tirto.id - Menteri Kebudayaan (Menbud), Fadli Zon, menjelaskan, maksud dari penulisan ulang sejarah dengan tone positif, tidak bertujuan mencari-cari kesalahan para tokoh atau pemimpin bangsa. Menurutnya, setiap pemimpin pada dasarnya memiliki kesalahan dan kelemahannya sendiri.
“Maksudnya dengan positif itu, kita tidak mau mencari-cari kesalahan atau menegasikan. Karena setiap manusia, kepemimpinan atau orang ya, pahlawan pun pasti ada kelemahannya,” ujar Fadli Zon, usai menghadiri Konferensi Pers Pembukaan Pendaftaran AMI Awards di Kompleks Kemendikbudristek, Senayan, Jakarta Pusat pada Kamis (5/6/2025).
Fadli mengatakan penulisan sejarah nasional terakhir yang dilakukan pemerintah terjadi pada era Presiden B.J. Habibie, sekitar 26 tahun lalu. Oleh karena itu, dia menilai perlu ada pembaruan atas sejarah dengan mencakup peristiwa dan perkembangan terbaru.
“Terakhir ditulis sejarah kita itu, yang secara boleh dibilang resmi gitu ya, walaupun ini bukan tidak ada istilah sejarah resmi, tapi yang pemerintah pernah buat dalam penulisan itu, terakhir itu era Habibi, 26 tahun yang lalu,” terang Fadli.
Dia menyampaikan bahwa progres penulisan saat ini sudah mencapai 60 hingga 70 persen dan melibatkan para sejarawan dari berbagai latar belakang. Diskusi publik direncanakan akan digelar pada akhir Juni atau Juli mendatang.
“Nanti rencana kita pada akhir Juni atau Juli, kita bisa melakukan diskusi atau uji publik dengan kelompok-kelompok masyarakat yang terkait dengan sejarah ini,” tutur Fadli.
Fadli berharap penulisan ulang sejarah ini harus menjadi sarana pemersatu bangsa sekaligus memperlihatkan pencapaian yang pernah diraih. Meski begitu, dia mengaku belum bertemu dengan semua sejarawan penyusun sejarah tersebut.
“Penulisan masih terus berlangsung. Dan itu ya dilakukan oleh para sejarawan. Saya juga belum pernah bertemu sama mereka. Ya, kecuali editor umum gitu ya. Tetapi para penulisnya itu sudah menulis,” tuturnya.
Sebelumnya, Fadli Zon mengatakan sejarah Indonesia akan ditulis ulang dengan tone yang lebih positif. Menurut dia, pembaruan buku sejarah akan dilakukan dengan mengedepankan perspektif Indonesia sentris dengan bertujuan untuk menghapus bias-bias kolonial, mempersatukan bangsa Indonesia, dan menjadikan sejarah relevan bagi generasi muda.
“Tone kita adalah tone yang lebih positif karena kalau mau mencari-cari kesalahan, mudah; pasti ada saja kesalahan dari setiap zaman, setiap masa,” kata dia di Cibubur, Jawa Barat, Minggu (1/6/2025) dilansir dari Antara.
Di sisi lain, Fadli Zon meminta masyarakat untuk tidak khawatir karena penulisan ulang sejarah ini melibatkan tim yang mencakup 113 penulis, 20 editor jilid, dan tiga editor umum, termasuk sejarawan.
Penulis: Rahma Dwi Safitri
Editor: Fransiskus Adryanto Pratama
Masuk tirto.id


































