Menuju konten utama

Pemerintah Diminta Sahkan Revisi UU Perkoperasian, Kenapa?

Akademisi Universitas Brawijaya, Herman Suryokumoro menilai dalam operasionalnya, koperasi kerap mengalami praktik penyimpangan.

Pemerintah Diminta Sahkan Revisi UU Perkoperasian, Kenapa?
Ilustrasi Koperasi. foto/Istockphoto

tirto.id - Pemerintah menargetkan revisi Undang-Undang tentang Perkoperasian akan rampung pada akhir 2023. Terkait hal tersebut, Akademisi Universitas Brawijaya, Herman Suryokumoro mengatakan, salah satu urgensi dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian yaitu terkait sanksi hukum bagi koperasi yang melanggar dan merugikan masyarakat.

Dia menuturkan, koperasi sebagai salah satu bentuk badan hukum usaha yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang mana sebagian besar usaha di koperasi berbentuk Koperasi Simpan Pinjam/Usaha Simpan Pinjam (KSP/USP). Sementara itu, dia menuturkan dalam operasionalnya, koperasi kerap mengalami praktik penyimpangan.

"Banyak terjadi penyimpangan dalam praktik berkoperasi dalam kegiatan usaha KSP/USP yang merugikan masyarakat. Saya berkesimpulan, pengaturan sanksi pidana sudah saatnya ada dan urgen untuk dilakukan, karena memang koperasi sendiri harus sesuai dengan amanat konstitusi," kata Herman dalam keterangan resmi, Rabu (20/12/2023).

Lebih lanjut, dia juga menyoroti terkait kondisi koperasi Indonesia yang hampir 100 persen melakukan bisnis di sektor UPS. Walaupun, dia menilai kondisi riil di lapangan, bisnis USP koperasi sedang anjlok.

"Mengapa? Karena harus bersaing dengan perbankan. Dalam perkembangannya, kejahatan keuangan dilakukan dan digerakkan oleh oknum berbaju koperasi. Saya membaca saat bulan puasa, ramai pemberitaan soal dana-dana penggelapan koperasi yang dilakukan oleh manajer atau pengurus koperasi, sudah pasti yang dirugikan masyarakat kecil," kata dia.

Koperasi Indo Surya misalnya, masalah tersebut sangat masif, kata Herman. Imbasnya juga terkena kepada koperasi di seluruh Indonesia. Ditambah ada beberapa indikasi koperasi primer Indonesia yang melakukan simpanan pokok terindikasi dari kasus tersebut.

"Maka, sudah saatnya ke depan diatur sanksi lebih tegas, kepastian hukum, dan jaminan bagi para anggota masyarakat. Karena masih ada KSP yang melayani non-anggota, membuat potensi kerugian di masyarakat pun lebih luas," ucap dia.

Herman menegaskan, pokok-pokok pengaturan sanksi pidana koperasi juga sudah diatur dalam UU Perkoperasian sebelumnya yaitu UU Nomor 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi, UU Nomor 14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian, UU Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian.

Kemudian, UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi, UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, dan UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi sampai sekarang.

Herman berharap RUU Perkoperasian yang baru nantinya tetap mengacu pada UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi yang dinilainya masih sesuai dengan kondisi saat ini.

"Hanya sebagian kecil pasal-pasalnya yang perlu disesuaikan, oleh karena itu kami mengusulkan agar menggunakan undang-undang tersebut, tetapi dengan meng-update perkembangan-perkembangan terakhir, sehingga RUU Perkoperasian ini lebih luwes dan ramping," ucap Herman.

Selain itu, dia juga mengusulkan agar RUU Perkoperasian mengatur hanya hal-hal pokok dan substansif terkait dengan aspek jati diri, organisasi, permodalan, tata kelola, usaha, peran Pemerintah, serta ketentuan pidana dalam kehidupan koperasi Indonesia.

Kemudian, ketentuan yang mengatur organisasi dan usaha koperasi, sebagaimana dimaksud huruf (a) juga harus dijaga agar tidak bertentangan dengan ketentuan regulasi yang sudah ada, seperti yang sudah diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 yang diubah dengan Perpu Nomor 2 Tahun 2022.

Selanjutnya, diusulkan juga tidak mengulang atau mengangkat kembali ketentuan yang telah dibatalkan oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi No.28/PUU-XI/2013.

Tak hanya itu, Herman juga menyoroti tentang pembagian jenis koperasi menjadi close loop maupun open loop berdasarkan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), pengawasan dibagi kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Tidak hanya itu, dia juga menuturkan jika koperasi ingin lebih mandiri, pengawasan koperasi sebaiknya hanya dilakukan dalam jenis close loop saja sehingga pengawasan sepenuhnya dalam Kementerian Koperasi dan UKM.

"Saya setuju koperasi open loop diperiksa oleh OJK. Terus terang saja, kalau koperasi nya benar kenapa harus takut dengan OJK, justru mereka yang menolak yang patut saya pertanyakan," tutur dia.

Baca juga artikel terkait REVISI UNDANG-UNDANG KOPERASI atau tulisan lainnya dari Faesal Mubarok

tirto.id - Bisnis
Reporter: Faesal Mubarok
Penulis: Faesal Mubarok
Editor: Intan Umbari Prihatin