tirto.id - Peramban bukan sekadar alat, melainkan pilihan, bahkan simbol identitas diri. Namun, itu dulu, ketika pada awal 2000-an persaingan berjalan seimbang.
Mozilla Firefox punya daya tarik bagi mereka yang ingin lepas dari dominasi korporat. Safari jadi perambannya para pemilik produk-produk Apple. Opera punya pesona tersendiri di kalangan pengguna alternatif karena ringan dan sering kali menawarkan fitur eksperimental.
Internet Explorer? Yah, kalau ini, sih, peramban yang dipakai buat mengunduh aplikasi peramban kesukaan kita masing-masing.
Lalu, datanglah Chrome.
Ketika Google memperkenalkannya pada 2008, banyak yang mengangkat alis. "Dunia tidak kekurangan peramban. Lalu, untuk apa harus ada Chrome?" Begitu kira-kira.
Chrome punya satu kekuatan sederhana bernama kecepatan sehingga penggunaannya terasa ringan, lincah, dan tidak banyak basa-basi. Halaman web terbuka seketika, UI-nya bersih, fungsinya jelas. Tidak banyak pengaturan yang perlu disentuh untuk mengoptimalkan pengalaman berselancar. Istilah kata, setelan awalnya saja sudah enak.
Namun, keunggulan Chrome tidak berhenti sampai urusan teknis. Ia masuk ke kehidupan digital kita pelan-pelan, lewat sesuatu yang jauh lebih kuat: ekosistem.
Ketika kita masuk ke Chrome dengan akun Google, semuanya akan tersinkronisasi: markah (bookmark), riwayat penelusuran, kata sandi, bahkan tab yang pernah dibuka. Saat pindah dari laptop ke ponsel, dari kantor ke rumah, semua akan berjalan mulus. Sekali tersinkronisasi, Chrome tidak akan bertanya lagi, "Mau apa kita hari ini?"
Tanpa kita sadari, peramban bukan lagi soal pilihan pribadi. Chrome menjelma jadi kebiasaan. Saat itu terjadi, perang yang dulu ramai perlahan sunyi.
Firefox masih bertahan, tapi kehilangan daya tarik. Safari tetap di tempatnya, eksklusif di dunia Apple. Edge, yang lahir dari puing-puing Internet Explorer, berusaha membangun ulang reputasinya, tapi terlalu banyak yang sudah pindah ke lain hati. Sementara itu, Opera memilih bertahan di ceruk gaming.
Chrome tidak sekadar jadi pemenang. Ia jadi status quo.
Sampai akhirnya, datanglah kecerdasan buatan yang mengguncang segalanya.
Bagaimana AI Memicu Perang Peramban Baru?
Seperti banyak perubahan dalam dunia teknologi, awal dari perang ini tidak muncul dari sebuah kebutuhan, melainkan dari rasa takut ketinggalan zaman.
Awal 2023, Microsoft membuat langkah yang cukup mengejutkan. Mereka menyisipkan AI ke dalam peramban Edge; bukan sekadar alat pencarian pintar, tapi benar-benar asisten yang hidup di dalam bilah samping (sidebar). Namanya: Copilot.
Dengan Copilot, pengguna bisa meminta ringkasan halaman, menulis ulang teks, atau bertanya langsung, tanpa harus membuka tab baru. Fungsinya terbatas, tampilannya belum terlalu bersih. Akan tetapi, itu adalah sinyal. Untuk pertama kalinya, peramban bukan hanya menampilkan web; ia mulai berinteraksi dengannya.
Langkah Microsoft memicu gelombang baru.
Tak lama kemudian, Opera One merilis Aria, asisten AI-nya sendiri. Ia lebih ringan, ramah, dan eksploratif, meski pada dasarnya tetap terikat pada bentuk lama: tab, bilah peranti (toolbar), dan bilah alamat. Opera tidak merombak arsitektur perambannya, tapi mencoba membuat pengalaman berselancar terasa lebih hidup dan interaktif.
Lalu muncul pula Brave, peramban yang dikenal karena kekuatan privasinya. Di akhir 2023, Brave memperkenalkan Leo, chatbot AI yang bekerja langsung di peramban. Pengguna tidak butuh akun untuk berbincang dengan Leo dan data pembicaraan pun tidak dikirim ke penyimpanan awan. Fokusnya sederhana: bisa ngobrol dan membantu, tapi tetap menjaga privasi pengguna.

Google, sang penguasa pasar, justru bergerak lebih lambat. Mereka baru mulai menyematkan AI lewat Gemini di akhir 2024. Awalnya sebagai fitur eksperimental, lalu ia secara bertahap muncul di Chrome versi beta.
Di atas kertas, Gemini adalah asisten paling canggih karena terintegrasi langsung dengan Gmail, Docs, dan seluruh ekosistem Google. Namun, UX yang dihadirkan tidak revolusioner. Rasanya masih sama seperti menggunakan Chrome, bedanya hanya ada panel tambahan di samping.
Dari semua aktivitas tersebut ada satu benang merah. Semua pemain besar sedang menambahkan AI sebagai fitur pelengkap. Akan tetapi, belum ada yang benar-benar membangun peramban dari nol dengan AI sebagai pondasi utama.
