tirto.id - "Pak Jokowi itu bekerjanya kurang efisien. Banyak infrastruktur yang dikerjakan dengan grusa-grusu tanpa feasibility study yang benar dan ini mengakibatkan banyak proyek infrastruktur yang tidak efisien.”
Pernyataan itu disampaikan Prabowo Subianto saat debat kedua kemarin. Ia mengkritik sejumlah infrastruktur yang telah rampung seperti LRT Palembang dan Bandara Kertajati di Majalengka.
“Hanya jadi monumen tapi tidak dimanfaatkan,” tambah Prabowo.
Kritik Prabowo itu menanggapi klaim Presiden Joko Widodo atas pencapaian pembangunan infrastruktur.
“Saya kira dalam empat tahun ini telah kita bangun banyak sekali, baik itu yang jalan tol baru maupun pengembangan airport baru ... dan inilah yang ingin terus kita lakukan.”
Sejak berkantor di Istana, Jokowi selalu menggunakan infrastruktur sebagai indikator keberhasilan pemerintahannya. Tidak terlalu keliru, memang. Ia mengebut sejumlah proyek infrastruktur dalam hampir empat setengah tahun terakhir. Dari proyek pembangunan jalan tol, bandara, pelabuhan, hingga transportasi massal.
Beberapa proyek ini rampung sebelum 2019. Sayangnya, ada sejumlah proyek yang dituding gagap dikelola alias mubazir dan hal ini dipakai Prabowo sebagai peluru untuk ditembakkan kepada Jokowi dalam debat kemarin.
Evaluasinya, beberapa proyek infrastruktur sama sekali tidak efektif buat publik, atau dalam retorika Prabowo "infrastruktur untuk rakyat, bukan rakyat untuk infrastruktur".
Kereta cepat ringan (LRT) Palembang, misalnya, dikebut untuk menopang Asian Games 2018. Pada 7 Februari 2019, juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga menyebut biaya operasional LRT Palembang mencapai Rp10 miliar, sementara pemasukannya hanya Rp1,1 miliar.
“Ada gap 9 miliar rupiah yang harus ditutup dengan subsidi,” tulis Suhendra dalam keterangannya.
Pemerintah memang menggelontorkan dana Rp300 miliar per tahun untuk biaya operasional LRT Palembang. Sehingga tarif yang seharusnya ditanggung penumpang sebesar Rp10.000 menjadi Rp5.000. LRT Palembang mulai dibangun pada 2016 dan rampung pada 2018. Proyek ini menghabiskan APBN sebesar Rp11,49 triliun.
Riwayat pembangunan LRT Palembang berawal saat kota ini sempat diprediksi akan ‘terkunci’ atau mengalami kemacetan parah pada 2020. Untuk mengantisipasinya, Gubernur Sumatera Selatan saat itu, Alex Noerdin, berniat membangun monorel. Namun, rencana itu dinilai tidak efisien sehingga diubah menjadi LRT. Harapannya, mampu mengurai kemacetan dengan target mengangkut 96 ribu penumpang per hari.
Namun, sejak beroperasi pada Juli 2018 hingga Februari 2019, LRT baru menampung hingga 1 juta penumpang. Artinya, hanya 166 ribu penumpang per bulan atau 5.500 orang per hari.
Jika dikalikan dengan tarif Rp5.000 per orang, pemasukan LRT Palembang bahkan tidak sampai Rp1 miliar per bulan.
Proyek lain yang disinggung dalam debat adalah pembangunan Bandara Kertajati di Majalengka. Bandara ini menghabiskan Rp12,2 triliun dari kocek APBN dan APBD Jawa Barat. Ia mulai dibangun pada November 2015 dan diproyeksikan menjadi bandara terbesar setelah Soekarno-Hatta.
Namun, sejak beroperasi pada Mei 2018, Bandara Kertajati masih sepi karena salah satunya akses yang sulit ke bandara. Dalam bahasa Prabowo pada debat kemarin, "tidak terpakai".
