.
Poin kedua dan ketiga membahas tentang langkah-langkah yang dilakukan jika pasangan ini menang. Poin keempat: dua kubu berikrar akan saling dukung program partai.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno