tirto.id - Ini adalah kisah di Golden Ballroom, Sultan Hotel & Residence Jakarta, sekitar 24 jam sebelum debat kedua capres dimulai. Malam sebelum acara debat adalah momen ketika akses masih sangat terbuka.
Siapa pun bebas mendatangi bilik ukuran 2x3 meter persegi di belakang panggung debat yang dibuat sebagai ruang tata rias darurat capres, dan memberi kesempatan bagi siapa pun untuk menempati kursi tamu undangan; benda paling sensitif yang bisa memicu keributan karena posisi tempat duduk adalah penentu derajat kehormatan para tamu.
Di atas panggung, berdiri dua kru televisi yang kebingungan saat berkali-kali diminta bicara dalam waktu dua menit. Mereka sedang memerankan calon presiden dalam sesi simulasi pertama acara debat.
“Visi saya menggalakkan infrastruktur utama yaitu kelapa sawit,” kata salah satu pemeran capres.
Di satu sisi bikin geleng-geleng kepala saking tidak nyambung. Di sisi lain belasan kru yang menyaksikan itu setidaknya bisa berterimakasih lantaran sang kawan berhasil bikin mereka tertawa di ujung hari.
Sungguh, menyaksikan raut wajah kuyu tanpa senyum semringah menjelang tengah malam bukan hal menyenangkan. Tak cuma kuyu, sebagian dari mereka pun sudah tidak bisa konsentrasi bila diajak bicara.
“Terlalu banyak hal yang harus diingat seharian ini,” celetuk salah satu kru sambil keheranan sendiri mengapa ia tidak lekas menangkap omongan rekan kerja.
Di kursi paling depan, duduk JFK, penanggungjawab acara debat yang malam itu tampak sejenak menghibur diri dengan mengisahkan pengalaman-pengalaman terdahulu dalam menangani berbagai acara.
Program acara debat calon presiden tahun ini dibuat oleh pria yang merancang acara "Dahsyat", program variety show terlaris milik RCTI. Ia juga sempat bertanggungjawab merancang acara variety "Inbox", "Miss Indonesia", "The Kids Show"--bekerjasama dengan Nickelodeon Channel dan The Voice.
“Aku yang merekrut Luna, Raffi, dan Olga. Mereka suka nakal, tidak peduli durasi. Harusnya sudah iklan, tapi maunya terus ngomong. Waktu jadinya molor. Dan lama-lama kami juga ditegur tim lain karena enggak patuh durasi,” ceritanya, bersemangat.
Ingatan itu muncul kala melihat dua pemeran capres diminta untuk terus bicara bila waktu habis. Salah satu tujuannya, mempersiapkan moderator Anisha Dasuki dan Tommy Tjokro guna mengantisipasi kejadian di luar rencana.
“Gladi bersih ini paling bikin deg-degan dan bagian paling susah dari peran moderator adalah menangani kegugupan,” ujar Anisha yang bersandar pada khasiat olesan minyak esensial untuk mengusir panik dan cemas.
Anisha bilang ia menerima seabrek pesan dari tim Komisi Pemilihan Umum sebagai pelaksana Pemilu 2019. “Tapi isinya rahasia. Intinya sih diminta untuk bersikap independen dan menjaga integritas,” katanya.
Ia menerima penugasan sebagai moderator pada 25 Januari 2019. “Setelah itu aku dan tim mengevaluasi tayangan debat pertama, nonton debat di Amerika biar tahu cara moderator bicara dan menenangkan penonton,” katanya.
Tayangan debat capres AS selalu menjadi rujukan bagi acara debat dalam negeri sebabnya negara Paman Sam itu ialah negara pertama yang menyiarkan siaran debat calon presiden pada 1960. Waktu itu kandidatnya Richard Nixon dan John F. Kenneddy. Sampai saat ini, menonton tayangan itu adalah hal wajib bagi tiap orang yang terlibat dalam proses produksi tayangan debat calon pejabat negara.