Well, setidaknya sampai Dia muncul.
Hadirnya Si Dia
Di tengah riuhnya peramban yang sibuk menyematkan AI di sana-sini, satu nama muncul tanpa banyak basa-basi. Namanya Dia.
Tanpa konferensi megah dan kampanye bombastis, Dia diluncurkan lewat pengumuman sederhana,
“We didn’t add AI to a browser. We built a browser for AI.”
Untuk pertama kalinya, AI bukan sekadar fitur, melainkan sebuah fondasi.
Diluncurkan dalam versi beta tertutup pada awal 2024, Dia datang dari tim di balik peramban Arc yang sebenarnya sudah cukup revolusioner karena menghilangkan tab dan menggantinya dengan “space” sehingga membuatnya jadi lebih mirip workstation ketimbang peramban.
Namun, berbeda dari Arc yang masih mempertahankan bentuk peramban klasik, Dia memutuskan untuk melepaskan semuanya. Yang tersisa hanya satu ruang percakapan, tempat pengguna bisa meminta dicarikan sesuatu, dijelaskan mengenai suatu topik, atau bahkan sekadar bercerita.
Ketika pengguna ingin jalan-jalan ke Jepang bulan depan, misalnya, Dia akan mengurus segalanya, mulai dari pencarian tiket dan hotel, membuka situs yang berisi pengalaman wisata di Jepang, membandingkan hasil, bahkan mengisi formulir. Semua terjadi di balik layar. Pengguna tidak perlu melihat situs mana yang dibuka, kecuali memang ingin benar-benar tahu.
Sepintas, apa yang dilakukan Dia ini mirip dengan ChatGPT. Akan tetapi, di ChatGPT, jawaban berhenti di teks. Jika seorang pengguna minta dicarikan restoran, ia akan memberi daftar, tetapi mereka tetap harus mengklik tautannya satu per satu.
Dia, sementara itu, telah melangkah lebih jauh. Ia bukan cuma memberi saran, melainkan bertindak. Dia bisa membantu mengklik tautannya, mengisi data yang diperlukan, menavigasi situs yang relevan, bahkan menyelesaikan langkah berikutnya, tanpa diminta lagi. Dengan Dia, seorang pengguna seperti punya asisten pribadi.
Lebih dari itu, Dia juga bisa mengingat konteks. Misal, jika seminggu lalu Anda menelusuri soal K-Pop, lalu hari ini Anda bilang “coba tulis takarir TikTok buat video konsernya”, Dia akan memahami maksudnya.
Peramban lain punya AI yang membantu menjawab, tetapi hanya Dia yang dibangun untuk berpikir dan bertindak bersama penggunanya.
Medan Tempur Baru: Saat AI Jadi Garis Depan
Dulu, persaingan peramban adalah soal kecepatan: siapa yang bisa buka halaman lebih cepat, lebih hemat baterai, dan bisa membuka puluhan tab tanpa nge-lag.
Kini, pertarungannya sudah pindah ke tempat lain.
Peramban bukan lagi alat bantu menjelajah, melainkan alat bantu bertindak. AI bukan lagi fitur tambahan di bilah samping. Ia sekarang berada di garis depan: menjadi penentu, bukan pelengkap.

Microsoft melengkapi Edge dengan Copilot. Opera menyisipkan Aria. Brave memperkenalkan Leo. Google perlahan menggulirkan Gemini di dalam Chrome. Semuanya sibuk menambah asisten yang bisa menjawab pertanyaan, merangkum artikel, memberi ringkasan YouTube, bahkan membantu menulis pos-el.
Akan tetapi, semua itu masih bertumpu pada struktur lama. Peramban tetap tampil sebagaimana peramban di masa lalu. Tab masih jadi pusat navigasi. Bilah samping jadi tempat ngobrol. Pengguna masih harus klik sana-sini, ganti tab satu ke tab lainnya.
Lantas, Dia datang dengan pendekatan yang sepenuhnya berbeda. Bukan dengan memperbaiki pengalaman peramban yang lama, tapi menggantikannya secara penuh. Tab diganti dengan ingatan, sedangkan bilah samping diganti dengan niat untuk memenuhi suatu tujuan.
Dia tidak meminta pengguna menyesuaikan diri. Sebaliknya, Dia mencoba menyesuaikan diri dengan cara penggunanya berpikir.
Kalau dulu kita memilih peramban berdasarkan rendering engine atau dukungan ekstensi, sekarang pertanyaannya berubah: “Siapa yang paling mengerti saya dan bisa bertindak atas nama saya dengan akurat dan aman?”
Dalam peperangan baru ini, peramban yang menang bukan lagi yang bisa membuka semua situs, melainkan yang paling efisien dalam menyelesaikan semua tugas.
Apakah peramban klasik dengan AI sebagai pelengkap yang bakal jadi pemenang atau justru Dia bakal jadi pelopor lahirnya peramban jenis baru? Tentu masih kelewat dini untuk membuat prediksi. Namun, satu hal sudah jelas. AI tidak akan ke mana-mana; di sini ia akan menjadi fokus utama pertempuran.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin
Masuk tirto.id


































