tirto.id - Ketika TV muncul, radio pernah diprediksi mati. Pandangan apokaliptik ini tak terbukti. Radio masih bertahan, meski jalannya tersendat-sendat. Lalu hadir internet dan media online, yang mengubah lanskap media.
Bersama dengan itu, muncul juga beragam macam aplikasi yang bisa mensubstitusi sebagian fungsi radio sebagai medium berbasis suara. Apakah radio akan tetap bertahan?
Sekitar tahun 2003 hingga 2004, Podcast mulai muncul. Agustus 2004, Adam Curry, VJ MTV di Amerika Serikat, merilis podcast pertamanya berjudul "Daily Source Code". Ia berisi kehidupannya sehari-hari, berita terhangat, dan diskusi tentang perkembangan podcast itu sendiri. Sampai saat ini podcast terus berkembang, termasuk di Indonesia.
Tidak seperti radio, podcast memberikan fleksibilitas waktu mengakses konten bagi para pendengarnya. Jadi pendengar bebas mendengarkan kapan saja, sebisanya mereka. Mereka tidak perlu khawatir ketinggalan seperti ketika mendengarkan program radio.
Bagaimana seharusnya industri radio beradaptasi dengan podcast?
Wan Ulfa Nur Zuhra mewawancarai Pemimpin Redaksi Kantor Berita Radio Citra Dyah Prastuti. Di Indonesia, KBR adalah radio pertama yang menggarap podcast secara serius dan merilis KBR Prime, platform khusus untuk mendengarkan podcast yang diproduksi KBR.
Ringkasan dari obrolan dengan Citra Dyah Prastuti:
Podcast harus dilihat sebagai peluang. Karena kalau bertahan pada radio tradisional, kita kayak terkungkung, pura-pura tidak tahu ada digital yang hadir. Kalau kata New York Public Radio: podcast adalah inkarnasinya radio, bukan reinkarnasi.
Sebetulnya keinginan bikin podcast saat booming “serial” yang dibikin Sarah Koenig, tentang pembunuhan mahasiswa yang kasusnya dibuka lagi, yang menggemparkan dunia. Keren banget! Di AS, memang perkembangan podcast sudah panjang.
Di KBR, pembicaraan soal podcast mungkin sejak 2016. Dari situ kita memastikan diri bikin podcast yang serius. Kita bikin KBR Prime, ditekadkan sebagai platform podcast yang berkualias, yang obrolannya sejak Januari 2018. Buat kami ini hal baru, melibatkan teknologi dan crafting dari awal karena kami enggak pernah belajar sebelumnya.
Bedanya dengan konten radio KBR: ada beberapa podcast KBR dari convert siaran radio, tapi ada juga bikin khusus podcast. Untuk podcast, kami bikin konten-konten yang mengarah kota besar dulu, sambil tes ombak: orang Indonesia tuh senangnya dengerin apa? Berapa lama durasinya? Berapa frekuensinya, apakah seminggu sekali atau sebulan sekali?
Pendengar radio KBR kebanyakan adalah lebih tua. Kalau podcast, misalnya, kami kerja sama dengan Into The Light, mengangkat isu mental health, ada banyak Generasi Z; kolaborasinya berhasil. Podcast "Disco"—Diskusi Psikologi—paling tinggi play-nya di KBR Prime.
Podcast sekarang isinya obrolan, ngalor-ngidul, dan lain-lain. KBR ingin bikin sesuatu yang berbeda, kalaupun bikin obrolan, tema harus unik, menarik, dan merepresentasikan KBR.
Atau, kami bikin konten yang belum ada di zine podcast Indonesia, misalnya storytelling. Ceruk pasarnya besar atau kecil, kami sambil ngetes kuping indonesia apakah cocok atau enggak.
Kami coba-coba. Kami bikin sendiri yg bentuknya percakapan, in-house production bentuknya percakapan dan play-nya OK, misalnya "Love Buzz", percakapan tentang human relationship, kami cari narasumber yang unik, misalnya gay yg coming-out, ceritanya gimana, sih?
Kami bikin juga podcast yg sifatnya talk, kolaborasi dengan Into The Light itu. Atau, podcast yang bentuknya serial dengan tawaran storytelling dan jurnalistik yg OK, seperti "Hidup Usai Teror".
Keunggulan KBR: kami punya network radio. Misalnya, kami punya podcast "Cek Fakta", kami include program siaran radio ke jaringan radio-radio lokal.
Prinsip secara umum sama: kami pakai pendekatan jurnalistik. Disiplin etika jurnalismenya sama. Tapi, di Podcast lebih longgar untuk eksplorasi, salah satunya soal waktu. Kalau siaran radio ada batasan waktu, cuma bisa sekian menit. Sementara ide podcast adalah audio on demand, sehingga orang ketika mau mendengarkan memang dia siap mendengarkan sekian panjang durasinya.
Model bisnisnya beda dengan radio. Tantangan jualan podcast itu adalah mengenalkan podcast itu sendiri ke calon klien, memastikan podcast adalah "the new way of listening to radio." Mencari partner yang banyak, menciptkan crowd untuk meyakinkan klien.
Kalau hitung-hitungan digital, bisnisnya podcast adalah baru bisa di-monetize setelah sekian ribu play. Bagaimana cara menghitungnya? Kami masih belajar, cocok atau nyambung enggak dengan market di sini? Di luar mah sudah ada satu biro iklan sendiri, yang menangani sekian ribu podcast, jadi ketika iklan masuk, masuk ke semua podcast.
Keunggulan yang ditawarkan podcast adalah fleksibilitas soal waktu. Kami harus bisa memastikan konten kami didengarkan orang di waktu yang senggang. Jadi, podcast sebenarnya cocok dengan gaya hidup orang di kota besar: saat naik kereta, pas macet-macetan, misalnya.
Sekarang zine podcast mulai berkembang di sini. Media-media lain mulai melirik ke podcast. Ada komunitas yg bikin podcast. Ada production house bikin podcast.
Tantangannya adalah mencari ceruk, misalnya, kenapa orang mesti bikin podcast dengan KBR, kenapa mesti berkolaborasi dg KBR Prime? Misalnya, kami punya pendekatan jurnalismenya. Kami bisa memberi masukan, misalnya, konten talk yang dikurasi bersama KBR, bisa mendapatkan pengalaman berbeda. Plus, kemungkinan masuk ke radio jaringan KBR. Meskipun tidak sebesar teve, tapi pendengar radio itu loyal.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Fahri Salam