“Sayangnya konsep debat di AS tidak selalu bisa dipraktikkan di sini. Biasanya, ketika tim televisi penyelenggara mempresentasikan konten tayangan debat yang lebih menarik dan efektif, tim sukses paslon tidak berani menyetujui usulan tersebut. Mereka cenderung overprotektif terhadap para jagoan dan hal itu pun membuat KPU menurut keinginan timses yang cenderung main aman,” kata Najwa Shihab, presenter yang pernah terlibat dalam produksi tayangan debat calon presiden 2009 dan 2014, kini menggawangi Narasi TV dan bekerjasama dengan Tirto dalam acara debat capres dan cawapres 2019.
Menurutnya, tayangan debat masih diisi pertanyaan-pertanyaan dengan konteks yang terlalu luas, interaksi yang kaku, dan waktu yang terbatas.
“Di luar negeri itu bahkan ada variasi panelis. Ada kalanya debat dilakukan dengan beberapa panelis yang berasal dari kalangan jurnalis. Ada juga yang menayangkan perwakilan warga."
"Pertukaran ide lebih cair dan spontan. Ya tujuannya tetap satu: agar pemilih bisa membandingkan informasi yang diterima dari para capres. Di sini bahkan tidak ada mekanisme bagi moderator untuk follow up question,” lanjut Najwa.
Keterbatasan itu tidak dialami JFK yang merancang teknis acara. Sambil menyilangkan dan menggoyangkan kaki, ia berkata pihak KPU dan timses langsung menyetujui konsep acara yang ia buat. Katanya, ini proyek “Bandung Bonowoso”.
“Saya baru bikin layout tempat acara, panggung, dan segala macam seminggu lalu karena harus menangani acara-acara lain juga,” katanya.
Tata letak ruang yang ia rancang cukup sederhana. Golden Ballroom adalah ruang persegi panjang seluas 725 meter yang bisa memuat 2.000 orang. Ruangan bisa diakses dari dua pintu gedung: pintu utama yang dekat dengan pagar khusus untuk akses ballroom dan pintu samping yang dekat area penginapan.
JFK membagi ruangan jadi tiga bagian: ruang makan, ruang debat, dan area belakang panggung. Ruang utama tempat debat diselenggarakan hanya memuat 580 kursi tamu dengan pembagian masing-masing 140 kursi pada bagian kanan dan kiri sebagai tempat duduk undangan paslon serta 300 kursi pada area tengah sebagai tempat duduk undangan KPU.
Panggung dibuat dengan dekorasi minim dengan penekanan pada tiga layar di latar panggung serta pencahayaan. Semua itu dibuat dalam waktu 36 jam.
“Sebelumnya sudah pernah merancang konsep acara debat capres 2009 dan katanya mereka paling puas dengan acara itu. Jadi sekarang sudah tidak deg-degan lagi,” katanya, dengan nada yang menyiratkan bahwa merancang konsep acara debat calon presiden layaknya melakukan rutinitas pekerjaan sehari-hari.
Yang mungkin jadi tak biasa malam itu adalah ia mesti turun tangan untuk perkara mengganti kursi paslon. “Terlalu tinggi untuk Pak Prabowo. Ia tidak akan nyaman naik turun kursi seperti ini,” kata Danang Wicaksono, Liasson Officer Tim Sukses Prabowo.
Ia meminta panitia memutar otak agar aksi duduk-berdiri capres Prabowo tetap nyaman. Opsi pertama, membuatkan balok sebagai undakan. Opsi kedua, mengganti kursi.
Urusan ganti kursi pun tidak sesederhana itu. Harus didiskusikan terlebih dulu dengan timses capres Jokowi. Prinsipnya: semua tindakan dan perubahan di dalam ballroom harus seizin timses kedua calon.
Danang Wicaksono tak hanya mementingkan kursi. Ia mengontrol dan bisa meminta panitia mengubah arah lampu agar tidak terlalu menyilaukan calon presiden, mendinginkan AC, mengganti tabung transparan berisi pertanyaan, sampai memberi masukan untuk menyetrika bendera.
“Bapak itu punya standar yang sangat tinggi," kata Danang merujuk Prabowo Subianto. "Saya harus memperhatikan mobilisasinya sampai pada urusan apakah lantai cukup nyaman untuk dilangkahi, apakah ada halangan kabel dan sebagainya."
Dan, pada akhirnya, terlihat siapa yang paling berkuasa menentukan detail dalam acara debat capres. Bukan tim televisi, bukan pula KPU. Benar kata Najwa: timses penentunya.
Editor: Fahri Salam