tirto.id - Hari itu, April 2009, Antasari Azhar bertanya-tanya: Mengapa penghitungan suara pada pemilihan legislatif berlangsung lambat? Bukankah Komisi Pemilihan Umum mengklaim alat yang dimilikinya canggih dan berkecepatan sama dengan hitung-cepat? Lontaran pertanyaan itu membawa naluri Antasari tergerak. Apalagi setelah ia melihat proses tabulasi nasional perolehan suara pemilu legislatif berantakan. Data tabulasi mencatat, dari 171 juta daftar pemilih tetap, hanya 13 juta suara yang bisa ditampilkan KPU.
Dasar itu makin menguatkan Antasari: ada sesuatu di balik pengadaan sistem teknologi informasi (IT) KPU.
Antasari, saat itu ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, esok harinya memanggil wakil ketua KPK Haryono Umar. Kepada Haryono, Antasari meneliti kemungkinan dugaan penyimpangan pengadaan proyek IT KPU. Ia bermaksud meneliti dugaan terjadinya korupsi pengadaan Identity Character Recognition (ICR) KPU. Dugaan itu diperkuat setelah ia mencium kejanggalan di balik pengadaan tender.
Menurut Antasari, dalam buku berjudul Testimoni Antasari Azhar untuk Hukum dan Keadilan (ditulis Servan Pandur, 2011), penggunaan teknologi ICR pada Pemilu 2009 memakan anggaran Rp170 miliar. Saat bertandang ke KPK, komisioner KPU menyatakan alat itu sangat canggih dan mempercepat proses penghitungan suara hingga membuat pemilu lebih transparan. Namun, kenyataannya, penghitungan elektronik KPU justru ngadat. Karena masalah itu, KPU melakukan penghitungan surat suara secara manual.
Temuan itu mengantarkan Antasari buat melakukan langkah penyelidikan awal. Pada 21 April 2009, Antasari berbicara kepada media mengenai langkah yang akan diambil KPK, “Dalam kasus ini, saya merasa bertanggung jawab sebagai Ketua KPK yang memiliki tugas untuk memonitor dan mencegah orang dan sistem menjadi korup.” Namun, belum sampai kasus itu disidik hingga tuntas, Antasari justru tersangkut kasus pidana. Ia diduga terlibat dalam pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen.
Kasus pembunuhan itu juga disebut-sebut sebagai muara kriminalisasi Antasari karena sedang menyidik kasus yang melibatkan penguasa. Selama proses persidangan, bukti-bukti Antasari melakukan pembunuhan tak ditemukan. Bukti yang sering disebut Antasari adalah baju Nasrudin Zulkarnaen. Berkali-kali ia menyebut jika barang bukti itu sampai saat ini tak diketahui keberadaannya.
“Baju korban (Nasrudin) hilang,” kata Antasari di Bareskrim Markas Besar Polri, Selasa kemarin (14/2). Selain baju, Antasari juga menyebut pesan singkat dari telepon selulernya ke nomor Nasrudin ialah rekayasa.
“Pertanyaan saya untuk wartawan, tolong dijawab, 'Waktu tanggal 4 Mei 2009 saya ditahan, tahu kan? Pada saat itu, alat bukti saya apa? SMS? Sudah tahu kapan SMS itu dibikin?' Dugaannya setelah saya ditahan,” ujar Antasari.
Bikin Gaduh di Hari Tenang
Setelah mendapat grasi dari Presiden Joko Widodo, Antasari bisa menghirup napas lega. Ia kembali meniup genderang dugaan korupsi IT KPU. Ketika melaporkan rekayasa kasusnya di Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri, Antasari kembali bernyanyi.
Ia menyebut Cikeas, merujuk kediaman Susilo Bambang Yudhoyono di Kabupaten Bogor. Ia bilang, Cikeas mengirim Hary Tanoesoedibjo, pengusaha media, buat meminta Antasari agar tak menahan Aulia Pohan, besan Yudhoyono. Dalam keterangannya, usai melapor di Bareskrim, Antasari kembali menyebut IT KPU yang belum tuntas ditangani, bahkan oleh KPK periode sekarang, karena dirinya keburu dijerat kasus pembunuhan.
