tirto.id - Petambak Madura menyurati Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019 Susi Pudjiastuti lantaran tidak bisa menjual garam produksinya 2 tahun berturut-turut. Hal ini lantaran impor garam yang sudah terjadi sejak 2018 dilanjutkan ketika Susi tak lagi menjabat lagi.
“Ibu dulu melindungi kami orang Madura. Begitu ibu tidak ada lagi di barisan Joko Widodo, keadaan kami hancur. Kami marah bu. Apakah ibu akan diam melihat kami begini?” ucap bagian penutup pernyataan petambak Madura yang diterima reporter Tirto, Sabtu (18/1/2020).
Petambak Madura bernama Tajab (56) membenarkan adanya keluhan itu. Kepada reporter Tirto, Tajan menceritakan kalau produksi petani garam di daerahnya saat ini sangat berlimpah.
Ia mencontohkan daerah Pamekasan dan Sumenep banyak garam rakyat terhampar tak terurus lantaran tidak bisa dijual lantaran harganya kurang dari Rp300 per kg. Bila dijual ke Surabaya pun, butuh biaya Rp475 per kg dan petambak hanya mendapat harga kurang dari Rp250 per kg dari potongan transportasi dan kuli.
Tajab bilang penyebab tak terserapnya 200 ribu ton garam produksi Madura ini karena importasi berlebihan.
Ia mencatat importasi 2018-2019 mencapai 3,9 juta ton padahal rekomendasi 3 menteri yaitu KKP, Kemenperin, dan Kemendag menghitung hanya perlu 1,7-2,1 juta ton saja per tahun.
“Yang diimpor sudah banyak gitu, tapi ini katanya (2020) mau impor lagi. Ini petani Madura mau dimatiin,” ucap Tajab saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (18/1/2020).
Di lokasinya sendiri, Tajab bilang ia punya 1.500-2.000 ton dan membengkak ke angka 3.000 ton karena selama 2019 ia tidak bisa menjual apa-apa.
Menariknya, Tajab mengaku garam yang tak terjual justru berkualitas premium memenuhi standar penyerapan industri, alih-alih berkadar rendah seperti yang biasa dituduhkan pemerintah.
“Padahal punya garam premium kadarnya 97,3 persen sama seperti garam impor bahkan lebih baik dari garam makan,” ucap Tajab.
Ia bilang daerah seperti Indramayu, Cirebon, dan Gresik memang seringkali memiliki masalah dalam kualitas. Namun, di daerahnya ia memastikan itu tak terjadi bahkan kualitas garam premium nyatanya juga berhasil diproduksi di NTT dan NTB.
Berbekal teknologi membrane, kata Tajab, produksi garamnya meningkat 2 kali lipat dengan kualitas sama seperti impor.
Tajab lantas mempertanyakan keberpihakan pemerintah. Sebab sebenarnya kebutuhan garam nasional praktis bisa dipenuhi dari dalam negeri baik secara jumlah maupun kualitas.
“Kita enggak perlu impor sebanyak itu. Cukup di dalam negeri kita berlimpah,” ucap Tajab.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz