tirto.id -
Menurut Susi, penyebabnya tak lepas dari kebijakan pemerintah yang membiarkan impor mengalir deras sehingga garam petani tak terserap.
Penjelasan ini menjadi respons Susi saat menanggapi komentar warganet di akun Twitternya saat Susi memposting berita berjudul "Bikin Meringis, Petani Garam Menangis Impor Garam Makin Sadis".
2015, 2016, 2017 Impor kita batasi sehingga harga garam petani diatas rp 1500sd rp 2000 lebih perkg. Semua produksi petani terserap oleh pasar. Mulai 2018 Impor naik tinggi sekali. Neraca produksi garam diabaikan. Sehingga harga petani jatuh &masih belum bisa jual produksinya.
— Susi Pudjiastuti (@susipudjiastuti) January 15, 2020
Menurut asosiasi petani garam, hal itu terlihat jelas dari dari hitung-hitungan sederhana, APGRI mencatat kebutuhan garam nasional mencapai 4,2 juta ton per tahun.
Sementara itu, produksi garam dalam negeri hanya mencukupi 2,7 juta ton per tahun sehingga jumlah yang harus diimpor sebenarnya hanya 1,5 juta ton. Namun, kenyataannya importasi garam lebih dari itu.
Jumlah importasi garam bahkan menyentuh 3,7 ton selama 2018 dan 2,7 ton selama 2019.
Susi pun bilang kalau sebelum 2018 importasi garam berhasil dibatasi. Alhasil harga garam petani cukup baik berlipat-lipat dari hari ini yang menyentuh Rp150 per kg.
"2015, 2016, 2017 Impor kita batasi sehingga harga garam petani di atas Rp1.500 per kg sampai Rp2.000 lebih per kg. Semua produksi petani terserap oleh pasar," ucap Susi.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana