tirto.id - Setya Novanto barangkali menjadi salah satu sosok yang merasakan arti kemerdekaan secara personal tahun ini. Tepat satu hari sebelum peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia, mantan Ketua DPR-RI yang divonis dalam kasus korupsi e-KTP, dengan kerugian negara mencapai Rp2,3 triliun itu, resmi mendapatkan status pembebasan bersyarat. Ia akhirnya menghirup udara bebas, keluar dari Lapas Sukamiskin, Kota Bandung.
Selain Setya Novanto, tahun ini remisi juga diberikan kepada Ahmad Fathanah, terpidana kasus korupsi dan suap kuota impor daging sapi. Ia dijatuhi hukuman 16 tahun penjara dan denda Rp1 miliar oleh Mahkamah Agung, dan menerima remisi selama delapan bulan pada 17 Agustus 2025.
Mantan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang saat ini menjabat sebagai Ketua Lembaga IM57+ Institute, Lakso Anindito menyatakan bahwa pembebasan bersyarat bagi Setya Novanto usai mendapatkan remisi mencerminkan kemunduran serius dalam komitmen pemberantasan korupsi di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“Terlebih, berbagai kebijakan tersebut dikeluarkan pasca adanya pemberian amnesti untuk Hasto Kristiyanto. Pembebasan bersyarat bagi Setya Novanto ini menunjukan bahwa semakin ringannya hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (20/8/2025).

Lakso mengingatkan bahwa proses penegakan hukum terhadap Setya Novanto merupakan kasus hukum yang butuh upaya luar biasa untuk mengungkapnya. Ia menceritakan, mulai dari manuver politik melalui hak angket dan berbagai upaya menghalangi penyidikan, mewarnai proses penyidikan kasus ini, yang menandakan bahwa proses penegakan hukum kasus ini tak mudah.
“Bagi publik ini merupakan preseden buruk karena baik Hasto dan Setnov, walaupun melalui pendekatan berbeda, tetapi berada dalam satu momentum yang membuat publik melihat semakin menurunnya upaya mendorong efek jera bagi pelaku tindak pidana,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri ESDM 2014–2016, Sudirman Said, menyebut bebasnya Setnov usai mendapat remisi ini sebagai bukti bahwa Indonesia belum sepenuhnya merdeka dari cengkeraman koruptor. Menurutnya, kejahatan Setnov bukan kriminal biasa, melainkan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang dampaknya sistemik.
Kegagalan proyek e-KTP akibat korupsi yang masif dalam ukuran dan luasnya, pihak-pihak yang terlibat, telah membuat sistem administrasi kependudukan tak kunjung beres.
“Kita memang berhak merayakan hari merdeka. Tapi sebenar-benarnya, negeri kita belum merdeka dari cengkeraman para koruptor dan perusak tata hidup bernegara,” ujar Sudirman dalam keterangan tertulis, Minggu (17/7/2025).

Alasan Pemberian Remisi ke Setnov
Berdasarkan rangkuman Tirto, Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka korupsi e-KTP oleh KPK pada Juli 2017. Pada akhir Maret 2018, setelah melalui serangkaian proses persidangan, Jaksa KPK menuntut Setnov dengan hukuman 16 tahun penjara. Meski demikian, Setnov kemudian divonis lebih rendah dari tuntutan JPU yaitu 15 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Pada Juli 2025 Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) Setya Novanto dan memotong vonis yang bersangkutan dari 15 tahun penjara menjadi 12 tahun dan 6 bulan penjara. Apabila dihitung berdasarkan awal masa penahanan oleh KPK sejak 2017 dan vonis terbarunya, Setnov seharusnya bebas pada pertengahan 2029, belum dengan perhitungan remisi dan hak pembebasan lainnya.
Peneliti dari Indonesian Corruption Watch (ICW), Yassar Aulia, menyoroti putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan peninjauan kembali Setya Novanto dengan memotong masa hukuman penjara dan mengurangi masa pencabutan hak politik. Hal ini dinilai mempertegas bahwa pemerintah dan lembaga peradilan belum serius dalam memberikan efek jera bagi pelaku korupsi.
“Pemberian efek jera melalui pidana badan dan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik masih sangat diperlukan di saat RUU Perampasan Aset juga masih mangkrak oleh pemerintah dan DPR,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (20/8/2025).

