tirto.id - Kasus pembunuhan kolumnis Washington Post Jamal Khashoggi yang diduga keras melibatkan Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) memperumit hubungan Saudi dan Amerika Serikat. Kendati sejumlah petinggi perusahaan-perusahaan AS menyatakan protes, pemerintah AS dipandang tak berani bersikap tegas terhadap Saudi.
Kasus Khashoggi membuat Presiden AS Donald J. Trump mengalami masa yang sulit dalam seminggu terakhir. Ia harus memilih satu di antara dua opsi: ikut menekan Saudi untuk membuka kasus tersebut, atau membela MBS. Kepentingan ekonomi AS di kerajaan tersebut tengah dipertaruhkan.
Pada Selasa (16/10), Trump sempat membela MBS yang ditekan berbagai pihak. Selain menolak mengakui kematian Khashoggi, ia juga mengatakan bahwa MBS adalah korban dari kebiasaan orang yang suka menuduh orang lain bersalah tanpa bukti. “Aku tidak menyukai hal itu,” tegas Trump.
Belum genap seminggu, Trump terpaksa menjilat ludahnya sendiri seiring ditemukannya indikasi keterlibatan Saudi dalam pembunuhan tersebut. Pada Kamis (18/10) waktu setempat, untuk pertama kalinya Trump mengakui kematian sang jurnalis. “Tampaknya demikian, [fakta] ini sangat menyedihkan,” jawab Trump ketika ditanya apakah Khashoggi telah meninggal dunia.
Namun, Trump belum bisa mengambil sikap ketika ditanya soal apa yang bakal ia lakukan jika Saudi (khususnya MBS) terang-terangan terlibat pembunuhan. Meski mengatakan bahwa AS harus bertindak tegas, Trump menolak menjelaskan lebih jauh bentuk tindakan yang bakal diambil.
“Mari kita lihat apa yang akan terjadi, oke?” ujar Trump sebagaimana dikutip CNN.
Sikap bimbang yang ditunjukkan Trump wajar adanya di tengah kehangatan hubungan bisnis dan diplomatik Saudi-AS. Dalam setahun terakhir, misalnya, Jared Kushner, menantu sekaligus penasihat senior Trump, berusaha menjalin hubungan erat dengan MBS demi kepentingan bisnis.
Tak hanya itu, Trump saat ini sedang mempertaruhkan Saudi sebagai salah satu pasar senjata terpenting AS. Berdasarkan laporan (PDF) Stockholm International Peace Research Institute (Sipri), Paman Sam adalah negara eksportir senjata terbesar di dunia pada 2017, mengalahkan Rusia.
Menurut laporan Sipri, lebih dari 30 persen ekspor senjata AS dikirim ke Timur Tengah. Dari persentase tersebut, 18 persennya tiba di Saudi sejak 2013 hingga 2017. Praktis, Saudi menjadi negara pengimpor senjata AS terbesar. Dibandingkan dengan periode 2008-2012, ekspor senjata dari AS ke Saudi meningkat sebesar 448 persen selama periode 2013-2017.
Masih menurut laporan Sipri, pada periode yang sama, sebanyak 61 persen impor senjata Saudi berasal dari AS.
Sebagaimana dilaporkan oleh CNN, Trump bahkan mengklaim bahwa kesepakatan jual-beli senjata AS dengan Saudi bernilai 100 miliar dolar AS. Meski sedikit membesar-besarkan, Trump tidak membual. Kesepakatan itu berlaku dalam 10 tahun ke depan. Saat ini realisasinya baru mencapai 14,5 milyar dolar AS.
Silicon Valley yang Kalut
Kepentingan AS terhadap Saudi tak hanya meliputi perdagangan senjata. Saudi adalah salah satu investor utama di pusat teknologi dunia, Silicon Valley. Sejumlah besar startup teknologi ternama telah kecipratan dana investasi Kerajaan Saudi. Seperti dilaporkan oleh Quartz, beberapa produk startup tersebut adalah Lfyt, Uber dan Magic Leap.
Selain itu, Saudi juga telah menyuntikkan dana sebesar 45 miliar dolar AS ke pendaanaan ventura Vision Fund milik Softbank. Dengan dana total 93 miliar dolar AS, praktis hampir separuh dana Vision Fund berasal dari Saudi.
Hingga saat ini, Vision Fund telah berinvestasi ke setidaknya 26 perusahaan, termasuk Slack, WeWork, serta GM Cruise. Menurut catatan ReCode, Uber merupakan perusahaan yang mendapatkan pendanaan terbesar yang mencapai 9,3 miliar dolar AS.
Berdasarkan data Quid yang dikutip Quartz, investasi langsung dari para investor Saudi selama lima tahun terakhir telah mencapai setidaknya 6,2 miliar dolar AS. Dengan jumlah tersebut, Saudi adalah salah satu investor terbesar di dunia.
Investasi Saudi ke AS juga berasal dari Saudi Aramco Energy Ventures, Saudi Public Investment Fund, Riyadh Valley Company, The Kingdom Holding Company, serta Saad AlSogair.
Terlepas dari masifnya investasi Saudi ke Silicon Valley, setelah kasus Khashoggi muncul di media-media internasional dan MBS diduga terlibat, sejumlah petinggi perusahaan-perusahaan di AS menyatakan protes terhadap Saudi.
CEO Uber Dara Khosrowshahi serta sejumlah petinggi di Ford, Google, dan JPMorgan Chase, misalnya, menyatakan tidak akan menghadiri acara tahunan Future Investment Initiative (FII) yang diselenggarakan oleh Kerajaan Saudi. Padahal, FII, yang sering dijuluki "Davos in the Desert", adalah ajang penting bagi Saudi untuk mewujudkan proyek ekonomi Visi 2030 yang dicetuskan MBS.
Diamnya Bezos
Jeff Bezos, bos Amazon, salah satu perusahaan digital terbesar di dunia, memilih bungkam. Bezos sendiri adalah pemilik Washington Post, harian yang menjadi rumah bagi tulisan-tulisan Khasoggi sebagai kolumnis.
"Ketika banyak orang secara terbuka menyangkal Saudi dan berusaha berjarak dari kerajaan tersebut, tak ada pernyataan tegas dari pemilik media [Washington Post]," kata Félim McMahon, direktur program teknologi dan hak asasi manusia di University of California kepada CNBC.
Usut punya usut, Bezos pun berkongsi bisnis dengan Saudi. Pasca-raibnya Khassoghi, posisi Bezos sama sulitnya dengan Trump. Pasalnya, ketika membeli Washington Post pada 2013, ia berjanji tidak akan mencampuri dapur redaksi. Sebagai catatan, Washington Post adalah salah satu media yang paling kencang memberitakan kasus Khashoggi.
Masih dari CNBC, divisi komputasi awan Amazon, Amazon Web Service, dilaporkan tengah mengejar kesepakatan bisnis untuk mendirikan pusat data di Saudi. Selain itu, Amazon juga memiliki kantor di Riyadh via Souq.com. Souq adalah perusahaan e-commerce di Timur Tengah yang diakusisi oleh Amazon dengan nilai 580 juta dolar AS pada 2017 lalu.
Sebetulnya, protes yang dilayangkan oleh sejumlah petinggi perusahaan teknologi tidak jauh berbeda dengan sikap diam Bezos. Pasalnya, tak ada langkah konkret yang diambil, misalnya membatalkan investasi Saudi.
“Seperti kebanyakan perusahaan yang memiliki hubungan dengan Arab Saudi, kami mengamati perkembangan dan melihat ke mana situasi ini bergerak,” ujar Marcelo Claure, Direktur Operasional Softbank. “Yang terjadi saat ini adalah bisnis seperti biasa—kami terus menjalankan perusahaan kami, dana kami."
Meski demikian, Félim McMahon berpendapat bahwa inilah saat yang sangat tepat bagi perusahaan-perusahaan tersebut untuk memikirkan ulang bagaimana pendanaan mereka dari Saudi berpengaruh terhadap situasi jaminan atas hak-hak asasi manusia.
Dalam editorialnya pada 16 Oktober 2018, Washington Post menulis bahwa Saudi sedang mengarang sebuah cerita yang bakal mengait-ngaitkan pembunuhan Khashoggi dengan penyalahgunaan wewenang oleh tim yang dikirim untuk menginterogasinya. Cerita ini diharapkan akan mengalihkan tuduhan pembunuhan Khashoggi yang selama ini terarah kepada MBS. MBS sendiri diyakini telah memerintahkan pembunuhan Khashoggi dan mengawasi operasi tersebut.
Dugaan Washington Post terbukti. Seperti dilaporkan Al-Jazeera, pada Sabtu (20/10), Kerajaan Saudi mengklaim bahwa Khashoggi dibunuh di dalam konsulat Saudi di Istanbul, Turki. Narasinya? Ia terbunuh dalam diskusi yang berujung pada adu jotos.
Hingga hari ini, Saudi tidak menyebutkan di mana jenazah Khashogi disembunyikan.
Editor: Windu Jusuf