Menuju konten utama

Pengacara Dahlan Iskan Sebut Direksi Jawa Pos Tak Paham Sejarah

Johanes Dipa menganggap bahwa langkah yang diambil Jawa Pos untuk melaporkan Dahlan Iskan ke Polda Jatim terlalu gegabah.

Pengacara Dahlan Iskan Sebut Direksi Jawa Pos Tak Paham Sejarah
Johanes Dipa Widjaja. Foto/LinkedIn

tirto.id - Kuasa Hukum Dahlan Iskan, Johanes Dipa Widjaja, menyebut bahwa Hidayat Jati tidak paham akan sejarah perkembangan Jawa Pos. Itulah mengapa, Johanes menilai, langkah yang diambil oleh Direktur Jawa Pos Holding tersebut dengan melaporkan Dahlan Iskan ke Polda Jatim sebenarnya tidak berdasar hukum dan cenderung memaksakan.

"Mengapa Jawa Pos menganggap keputusannya berat? Karena memang kan enggak berdasar hukum. Jadi laporan ini kan dipaksakan. Ini yang lapor adalah kuasa dari direksi yang baru. Direksi yang baru ini generasi yang tidak ikut membangun dan membesarkan Jawa Pos," tegas Johanes ketika dikonfirmasi oleh Tirto pada Senin (14/7/2025).

Ia pun menganggap bahwa langkah yang diambil oleh Jawa Pos tersebut terlalu gegabah dan mengerdilkan peran Dahlan Iskan di Jawa Pos sebelumnya.

"Ya ini gegabah menurut saya. Langkah gegabah dari direksi yang baru, yang bukan merupakan pelaku sejarah dan tidak paham sejarah perkembangan Jawa Pos. Masyarakat Indonesia sudah pada tahu bahwa Jawa Pos adalah Pak Dahlan Iskan dan Dahlan Iskan dalah Jawa Pos. Jawa Pos bisa sebesar itu tidak mungkin bisa dihapus, karena perannya Pak Dahlan Iskan. Sampai kita tahu bersama, Pak Dahlan Iskan mengganti hati itu kan saking kerasnya kerjanya untuk Jawa Pos," imbuhnya.

Johanes pun mengatakan bahwa penetapan Dahlan Iskan sebagai tersangka oleh Polda Jatim kemudian pada Senin (7/7/2025) berdasarkan dokumen dengan nomor B/1424/SP2HP-8/VII/RES.1.9./2025/Ditreskrimum tidak benar dan hanyalah isu yang digoreng.

"Kalau kemudian Pak Dahlan Iskan ditetapkan sebagai tersangka itu hoax. Enggak ada. Itu hanyalah isu yang digoreng saja," tegasnya.

Ia pun menjelaskan bahwa gugatan Dahlan Iskan kepada Jawa Pos dilakukan karena kliennya meminta dokumen-dokumen terkait Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Namun, Jawa Pos justru menolak memberikan dokumen tersebut.

"Karena kan Pak Dahlan Iskan ini apa namanya minta dokumen-dokumen terkait RUPS-RUPS yang terdahulu. Ini kan Jawa Pos sudah mempersoalkan, Pak Dahlan ini enggak megang dokumen. Dokumen ini kan disimpan oleh perseroan. Kemudian diminta tapi enggak dikasih sama direksinya. Oleh karena itu kita gugat begitu," jelasnya.

Gugatan tersebut juga dilakukan karena Jawa Pos, imbuhnya, belum membayar dividen yang ditengarai sebesar Rp 54,5 M. Itulah mengapa, kliennya melayangkan gugatan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke Jawa Pos pada Selasa (1/7/2025).

"Ada deviden yang tidak dibagi, yang belum dibagi. itu yang diminta oleh Pak Dahlan selaku pemegang saham dan itu pun enggak dikasih. Oleh karena itu, Pak Dahlan mengajukan permohonan PKPU terhadap Jawa Pos," pungkasnya.

Sebelumnya, Direktur Jawa Pos Holding, Hidayat Jati mengungkap bahwa sengketa hukum Jawa Pos dengan Dahlan Iskan adalah murni kasus hukum terkait penertiban aset.

"Seperti semua aksi korporasi, direksi harus merapikan pembukuan dan menjaga tata kelola perusahaan, dalam memastikan kejelasan status kepemilikan asetnya," Jati dalam keterangan resmi pada Minggu (13/7/2025).

Tanpa mengingkari peran Dahlan Iskan di masa-masa awal pengelolaan Jawa Pos, ia pun menganggap bahwa penertiban aset tersebut dilakukan dengan baik, kendati beberapa bersinggungan dengan Dahlan Iskan.

"Namun, berkat pendekatan yang baik, upaya penertiban di aset-aset Pak Dahlan itu yang prosesnya tadinya rumit, sebagian besar bisa diselesaikan dengan damai dan baik-baik kok," katanya.

Jati mengakui bahwa upaya hukum adalah keputusan berat yang telah dipertimbangkan matang oleh direksi. Pasalnya, aset Jawa Pos harus diselamatkan dan hukum harus dipatuhi.

Ia juga mengungkapkan alasan mengapa banyak aset Jawa Pos perlu diterbitkan. "Banyaknya persoalan aset di Jawa Pos terjadi karena di masa lalu, saat Jawa Pos di era kepemimpinan Dahlan Iskan, banyak menggunakan praktik nominee, menitipkan aset atau saham pada nama direksi," kata Jati.

Praktik ini dulunya dilakukan lantaran industri media pada era pemerintahan Soeharto wajib memiliki SIUPP yang hanya bisa diterbitkan atas nama pribadi. Sangat disayangkan, praktik itu masih berlanjut, bahkan setelah aturan terkait wajib memiliki IUP sudah dicabut.

Sejak wafatnya pendiri perusahaan Eric Samola pada akhir tahun 2000, upaya-upaya penertiban mulai dilakukan. "Pada awal 2001, pemegang saham mayoritas Jawa Pos sudah mendorong adanya upaya balik nama," sebutnya.

Namun, dikarenakan jumlah aset sangat banyak dan tersebar di berbagai lokasi, proses itu memakan waktu lama. "Ada yang bisa diselesaikan dengan kesepakatan, tapi ada yang tersisa dan bahkan jadi sengketa hukum," jelas Jati.

Baca juga artikel terkait DAHLAN ISKAN atau tulisan lainnya dari Muhammad Akbar Darojat Restu

tirto.id - Flash News
Kontributor: Muhammad Akbar Darojat Restu
Penulis: Muhammad Akbar Darojat Restu
Editor: Siti Fatimah