tirto.id - Debat Pilpres kedua membahas isu yang beririsan hajat hidup orang banyak seperti energi, pangan, lingkungan hidup, sumber daya alam, dan infrastruktur. Itulah mengapa debat yang digelar di Hotel Sultan ini dilekatkan sebagai ajang adu gagasan dua kandidat soal program ekonomi.
Sejak resmi maju pada Pilpres, pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno selalu menekankan fokus kampanye pada isu ekonomi; menilai Presiden Joko Widodo gagal menjaga stabilitas harga pangan dan gagal mengerek pertumbuhan ekonomi lebih dari lima persen.
Setengah jam jelang acara debat, Prabowo melenggang ke dalam arena. “Siaplah," ucapnya. "Saya kira [saya] nanti bicara ekonomi dan pangan."
Maka, membawa jurus ekonomi andalannya, Prabowo mestinya mampu melayangkan jeb berkali-kali, yang seharusnya membuat Jokowi kewalahan. Tetapi, yang kita lihat berbeda. Kita mendapatkan paradoks Prabowo.
Prabowo Bicara tanpa Angka
Bagi Prabowo, yang penting adalah retorika dan bukan angka dan data saat mendebat lawan bicaranya. Seorang capres dua kali dan cawapres sekali yang sering gembor-gembor soal isu ekonomi, ia malah jarang sekali memberi konteks dalam debat kedua melawan Presiden Jokowi.
Dari 2.789 kata yang keluar dari mulut Prabowo, ia hanya menyebut angka dalam 20 kali. Jumlah ini amat timpang dibandingkan Jokowi yang menyebut angka sebanyak 98 kali.
Disingsetkan lagi, angka-angka yang disebut Prabowo hanya sampiran, bukan inti dari yang ia sampaikan.
Sementara Jokowi bicara "perlunya petani dikenalkan pada yang namanya marketplace [...] membangun ekosistem offline dan ekosistem online", untuk menjawab sesi pertanyaan mengenai problem skala kecil perikanan dan peternakan menghadapi revolusi industri 4.0; Prabowo menanggapinya dengan bicara seperti ini:
"... dahsyatnya perkembangan 4.0 ... akan berdampak suatu yang punya biasanya pabrik mobil di Jerman yang punya 15.000 pekerja bisa diganti sekarang dengan robot-robot yang hanya membutuhkan kurang dari 50 orang bekerja, ... tapi inti yang saya ingin sampaikan adalah kita bicara industri 4.0 sekarang masih belum bisa membela petani kita sendiri."
Atau, ia bicara apa yang disebut "disparitas"--alias kesenjangan ekonomi--dengan menggambarkan "segelintir orang, kurang dari 1 persen, menguasai lebih dari setengah kekayaan kita. Jadi kalau ada unicorn-unicorn, ada teknologi hebat, saya khawatir ini nanti lebih mempercepat nilai tambah dan uang-uang kita lari ke luar negeri. ... Silahkan Anda tertawa, tapi ini masalah bangsa."
Lalu ia melanjutkan:
"Kekayaan Indonesia tidak tinggal di Indonesia, menteri bapak sendiri mengatakan ada 11.400 triliun uang Indonesia di luar negeri. Di seluruh bank di Indonesia, uangnya hanya 5.465 triliun."
Berbeda dengan Prabowo, status petahana memudahkan Jokowi menyampaikan gagasan disertai statistik, data, dan angka yang konkret.
Misalnya, saat menyebut gelontoran bantuan untuk desa, Jokowi menyebut "187 triliun dana desa" yang berkaitan dengan bidang infrastruktur dalam tiga tahun, pembangunan "191 ribu kilometer jalan" produksi yang disebutnya "sangat bermanfaat bagi para petani", "58 ribu unit irigasi" dari dana desa, produksi "3,3 juta ton jagung", serta pembangunan "49 waduk".
Paradoks Prabowo Dipukul Balik oleh Jokowi
Ada satu pesan yang selalu diulangi Prabowo saat tampil dalam debat. Pesan itu: "Kekayaan yang dilarikan ke luar negeri". Ia mengangkut pesan ini dalam tiga kali pada segmen terpisah: pembacaan visi misi, segmen debat, dan pidato penutupan.
Pesan serupa ia ucapkan juga pada debat perdana, serta pada "pidato kebangsaan" di Jakarta dan Semarang jelang debat pertama dan kedua.
Dalam debat kemarin, narasi ketakutan ini ia paparkan lebih panjang saat segmen debat terbuka dengan Jokowi.
Kata Prabowo: "Kekayaan Indonesia tidak tinggal di Indonesia, menteri bapak sendiri mengatakan ada 11.400 triliun uang Indonesia di luar negeri. Di seluruh bank di Indonesia, uangnya hanya 5.465 triliun. Berarti lebih banyak uang kita di luar daripada di Indonesia."
Pesan itu ibarat menepuk air di dulang memercik muka sendiri.
