tirto.id - Ketika mobil adiknya hilang di parkir Timur Delta Plaza Surabaya pada Sabtu malam, 8 Juni 2019, Zandy Rizky tak langsung melapor ke polisi, tetapi ke Radio Suara Surabaya. Laporan kehilangan mobil Picanto warna putih L 1930 CL itu kemudian disiarkan.
Keesokan pagi, sekitar pukul 9.30, Muslim, pendengar Radio Suara Surabaya, menelepon. Ia melihat mobil itu di Klethek, hanya saja berbeda arah dari mobil yang tengah dikendarainya. Muslim ke arah Surabaya sementara arah Picato putih ke Krian.
Sepuluh menit kemudian, pendengar bernama Nabil menelepon, yang melihat mobil itu dan tengah membuntutinya.
Sembari Nabil membuntuti, pihak Suara Surabaya berkoordinasi dengan polisi. Lima menit kemudian, pendengar bernama Mulyono juga menelepon, mengabarkan dia di belakang mobil tersebut. Mulyono bilang Picanto putih itu tancap gas.
Lalu, Nabil kembali menghubungi Suara Surabaya dan mengabarkan Picanto putar balik ke arah Sidoarjo.
“Ini saya kejar-kejaran, Bu! Dia putar balik. Dia udah tahu kalau posisinya saya kejar,” kata Nabil setengah teriak.
Nabil berkata bukan dia sendiri yang mengejar, ada beberapa mobil lain.
Di belakang layar, para gatekeeper—sebutan untuk para pemantau informasi yang masuk ke Radio Suara Surabaya—secara aktif berkoordinasi dengan polisi. Pukul 09.48, Widya, salah satu gatekeeper, melaporkan pihak kepolisian sudah menunggu di perempatan jalan.
Tepat pukul 10.00, Mulyono, salah satu pendengar yang ikut mengejar, kembali menghubungi Suara Surabaya. “Ini mobilnya sudah kena [tertangkap] di Kalibader. Sopirnya lari.”
Sepuluh menit kemudian, Kompol Samirin, Kapolsek Taman, Sidoarjo, melaporkan pelaku pencurian lari ke arah kuburan dan sudah berhasil ditangkap.
Dengan bantuan para pendengar, serta koordinasi antara Radio Suara Surabaya dan kepolisian, mobil milik adik Zandy pun berhasil diselamatkan—tak sampai dua hari.
Pagi itu bukan kali pertama Radio Suara Surabaya dan para pendengarnya menangkap pelaku kejahatan. Sejak 2003 sampai sekarang, setidaknya ada 40 laporan kejahatan yang berhasil diringkus berkat bantuan para pendengar.Pada 2009, Eddy Prasetyo masih menjadi reporter di Suara Surabaya. Suatu hari, seorang sopir yang juga penjaga binatang melaporkan kehilangan mobil Kijang serta tiga ekor anjing Golden Retrieve di dalamnya. Mobil itu dicuri ketika diparkir di salah satu hotel di Surabaya. Sebelum melapor ke polisi, si sopir melapor dulu ke Suara Surabaya.
Seorang pendengar kemudian melaporkan ia melihat mobil Kijang yang hilang itu sedang berhenti di kawasan Citraland. Orang-orang di sekitar Citraland dan kebetulan mendengarkan Radio Suara Surabaya berkumpul memperhatikan mobil itu. Lalu, polisi pun turun tangan dan pencurinya berhasil ditangkap.
“Bukan hanya kehilangan mobil yang sering kami terima, terkadang laporan kehilangan orang hingga satwa,” kata Eddy, kini menempati posisi sebagai manajer New Media.
Di antara semua medium—cetak, online, TV—hanya radio yang paling memungkinkan melakukan peran seperti yang dilakukan Suara Surabaya dan para pendengarnya menangani kasus pencurian. Peran itulah kekuatan radio. Peran itu juga yang menurut Eddy membuat Radio Suara Surabaya masih didengarkan.
Sebelum internet dan media sosial masif digunakan di Indonesia, laporan yang masuk hanya lewat telepon. Kini, laporan datang dari pelbagai penjuru, telepon dan beragam kanal media sosial.
Para gatekeeper tentu harus kerja lebih ekstra. Karena bukan hanya memantau sambungan telepon, mereka juga harus memperhatikan media sosial. Lalu mengurasi mana yang penting untuk disiarkan dan mana yang diskusinya dibiarkan saja di media sosial.
