Menuju konten utama

Pencabutan Subsidi BBM Dinilai Korbankan Pertamina

Nilai keuntungan Pertamina mencapai Rp5 miliar, lebih rendah dibanding periode yang sama di tahun lalu yaitu senilai Rp26,8 miliar.

Pencabutan Subsidi BBM Dinilai Korbankan Pertamina
Sejumlah mobil tangki mengisi Bahan Bakar Minyak di Terminal BBM Sorong, Kota Sorong, Papua Barat, Selasa (23/10/2018). ANTARA FOTO/Olha Mulalinda/aww/18 .

tirto.id - Dosen Energi UGM, Fahmi Radhi menilai pencabutan subsidi BBM yang pernah dilakukan 3 tahun lalu memang sejalan dengan nawacita Presiden Joko Widodo. Hanya saja penetapan harga BBM berjenis premium tidak kunjung diserahkan pemerintah kepada pasar.

Akibatnya, ketika harga minyak sedang tinggi dan harga premium berada di bawah pasar, terdapat kerugian yang dialami. Namun, bukannya APBN, melainkan Pertamina yang menanggungnya.

"Jadi ada potential loss tapi yang menanggung itu Pertamina bukan APBN. Jadi ini meringankan beban APBN," ucap Fahmi, Kamis (6/12/2018).

Laba Pertamina yang dibukukan akhir-akhir ini memang jauh lebih rendah dibanding setahun lalu. Pada kuartal III/2018, nilai keuntungan Pertamina mencapai Rp5 miliar lebih rendah dibanding periode yang sama di tahun lalu yaitu senilai Rp26,8 miliar.

Menurut Fahmi, penetapan harga tidak mungkin diserahkan pada pasar. Sebab, hal itu akan berdampak pada kenaikan harga bahan pokok yang dapat berimplikasi pada penurunan daya beli.

Karena itu, ia pun mafhum jika kebijakan yang dilakukan pemerintah semata-mata dilakukan untuk menghindarkan kerugian pada masyarakat kurang mampu.

"Memang ini kan ada unsur keberpihakkan kepada rakyat," ucap Fahmi.

Sementara itu, Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) juga menilai pencabutan subsidi BBM oleh pemerintah sudah tepat.

Alasannya, subsidi BBM sebelumnya sempat membengkak hingga Rp 250 triliun atau setara 1/4 APBN pada periode sebelum Jokowi menjadi presiden.

Menurutnya, uang yang sebelumnya digunakan untuk subsidi memang lebih baik dikurangi untuk membiayai proyek infrastruktur maupun perlindungan sosial.

Akan tetapi, pencabutan yang dilakukan pemerintah pada waktu itu bersamaan dengan turunnya harga minyak dunia. Alhasil, harga yang ditetapkan pemerintah pada tahun 2014 masih dapat mengimbangi biaya pengadaan BBM.

Keadaan itu, kata Fabby, sudah jauh berbeda ketika harga minyak dunia naik pada Tahun 2017 lalu dan kini mencapai sekitar 60 dolar per barel pada tahun 2018. Pertamina pun menjadi pihak yang menanggung kenaikan biaya itu.

Belum lagi kebijakan pembatasan BBM di Jawa dan Bali yang sempat dicabut pemerintah menjelang Hari Raya Idul Fitri 2018. Padahal, kebijakan itu telah lama mengiringi pencabutan subsidi BBM. Dengan demikian, bertambahnya distribusi BBM kembali menambah beban Pertamina.

"Ini kan artinya presiden enggak konsisten dengan kebijakan di 2014. Premium di Jawa harus sudah dibatasi distribusinya. Jadi orang bisa membeli BBM non subsidi atau kalau sanggup subsidi dikembalikan," ucap Fabby.

Menurut Fabby, harga BBM yang menjadi tanggung jawab pemerintah belum merefleksikan biaya yang sesungguhnya. Dengan kata lain, biaya itu harus turut mempertimbangkan aspek pengadaan, produksi, transportasi termasuk harga minyak dunia.

Hal ini, kata Fabby, juga berlaku bagi kebijakan pemerintah tentang BBM 1 harga di luar Pulau Jawa. Absennya subsidi sudah tentu semakin menambah beban Pertamina.

"Kerugian kan ditanggung Pertamina. Itu enggak sehat ya beban kebijakan pemerintah ditanggung oleh BUMN. Cuma kan pemerintah udah enggak mau subsidi lagi," ucap Fabby.

Baca juga artikel terkait SUBSIDI BBM atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Alexander Haryanto