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan mengungkap sejumlah pertimbangan dalam pemberian pembebasan bersyarat kepada Setnov.
“Dia itu menjadi motivator atau inisiator. Aktif dalam program kemandirian di bidang pertanian dan perkebunan. Dan inisiator program klinik hukum di Lapas Sukamiskin. Jadi kegiatannya tuh seperti itu di antaranya,” ujar Kepala Subdirektorat (Kasubdit) Kerja Sama, Rika Aprianti,usai acara pemberian remisi dalam rangka HUT RI ke-80 di Lapas kelas II-A Salemba, Jakarta Pusat, Minggu (17/8/2025).
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah Dirjen Pemasyarakatan Jabar, Kusnali, memastikan pemberian pembebasan bersyarat kepada Setnov sudah sesuai dengan aturan dengan telah menjalani dua pertiga masa pidananya dari total pidana penjara 12,5 tahun.
“Dihitung dua pertiganya itu mendapat pembebasan bersyarat pada 16 Agustus 2025. Setnov menjalani hukuman sejak 2017 dan senantiasa ada pengurangan remisi. Dia sudah keluar sebelum pelaksanaan 17 Agustus. Jadi, dia enggak dapat remisi 17 Agustus," katanya.
Tahun ini, pemerintah memberikan total 375.025 remisi dan pengurangan masa pidana kepada narapidana di seluruh Indonesia. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, sebanyak 179.312 narapidana menerima Remisi Umum (RU), sementara 192.983 lainnya memperoleh Remisi Dasawarsa (RD).
Semestinya Ada Pengecualian
Pemberian remisi hingga pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus korupsi bukanlah hal yang baru. Pada 6 September 2022, sebanyak 10 narapidana korupsi dinyatakan bebas bersyarat setelah masa hukuman mereka dikurangi sejumlah remisi.
Beberapa nama yang turut dibebaskan antara lain Ratu Atut Chosiyah (mantan Gubernur Banten), Suryadharma Ali (mantan Menteri Agama), Patrialis Akbar (mantan hakim Mahkamah Konstitusi), serta Pinangki Sirna Malasari (mantan jaksa).
Pada tahun 2023 lalu, terpidana kasus korupsi yang juga Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo juga mendapat remisi. Selain itu, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin pada 1 Maret 2024, setelah menjalani dua pertiga dari vonis 7 tahun penjara atas kasus suap sebesar Rp11,5 miliar dari pejabat KONI.
Peneliti bidang hukum dan regulasi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Muhammad Saleh, menyebut bahwa hingga kini tidak ada pengecualian secara eksplisit dalam regulasi terkait pemberian remisi terhadap narapidana korupsi. Padahal, menurutnya, seharusnya terdapat reformasi kebijakan yang secara tegas membedakan perlakuan terhadap pelaku tindak pidana korupsi dibandingkan dengan narapidana umum.

Ia juga menyoroti adanya diskresi besar di tangan kepala lembaga pemasyarakatan maupun pejabat di Kementerian Hukum dan HAM, yang sangat menentukan siapa yang layak mendapatkan pembebasan atau pengurangan hukuman.
“Diskresi ini yang juga penting untuk diawasi. Makanya kita itu perlu mendorong agar paradigma pemberantasan korupsi itu tidak selesai di proses penuntutan dan persidangan. Dia harus sampai hulu kehilir, dari level penegakan hukum, di level penyelidikan-penyidikan, penuntutan, sidang itu, putus itu harus sampai di hilirisasi sampai di level pembinaan pemasyarakatan,” ujarnya.
Bertentangan dengan Komitmen Pemberantasan Korupsi Prabowo
Pemberian remisi, termasuk abolisi dan amnesti yang sebelumnya juga diberikan kepada terpidana korupsi seperti yang diterima Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto, dinilai bertentangan dengan visi-misi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Padahal, dalam Asta Cita poin ketujuh, Prabowo-Gibran secara tegas mencantumkan komitmen untuk memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta meningkatkan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba
“Kita melihat dengan tegas bahwa spirit penegakan hukum anti korupsinya Prabowo itu cuman omon-omon. Karena baru pertama kali dalam sejarah amnesti dan abolisi itu diberikan kepada kasus korupsi. Kemudian remisi terhadap narapidana koruptor juga ternyata diberi, diobral dengan begitu mudah,” kata Saleh dari CELIOS.