Selain laporan kehilangan, para pendengar Suara Surabaya juga kerap melaporkan kondisi lalu lintas dan pelanggaran-pelanggaran di jalan raya. Laporan itu kemudian disiarkan dan menjadi sumber informasi bagi pengendara lain.
Pada Selasa, 25 Juni lalu, misalnya. Sebuah pikap yang memuat barang dengan tinggi lebih dari dua kali lipat lebar kendaraan melaju di jalan tol. Seorang pengemudi dan pendengar Suara Surabaya yang berada di belakangnya mengambil gambar, mengirimkannya ke akun Twitter Radio Suara Surabaya.
Laporan itu kemudian membuka diskusi tentang seperti apa sebenarnya aturan tinggi kendaraan di jalan tol. Beberapa pendengar juga bilang pernah melihat hal serupa. Artinya, pelanggaran tinggi muatan itu pernah terjadi sebelumnya.
Dulunya, peristiwa laporan kehilangan dan proses pencarian sampai ditemukan lewat begitu saja. Mereka yang tidak sedang mendengarkan radio ketika peristiwa berlangsung dan disiarkan, tidak akan mengetahui apa yang terjadi.
Sejak 2013, Radio Suara Surabaya memutuskan untuk mengarsipkan dan menyiarkan lewat medium lain, website, media sosial, dan kanal YouTube. Peristiwa penangkapan maling mobil Picato Putih pada Juni lalu itu, misalnya, diproduksi ulang dalam bentuk video dan dupublikasikan lewat Youtube.
Ketika Jumlah Pendengar Turun Drastis
Tahun 2008 dinilai tahun paling suram bagi Radio Suara Surabaya. Selain krisis global, pada tahun itu pula media sosial mulai muncul dan menarik perhatian masyarakat Indonesia.
“Dulu, listenership [jumlah pendengar] kami pernah mencapai 1 juta, sekarang turun menjadi hanya 400 ribu,” kata Eddy Prasetyo.
Meminjam istilah Eddy, waktu itu, Radio Suara Surabaya berada di persimpangan jalan. “Kalau kami waktu itu banting harga, seperti yang dilakukan radio lain, maka value produk kami makin anjlok, opportunity bisa hilang,” jelasnya.
Akhirnya, diputuskan untuk meningkatkan value dengan meningkatkan dampak dan kepercayaan warga Surabaya.
“Radio itu kan audience-nya lokal sekali. Jadi, keberadaan kami itu harus bisa menjadi bagian dari problem solving warga, baik secara pribadi, maupun kemasyarakatan. Itu yang terus kami jaga dan tingkatkan,” kata Eddy.
Kemunculan media sosial juga direspons sebagai peluang untuk meningkatkan pengaruh dan kepercayaan. Jika sebelumnya manajemen radio ini hanya menjual angka jumlah pendengar, kini juga menjual engagement rate di media sosial.
Strategi itu bisa dibilang berjalan sesuai rencana. Pada tahun-tahun ketika angka pendengar terjun bebas, penjualan tak ikut turun sebab harga justru dinaikkan, bukan dibanting. Menurut keterangan Eddy, setiap tahun, pendapatan dari iklan tetap bertumbuh, meski pertumbuhannya melambat.
Pada 2017, harga slot talkshow di Radio Suara Surabaya sekitar Rp12,5 juta per jam dan menurut keterangan Eddy, slot itu penuh selama setahun.
Bagi kalangan pendengar, Radio Suara Surabaya dipercaya sebagai radio yang mampu mengabarkan hal-hal yang dekat dengan mereka. Mirza Idham, seorang pemuda Surabaya, masih terus mendengarkan Suara Surabaya meski sudah banyak opsi lain dalam mendengarkan konten berbasis suara.
Mirza biasanya mendengar radio ketika berkendara. Alasannya lebih sering mendengarkan Radio Suara Surabaya dibandingkan stasiun radio lain karena ia menghadirkan informasi terbaru yang sangat dekat dan lokal seperti jalan yang macet, kecelakaan, hingga acara-acara yang akan dan sedang berlangsung di Surabaya. Mirza juga suka dengan model interaksi ketika pendengar diberi ruang untuk melaporkan langsung kejadian di lapangan.
Mirza terkadang masih mengganti-ganti saluran radio yang didengarnya, jadi tak melulu Suara Surabaya. Berbeda dengan generasi orang tuanya yang memiliki kedekatan lebih kuat dengan Radio Suara Surabaya.
“Kalau habit-nya orang tuaku, radio itu ya Suara Surabaya, enggak pernah gonta-ganti channel,” kata Mirza.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Fahri Salam