Kritik Prabowo soal "banyak infrastruktur" dikerjakan dengan "grusa-grusu tanpa feasibility studi yang benar", termasuk terhadap Bandara Kertajati, secara tidak langsung mengoreksi keseluruhan proyek strategis nasional Jokowi dalam Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Dalam debat kedua kemarin, hanya muncul 4 frasa "jalan tol", dan tiga frasa itu keluar dari mulut Jokowi. Prabowo menyebut satu frasa "jalan tol" dalam konteks keseluruhan infrastruktur yang diklaimnya tidak efisien dibandingkan negara-negara lain.
Menguji elaborasi kedua kandidat itu, pada Desember 2018, Jokowi telah meresmikan ruas tol Trans Jawa, yang menghubungkan Jakarta-Surabaya. Selama pemerintahannya, Jokowi membuka 616 km ruas tol Merak hingga Pasuruan.
Sebulan beroperasi, keluhan atas biaya perjalanan melewati Tol Trans-Jawa mengemuka dari para sopir truk. Mobil golongan I misalnya harus merogoh kocek lebih dari Rp300 ribu dari Jakarta-Surabaya, sementara untuk truk-truk pengangkut logistik bisa mencapai Rp1 juta.
Problem Logistik dalam Infrastruktur Jokowi
Fokus Jokowi membangun infrastruktur secara masif untuk menjawab masalah fundamental Indonesia soal harga kebutuhan pokok yang timpang lantaran biaya logistik tinggi.
Semangatnya, membangun infrastruktur berupa jalan mulus bebas hambatan dapat memangkas waktu dan biaya, sehingga harga pangan dapat merata atau setidaknya bisa ditekan pada tiap daerah.
Sebelum debat kedua, kami membicarakan soal proyek infrastruktur Jokowi dengan Bhima Yudistira dari Institute for Development of Economis and Finance (INDEF). Ia menilai getolnya pembangunan jalan tol tak serta merta menurunkan biaya logistik.
“Mengapa tarifnya bisa mahal? Karena biaya pembangunannya besar, pembebasan lahan dan sebagainya. BUMN butuh kembali modal dengan cepat untuk melunasi utang,” ujar Bhima pada Jumat (15/2).
Padahal, lanjut Bhima, ada opsi lain yang bisa jadi lebih murah dan solutif ketimbang membuka jalan tol, misalnya dengan pelebaran dan peningkatan kualitas jalan arteri, yang membutuhkan biaya seperti pembebasan lahan jauh lebih murah dari jalan tol.
“Kalau bangun jalan tol harus belah bukit. Sementara jalan arteri berbasis jalan yang sudah ada. Ada pembebasan lahan, tapi sedikit. Itu konsepsi yang hilang dari pembangunan ini,” terangnya.
Dari kacamata makro, pembangunan infrastruktur Jokowi belum memberikan pengaruh signifikan pada pertumbuhan ekonomi.
Badan Pusat Statistik merilis tren nilai ekspor sejak 2013 hingga 2017 cenderung menurun hingga tiga persen. Angka ini baru meningkat menjadi 6,6 persen sehingga menghasilkan 180,05 miliar dolar AS pada 2018. Tetapi nilai impor pun naik lebih dari 20 persen sehingga menjadi 188,62 miliar dolar AS pada 2018.
Artinya, neraca ekspor-impor menjadi defisit dengan gap 8,56 miliar dolar AS.
“Infrastruktur saat ini gagal menjadi daya ungkit perekonomian makro,” kata Bhima.
Dalam debat kedua kemarin, menanggapi serangan Prabowo soal infrastruktur, Jokowi menjawab bahwa infrastruktur adalah investasi jangka panjang.
“Kalau tadi Pak Prabowo menyampaikan tanpa feasibility itu salah besar. Karena ini sudah direncanakan lama. Dan tadi yang disampaikan misalnya LRT Palembang semuanya butuh waktu memindahkan budaya yang senang naik mobil sendiri kemudian masuk ke transportasi massal,” papar Jokowi.
Akhmad Akbar Susamto, ekonom dari Center of Reform Economics (CORE) yang kami tanyai untuk membahas isu infrastruktur sebelum debat kedua, menyebut evaluasi infrastruktur harus ditilik satu per satu, tidak digeneralisasi.
Menurutnya, ada beragam indikator yang menentukan keberhasilan suatu proyek.