Prabowo sendiri, dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam pidato kenegaraannya, menyatakan bahwa pemberantasan korupsi akan menjadi agenda prioritas pemerintahannya.
Menurut Saleh dari CELIOS, dalam konteks penegakan hukum, presiden seharusnya tak hanya berperan sebagai kepala pemerintahan, tetapi juga memikul tanggung jawab simbolik sebagai kepala negara untuk menjamin konsistensi penegakan hukum, termasuk dalam membangun political will di lembaga seperti Mahkamah Agung, kejaksaan, kepolisian, dan KPK.
“Sehingga kalau presiden sendiri, secara simbolis melalui sikap-sikap politik, keputusan-keputusan hukum dan politik yang diambil relatif mendegradasi spirit pemberantasan korupsi, ya dari situ saja nanti institusi-institusi lain juga akan meniru,” ujarnya.
Sebelumnya, Pengajar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah, menilai pemberian amnesti dan abolisi terhadap individu yang terlibat dalam perkara korupsi yang terjadi pada masa pemerintahan Prabowo merupakan keputusan yang keliru. Ia menegaskan, langkah tersebut bisa berdampak buruk terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Bisa jadi ke depan presiden akan dengan mudah memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang terlibat perkara korupsi, terutama yang berada pada circle presiden. Kedua, itu jelas akan melemahkan upaya kita melawan korupsi. Bagaimana mungkin kejahatan luar biasa semacam korupsi kemudian diberikan amnesti oleh presiden?” ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (1/8/2025).
Pria yang akrab disapa Castro itu mencontohkan, sepanjang sejarah nyaris tidak ada presiden yang memberikan amnesti atau abolisi kepada pelaku korupsi. Pemberian pengampunan hukum semacam ini, ujarnya, umumnya diberikan kepada tahanan politik, seperti dalam kasus Sri Bintang Pamungkas atau Mochtar Pakpahan.
Penegakan Hukum Harus Dilakukan Secara Holistik
Saleh dari CELIOS menjelaskan bahwa penegakan hukum antikorupsi seharusnya dilakukan secara holistik, tidak dapat dilihat secara parsial. Tidak cukup hanya dengan memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang kuat atau proses penuntutan yang meyakinkan. Seluruh sistem, mulai dari regulasi, aparat penegak hukum, hingga lembaga pemasyarakatan, harus bergerak dalam kerangka yang senapas.
“Jadi sangat percuma hari ini ternyata kalau kita lihat proses penegakan hukum anti-korupsi kita itu terlihat sangat baik di atas kertas. UU Tipikor terlihat sangat baik, proses penuntutan kejaksaan dan KPK terlihat sangat meyakinkan tapi nanti dia lepas di proses pembinaan permasyarakatannya di Lapas,” ujarnya.
Dalam praktiknya, kata Saleh, banyak kelemahan justru muncul pada tahap akhir, yakni pada proses pemasyarakatan. Salah satu contoh nyata ialah kasus Setya Novanto. Dari vonis awal 15 tahun penjara, yang kemudian dipangkas menjadi 12 tahun melalui peninjauan kembali di Mahkamah Agung, Setya Novanto pada akhirnya hanya menjalani sekitar 6 tahun masa tahanan secara fisik.

“Karena model-model yang diterima oleh Setnov ini bukan hal baru di Indonesia. Memang setiap tahun narapidana itu memperoleh remisi, kalau kita hitung-hitung dari masa putusan pengadilan Setnov sampai dia keluar di tahun 2025 dia hanya menjalankan penahanan sekitar 6 tahun,” ujarnya.
Kondisi ini menunjukkan bahwa sistem pemasyarakatan di Indonesia tidak memiliki kepekaan terhadap korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Petugas dan pejabat pemasyarakatan cenderung melakukan penghitungan administratif semata tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan hukum dari kasus-kasus korupsi yang ditangani.
“Sehingga dengan mudah memberi rekomendasi kepada Presiden untuk dikasih remisi dan beberapa aspek-aspek teknokratis. Kalau kita lihat itu kan sebenarnya teknokratis saja tuh. Mereka hitung masanya sekian, mereka sudah dilepas sekian, kemudian dikalkulasi hitung-hitungannya, kemudian sudah berlaku baik, kemudian dikeluarkan,” ujarnya.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































