tirto.id - Sepuluh orang yang tergabung dalam forum Wartawan Freelance Indonesia mendemo Kedutaan Besar Arab Saudi yang terletak di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta. Tanpa pengeras suara, mereka berteriak berulang kali: “Where is Khashoggi?”
“Free journalist, free!” “Usut tuntas kasus Khashoggi!” turut berkumandang, juga poster-poster bertuliskan pesan serupa.
Jamal Khashoggi adalah seorang jurnalis lepas dari Arab Saudi. Ia lenyap pada 2 Oktober lalu setelah menginjakkan kaki di Konsulat Jenderal Arab Saudi di Istanbul, Turki. CNN, mengutip pernyataan pejabat Turki, menduga Khashoggi dibunuh beberapa jam setelah masuk ke gedung.
Koordinator Wartawan Freelance Indonesia Fira Abdurrachman mengatakan pembunuhan Khashoggi mencoreng kebebasan pers. Ia dan kawan-kawannya mendemo Kedutaan Besar Arab Saudi karena menganggap negara tersebut memang pihak yang paling bertanggung jawab atas hilangnya Khashoggi.
Dugaan itu semakin menguat ketika Associated Press melansir foto seorang pria yang diduga dekat dengan Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman, masuk ke Konsulat Jenderal sesaat sebelum Khashoggi menghilang.
“Jika benar Khashoggi dibunuh dan dimutilasi, artinya Kerajaan Saudi telah melanggar HAM,” terang Fira kepada reporter Tirto.
Fira tidak tahu apakah di negara lain juga ada gerakan solidaritas serupa, tapi dia berharap apa yang mereka lakukan setidaknya bisa menekan Arab Saudi dan menunjukkan bahwa wartawan Indonesia juga peduli terhadap apa yang terjadi dengan rekan seprofesinya dari negara lain.
“Kami tidak ingin jurnalis di mana pun merasa sendirian memperjuangkan nasib Khashoggi. Kami di Indonesia juga menaruh perhatian terhadap Khashoggi.”
Ketika demonstrasi berlangsung, seorang pria dengan setelan hitam dan berwajah Arab keluar dari pintu kedubes. Ia menghampiri seorang satpam, bicara kira-kira dua menit, dan masuk kembali. Satpam mengatakan pria itu hanya menanyakan soal demo. Namun tidak diketahui siapa dia serta apa jabatannya.
Dalam kesempatan yang sama, Fira mengingatkan kalau kekerasan terhadap jurnalis memang bisa terjadi di mana saja, termasuk Indonesia—dan sebetulnya sudah terjadi meski dalam derajat yang berbeda.
“Bukan tidak mungkin kekerasan terhadap pers terjadi di Indonesia,” kata dia.
Brutalnya Rezim Mohammed bin Salman
Jamal Ahmad Khashoggi lahir di Madinah, 13 Oktober 1958. Khashoggi, yang pernah jadi penasihat anggota kerajaan, populer sebagai kritikus utama Putra Mahkota dan pemimpin de facto Arab Saudi, Mohammad bin Salman (MBS), berkat tulisannya di media lokal dan internasional seperti Washington Post.
Khashoggi kerap mengkritik praktik-praktik represif Kerajaan Saudi terhadap kaum oposisi, misalnya soal soal pemenjaraan sejumlah aktivis hak asasi manusia yang mengutuk kebijakan perang Saudi di Yaman.
Berdasarkan catatan organisasi HAM Reprieve, jumlah orang yang dieksekusi mati meningkat dua kali sejak MBS berkuasa. Delapan bulan sejak menjabat sebagai putra mahkota, 133 orang telah dieksekusi. Delapan bulan sebelumnya, jumlah eksekusi mati tercatat 67 kali.
“Ketika kita berbicara mengenai reformasi politik, MBS sama reaksionernya dengan elite politik Wahabi,” ujar David Ottaway, pengamat spesialis Arab Saudi dari Wilson Center.
Rezim sejenis inilah yang dilawan Khashoggi. Merasa tidak bebas di negaranya sendiri, dia kemudian memutuskan pergi ke Amerika Serikat pada September 2017.
“Saya percaya pada kebebasan jurnalisme. Saya selalu ingin punya lebih banyak ruang. Saya terhina ketika istana memanggil saya dan memberitahu kalau saya tidak diperbolehkan menulis... di Amerika, Anda menerima kebebasan begitu saja,” kata Khashoggi kepada Columbia Journalism Review pada Maret 2018.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino