tirto.id - “Menggunakan Internet Explorer dalam segala situasi bagai menekan 'tombol mudah' karena, tentu saja, banyak situs web di luar sana yang dirancang untuk tampil maksimal jika dikunjungi menggunakan Internet Explorer,” tulis Chris Jackson, Principal Program Manager Microsoft, dalam blog resmi perusahaan. Akan tetapi, segala kemudahan yang ditawarkan Internet Explorer (IE) harus dibayar dengan “utang teknis,” yang harus ditanggung para penggunannya dengan bermacam masalah.
IE, aplikasi peramban atau browser buatan Microsoft, adalah produk “unik”. Versi pertama IE lahir pada 16 Agustus 1995 silam dengan meminjam kode sumber (source code) aplikasi peramban internet bernama Mosaic yang diciptakan Spyglass Inc. Meski semula ditetapkan perjanjian bahwa Microsoft harus membayar biaya triwulanan Spyglass, tetapi di tahun 1998, perusahaan yang didirikan Bill Gates ini mengelak dari kewajiban.
Atas hal tersebut, pengadilan kemudian memutus: Microsoft harus membayar $8 juta pada Spyglass sebagai ganti rugi.
Eric Sink, salah seorang pengembang di Spyglass, dalam memoarnya menyebut dalam versi-versi mendatang, selepas versi 1.0, Mosaic masih menjadi roh IE. Ia mengatakan:
“Internet Explorer 2.0 secara mendasar adalah Spyglass Mosaic dengan tidak ada perubahan berarti. IE 3.0 terdapat perubahan besar, tetapi masih menggunakan kode sumber Mosaic sebagai pondasinya. IE 4.0 lebih dapat disebut sebagai tulis-ulang, tetapi masih ada jiwa Mosaic tersisa di sana.”
Di dekade 1990-an, meskipun tidak diciptakan oleh tim internal Microsoft, IE termasuk aplikasi yang sukses di pasaran. Sayangnya, kesuksesan IE bukan berasal dari kualitas produk yang ditawarkan, tetapi karena posisi Microsoft yang kala itu jadi raja sistem operasi komputer, alias dengan cara monopoli.
Pengadilan di District of Columbia, Amerika Serikat, yang dipimpin hakim Thomas Penfield Jackson, bahkan pernah memvonis Microsoft melakukan praktik keculasan atas dominasi Windows yang mereka miliki pada tahun 1999 silam.
Dengan memiliki Windows, Microsoft memaksakan perambah buatannya, IE, terpasang di komputer-komputer berbasis Windows. Ini membuat peramban seperti Netscape Navigator, misalnya, sulit bersaing dengan IE.
Pada Februari 1999, misalnya, IE menguasai 64,6 persen pangsa pasar perambah di AS. Di sisi lain, Netscape hanya menguasai 31,2 persen penguasaan pasar. Sebulan kemudian, pangsa pasar IE meningkat jadi 66,9 persen, mengambil 1,2 persen pangsa pasar milik Netscape.
Jelas, lonjakan penguasaan pangsa pasar IE terjadi atas faktor Windows dan bukan karena kualitasnya. IE juga tidak berpijak pada garis besar yang disyaratkan World Wide Web Consortium, organisasi yang menetapkan standar-standar baku situs web, dalam menampilkan laman web, sebagaimana diwartakan Wired.
IE menciptakan modelnya sendiri. Sehingga tatkala suatu situs web tampil Oke di peramban lain, ia mungkin tampil buruk di IE, dan begitupun sebaliknya. Dengan taktik tersebut, maka tak heran jika banyak yang tidak suka dengan peramban ini.
Lowell Heddings, dalam publikasinya di How-To Geek bahkan menyebut bahwa “hampir setiap pecinta teknologi membenci IE.”
Maka ketika Firefox dari Mozilla dan Chrome dari Google lahir, IE mudah disingkirkan. Dan 2016 lalu, Microsoft akhirnya mematikan IE selepas tak bisa bersaing dengan Chrome dan Mozilla yang lebih baik dalam hal menampilkan situs web modern, serta sukses memberikan warna tersendiri dalam berselancar dengan bermacam add-on, seperti untuk memblokir iklan di laman web.
