tirto.id - Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai wacana Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, untuk memangkas subsidi listrik dengan mengandalkan energi surya melalui Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebagai langkah tepat. Rencana ini dipadang realistis, tetapi harus diikuti dengan kebijakan konkret agar tidak sekadar menjadi wacana.
“Baru pertama kali ada Menteri Keuangan yang bicara soal menurunkan subsidi listrik dengan energi terbarukan, khususnya surya. Itu langkah yang tepat,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam keterangannya pada Tirto, Selasa (23/9/2025).
Menurut IESR, secara teknis penggunaan PLTS skala besar di dalam sistem PLN memungkinkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik turun signifikan. Pasalnya, PLTS tidak memiliki biaya bahan bakar seperti pembangkit berbasis BBM dan gas.
“Kalau bauran listrik energi terbarukan di sistem PLN bisa lebih tinggi daripada 23 persen di tahun 2030, biaya produksi tenaga listrik itu bisa turun kira-kira 10 persen,” ungkap Fabby.
Meski demikian, ia tetap mengingatkan penambahan PLTS tidak akan banyak membantu jika pemerintah tetap menambah pembangkit berbasis fosil.
“Kalau pembangkit fosilnya nambah, ya beda lagi hitungannya. Karena yang bikin mahal itu pembangkit fosil sebenarnya,” tegasnya.
Selain memperbesar porsi energi terbarukan, pemerintah juga didorong untuk melakukan reformasi subsidi dan kompensasi listrik yang saat ini masih dinikmati hampir semua golongan pelanggan PLN. Menurut Fabby, tanpa rasionalisasi tarif, beban subsidi akan terus membengkak.
IESR berharap rencana ini ditindaklanjuti dengan revisi Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), agar PLN bisa menyesuaikan RUPTL sesuai visi transisi energi.
“Kalau RUKN tidak dirubah, PLN juga tidak akan berubah. Jadi kuncinya ada di sana,” ujar Fabby.
Dengan strategi yang tepat, IESR menilai pemangkasan subsidi listrik lewat PLTS tidak hanya meringankan beban APBN, tetapi juga mempercepat transformasi energi Indonesia ke arah yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Fabby menjelaskan industri modul surya di Indonesia saat ini sudah memiliki kapasitas produksi hingga 5 gigawatt (GW) per tahun. Kapasitas itu bahkan diproyeksikan bisa mencapai 10 GW pada 2026, jika semua rencana investasi berjalan.
“Industri PLTS kita sudah ada, bahkan beberapa perusahaan sudah ekspor ke Amerika. Jadi bukan soal teknologi atau kapasitas, yang kita butuhkan sekarang itu market di dalam negeri,” ujar Fabby.
Menurutnya, jika pemerintah konsisten mendorong PLTS sebagai strategi pemangkasan subsidi listrik, maka pasar domestik bisa terbentuk. "Supaya industri bisa hidup, paling tidak kita butuh market 8 sampai 10 GW per tahun. Kalau itu ada, industri surya dan baterai bisa melesat,” tambahnya.
Selain modul surya, pembangunan pabrik baterai di Karawang, Halmahera, dan Morowali juga disebut sebagai bagian penting dari ekosistem energi bersih.
“Saya tidak khawatir soal kapasitas industri. Yang penting adalah kepastian pasar. Kalau ada pasar, industri ini bisa tumbuh cepat,” tegas Fabby.
IESR menilai, dengan kombinasi kebijakan fiskal dan dukungan pasar domestik, pemangkasan subsidi listrik tidak hanya membantu APBN, tetapi juga memperkuat daya saing Indonesia di industri energi terbarukan global.
Penulis: Natania Longdong
Editor: Dwi Aditya Putra
Masuk tirto.id






