“Kalau dilihat dari pertumbuhan ekonomi harus dilihat pula indikatornya. Mau dibandingkan dari tahun sebelumnya, target yang ingin dicapai atau negara lain? Pun jika dibandingkan negara lain, harus lihat dulu negara mana? Jangan bandingkan dengan negara maju,” ujar Akhmad.
CORE telah melakukan riset lapangan dengan studi kasus di beberapa bidang infrastruktur seperti pembangunan bendungan, pembangunan jalan tol, pos lintas batas negara, dan padat karya tunai.
Untuk pembangunan bendungan, CORE mengambil sampel Jatigede. Ada sejumlah dampak positif seperti penyerapan tenaga kerja lokal hingga pertumbuhan ekonomi seperti pertumbuhan industri di Majalengka dan Sumedang serta peningkatan pengunjung wisata. Dampak positif yang dipaparkan CORE saat konstruksi, yang bisa jadi tidak berkelanjutan setelah proyek rampung.
Pembangunan bendungan ini pun tak luput dari koreksi, salah satunya memunculkan pengangguran baru dari kalangan petani lantaran berkurangnya lahan pertanian.
Jokowi Memunggungi Laut & Klaim Keliru soal Konflik Agraria
Pada debat Pilpres 2014, Joko Widodo memperkenalkan gagasan tol laut demi menopang retorika bahwa sebelum pemerintahannya kebijakan negara telah lama memunggungi laut. Tapi, pada debat kedua kemarin dalam Pilpres 2019, Jokowi hanya dua kali menyebut "tol laut" ketika disodorkan pertanyaan oleh moderator mengenai penduduk miskin di wilayah pesisir.
Semakin minim omongan Jokowi soal tol laut menjelaskan fokus pembangunan infrastrukturnya yang bergeser dengan terlihat meresmikan jalan-jalan tol ketimbang pelabuhan.
Padahal, Jokowi memiliki 10 proyek strategis pelabuhan internasional. Empat di antaranya proyek prioritas: Pelabuhan Internasional Hub Kuala Tanjung, Pelabuhan Internasional Hub Bitung, Pembangunan Pelabuhan Patimban, dan Inland Waterways Cikarang–Bekasi–Laut Jawa.
Hingga 2018, Jokowi hanya meresmikan empat pelabuhan baru dan keempatnya bukan pelabuhan prioritas: New Port Sorong, Makassar New Port, Pelabuhan Tanjung Api-Api, dan Pelabuhan Kijing Kalbar.
Ada delapan pelabuhan lain yang rampung dan diresmikan oleh Jokowi tapi mereka sudah dibangun sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Bandingkan dengan jalan tol: Jokowi sudah meresmikan 12 dari 28 jalan tol selama pemerintahannya.
Ekonom senior Faisal Basri pernah berkali-kali menyebut format pembangunan perhubungan di Indonesia tidak seharusnya berkiblat pada Cina.
“Cina itu kondisi geografisnya daratan. Tepat jika menggunakan jalan tol. Tapi Indonesia, benangnya adalah laut. Jadi maritim yang seharusnya dibangun,” ujar Faisal saat diskusi publik di INDEF, tiga hari sebelum debat kedua.
Bhima Yudistira dari INDEF menyetujuinya. Ia mencontohkan pada proyek Cilamaya yang terus tertunda dengan alasan ada pipa Pertamina di dasar laut.
“Lama-lama tol laut sudah tidak lagi jadi prioritas. Narasinya bergeser ke jalan tol sejak 2015,” ujar Bhima.
Dalam debat kemarin, Jokowi juga menyebut biaya pembebasan lahan memiliki porsi kecil dalam pembangunan infrastruktur. “Hanya dua sampai tiga persen,” katanya.
Faktanya, untuk tol Trans Jawa, pemerintah harus merogoh kocek hingga Rp17,27 triliun untuk ganti rugi lahan.
Jokowi juga mengklaim dalam empat setengah tahun terakhir hampir tidak ada konflik pembebasan lahan untuk infrastruktur. Lagi-lagi, Jokowi alpa dengan kasus sengketa agraria, misalnya untuk pembangunan Bandara Kulon Progo di Yogyakarta.
Dari data Konsorsium Pembaruan Agraria, tercatat ada 215 konflik agraria pada 2014, 450 kasus pada 2016, 659 pada 2017, dan 410 kasus pada 2018.
Editor: Fahri Salam