Kini, selepas serangkaian kesalahan kala membuat IE, Microsoft melahirkan Edge. Bukan Edge versi awal, tentu saja, melainkan Edge baru, The New Edge.
Internet Explorer Rasa Chrome adalah Edge
Edge pertama kali diluncurkan pada 2015 dan diperuntukkan bagi pengguna Windows 10. Tujuannya jelas: untuk membendung dominasi Chrome dan memperbaiki kesalahan Internet Explorer.
Ironisnya, Edge versi awal tersebut tak ubahnya IE, alih-alih lebih canggih dibandingkan Chrome. Maka, cukup tiga tahun berselang, anak buah Bill Gates mengibarkan bendera putih untuk Edge dan berjanji merilis ulang perambannya dengan menggunakan Chromium: mesin yang serupa dengan Chrome.
Pada awal Februari 2020 lalu, janji itu dipenuhi. Edge versi baru lahir, peramban dari Microsoft dengan jeroan Google.
Joe Belfiore, pemimpin proyek Windows, dalam blog resmi perusahaan, menyebut bahwa perubahan Edge dilakukan untuk “menghadirkan pengalaman menjelajah internet yang lebih baik”.
Terkait penggunaan Chromium, mesin peramban Chrome dari Google, bukan tanpa alasan. Chromium adalah open source, “dan Microsoft ingin berkontribusi lebih besar pada dunia open source ini.”
Edge versi anyar ini dengan segera mengundang berbagai reaksi. Mark Hachman, dalam ulasannya yang terbit di PC World, menyebut pemilihan Chromium membuat Edge “menyelesaikan pekerjaannya,” dan segala fitur baru yang diusung peramban itu juga dinilainya sangat baik.
Chris Matyszczyk, melalui laporannya di ZD NetmenganggapEdge baru merupakan “kejutan yang aneh.” Sementara berdasarkan tulisannya di Forbes, Patrick Moorhead meminta pembacanya untuk “mempertimbangkan beralih ke Edge baru.” Terakhir, Jim Salter, dalam review di Ars Technica, menyatakan bahwa Edge versi baru “menjanjikan.”
Hal yang “terasa aneh” dari Edge versi baru dapat memicu pertanyaan: mengapa Microsoft yang bebal dengan betapa jeleknya IE, sanggup membalikkan keadaan melalui Edge versi baru?
Pada versi barunya, Edge memang mengusung fitur-fitur yang baik. Tentang privasi, misalnya, para pengguna dapat memilih bagaimana data-datanya diperlakukan. Mulai dari “Basic”, yakni mengizinkan situs web mengumpulkan data, hingga “Strict” yang memungkinkan pengguna Edge tidak membagi data apapun pada situs web yang dikunjunginya.
Dengan memanfaatkan Chromium pula, Edge versi baru sanggup menjalankan segala add-on atau extension milik Chrome. Bahkan langsung memasang atau meng-install dari toko add-on milik Chrome, bukan dari toko resmi Microsoft.
Artinya, segala pemblokir iklan, penerjemah Google Translate, hingga segala add-on Google Suite, dan apapun yang terdapat di Chrome Store dapat dipakai di Edge versi baru.
Salah satu add-on yang layak dicoba yakni “Chrometana”: alat otomatis yang memaksa kata kunci pencarian yang diketik di address bar Edge, beralih ke Google atau Duckduckgo atau Yahoo, meskipun secara default Microsoft mengunci hanya untuk menggunakan Bing.
Tentu, meskipun Edge kini memiliki kemampuan yang menjanjikan, bukan perkara mudah untuk mengalahkan Chrome yang menggenggam 64,1 persen pangsa pasar peramban komputer. Namun, di tengah tentakel Google yang mencengkram data pengguna melalui Gmail, Youtube, Maps, hingga setiap situs web yang memasang Adsense, menggunakan Edge merupakan alternatif yang patut dipertimbangkan.
Editor: Eddward S Kennedy