Seperti diketahui nama Prabowo pernah muncul dalam dokumen Paradise Papers, bocoran data berisi 13,4 juta dokumen dari hasil investigasi International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ). Basis data ini memuat rincian keuangan orang-orang kaya di seluruh dunia yang memarkir investasi di luar negeri untuk mendapatkan pajak rendah atau bahkan tanpa pajak sama sekali.
Dokumen ini menunjukkan timbunan aset luar negeri dari para politisi dan perusahaan terkemuka serta sejumlah individu dan selebritas terkaya di dunia.
Nama Prabowo muncul dalam dokumen itu. Ia disebut pernah menjadi direktur dan wakil ketua Nusantara Energy Resources, sebuah perusahaan cangkang yang terdaftar di Bermuda, salah satu suaka pajak di dunia. Ia mengindikasikan Prabowo sempat melarikan uangnya ke luar negeri.
Dalam debat kemarin, kontradiksi lain dibongkar secara menohok oleh Jokowi sendiri. Semua itu bermula ketika Jokowi menanggapi Prabowo terkait programnya bagi-bagi sertifikat tanah.
Kata Prabowo, program Jokowi itu memang "menarik dan populer" tapi hanya bisa dirasakan untuk "satu atau dua generasi."
"Jadi, kalau bapak bangga dengan bagi-bagi 12 juta (sertifikat), 20 juta (sertifikat), pada saatnya kita tidak punya lagi lahan untuk kita bagi ... bagaimana nanti masa depan anak-cucu kita?" tanya Prabowo.
Alih-alih memberi saran konkret, Prabowo memberi masukan:
"Jadi kami strateginya berbeda, kami strateginya adalah Undang-undang Dasar 1945 pasal 33, 'Bumi dan air dan semua kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara.'"
Jokowi menimpali dengan nada meninggi:
"Saya tahu Pak Prabowo memiliki lahan yang sangat luas di Kalimantan Timur 220 ribu hektare, juga di Aceh Tengah 120 ribu hektare. Saya hanya ingin menyampaikan ... pembagian-pembagian seperti ini tidak dilakukan masa pemerintahan saya."
Gagap saat Diserang Balik
Bekas menantu Presiden Soeharto ini awalnya sempat ingin mengkritik kinerja pemerintah yang dinilai tidak pro nelayan. Jika terpilih kelak, ia menjanjikan akan membentuk BUMN khusus di bidang laut dan perikanan. Dari pernyataan ini terlihat Prabowo tidak paham permasalahan sebenarnya, sebab dengan mudah Jokowi mementahkan argumen Prabowo.
Dalam soal BUMN Perikanan, misalnya, "Mungkin bapak (Prabowo) belum tahu bahwa kita telah memiliki yang namanya PERINDO, kita telah memiliki yang namanya PERINUS, yang itu membantu membeli ikan-ikan yang ada di rakyat," kata Jokowi.
"Kemudian, yang kedua mengenai yang berkaitan dan perizinan untuk nelayan-nelayan kecil yang memiliki bobot 10 GT ke bawah ini sudah tidak pakai izin lagi. Hanya yang 10-30, 30 ke atas yang harus mendapatkan izin, baik dari KKP maupun dari provinsi," tambahnya.
Mendengar pernyataan ini, Prabowo menimpali ia mendapatkan informasi dari keluhan nelayan saat berkeliling ke daerah-daerah. "Jadi laporannya bagus, bagus, bagus, bagus (yang disampaikan ke Presiden), kenyataannya di bawah tidak sebagus apa yang dilaporkan ke Bapak."
Jokowi membalas ia sering blusukan dan mendengar keluhan nelayan. Alih-alih, membalas argumen Jokowi, Prabowo memilih menghentikan diskusi. "Terima kasih, cukup jelas, Pak. Kalau sudah jelas, saya rasa cukup, ya. Kita hargai semua orang."
Sebelumnya, ketika membahas soal lubang bekas galian tambang, alih-alih beradu gagasan, Prabowo malah meminta diakhiri karena keduanya memiliki ide sama yang tak perlu diributkan.
"Saya kira cukup, ya. Masalah ini kita ingin memberantas pencemaran lingkungan akan begitu kalau kita berbeda. Jangan kita diadu-adu terus. Kalau tidak banyak perbedaan, buat apa kita ribut lagi?"
Selain menghentikan perdebatan, jika tak menguasai tema diskusi, Prabowo biasanya akan melantur saat menjawab. Terlihat dari susunan gagasan dan kosakata verbal yang amburadul seperti dalam kalimat ini ketika ditanya Jokowi soal rencana pembangunan infrastruktur untuk pengembangan unicorn:
"Mereka (startup) juga mengalami, apa ya, kesulitan dalam arti, merasa sekarang ada tambahan-tambahan regulasi. Ada tambahan-tambahan mereka mau dipajak rupanya dalam perdagangan online."
"Ini yang mereka juga mengeluh. Jadi, saya menyambut baik dinamika perkembangan, apa itu, bisnis seperti itu. Ini luar biasa pesatnya dan ini memungkinkan membuka peluang-peluang luar biasa. Jadi saya sangat mendukung hal-hal seperti itu."
Editor: Fahri Salam