“Saya pikir dia (Hary Tanoe) datang ingin menjelaskan tentang IT KPU, kok tiba-tiba datang dia bilang bawa misi,” kata Antasari.
Belakangan nyanyiannya membuat gaduh di minggu tenang masa pemilihan kepala daerah serentak hari ini. Antasari menyebut Yudhoyono mengetahui dugaan rekayasa kasusnya melalui kedatangan Hary Tanoe sebelum ia ditetapkan tersangka.
“Pada saat itu saya full data IT di KPU,” tutur Antasari.
Pernyataan Antasari sejatinya menambah rentetan kegaduhan di masa tenang Pilkada serentak 2017. Sebelum Antasari bernyanyi, gemuruh menjelang pencoblosan pada 15 Februari sudah terlihat.
Pertama, aksi demonstrasi bertajuk "Bela Agama dan Negara", atau Aksi 112, oleh Forum Umat Islam di Masjid Istiqlal.
Aksi itu susulan demo "Aksi Bela Islam II" atau dikenal Aksi 411 dan "Aksi Bela Islam III" atau dikenal Aksi 212, yang dimotori Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Pada aksi di pengujung masa kampanye Pilkada Jakarta itu, dua pasangan calon ikut hadir. Mereka adalah Agus Harimurti Yudhoyono, putra pertama Yudhoyono, dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Pada saat bersamaan, Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal M. Iriawan menyatakan pihaknya menerima informasi dari intelijen jika Pilkada Jakarta akan ramai politik uang. Di lain sisi, Senin, 13 Februari, fraksi partai di DPR RI melancarkan protes atas kembalinya Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta. Mereka adalah Fraksi Demokrat, Gerindra, PAN, dan PKS. Kelima fraksi pengusung dua pasangan calon dalam Pilkada DKI Jakarta itu mengajukan hak angket, yang mereka sebut "Ahok Gate", di DPR RI.
Sejauh ini ada 90 anggota DPR RI menyetujui hak angket itu. Rinciannya, 22 dari Fraksi Partai Gerindra, 42 dari Fraksi Partai Demokrat, 10 dari Fraksi Partai Amanat Nasional, dan 16 orang dari Fraksi PKS. Alasan mereka, Ahok sedang menghadapi kasus dugaan pidana penodaan agama, sehingga tidak bisa mengemban pejabat publik aktif.
Membantah Tuduhan Antasari
Menanggapi tudingan Antasari, Yudhoyono meradang. Lima jam setelah Antasari mengeluarkan penyataan yang menyeret namanya, presiden keenam itu memberikan keterangan. Didampingi para petinggi Demokrat, Yudhoyono membantah tuduhan Antasari. Ia menyebut tudingan mantan Ketua KPK itu tak memiliki dasar.
“Tuduhan itu tanpa dasar. Tuduhan itu liar,” kata Yudhoyono di Kuningan, Jakarta Selatan.
Yudhoyono menganggap Antasari tengah melancarkan serangan kampanye jahat di hari tenang Pilkada Jakarta. Ia berkata, sejak Antasari mendapat grasi dari presiden, ia diwanti-wanti rekannya bakal ada serangan politik. Serangan itu, menurut Yudhoyono, datang lewat Antasari Azhar.
“Tujuannya jelas, semua orang tahu agar nama SBY dan Agus Harimurti Yudhoyono rusak, tercoreng. Akhirnya yang diharapkan dalam Pilkada Jakarta yang dilakukan besok, Agus-Sylvi kalah. Nampaknya grasi Presiden Jokowi ada muatan politiknya,” kata Yudhoyono, menahan kesal. Ia berkata ada aktor politik yang memanfaatkan Antasari untuk bernyanyi.
“I have to say, politik ini kasar, kurang keadaban. Tak masuk di akal, naudzubilah, sepertinya kekuasaan bisa berbuat apa saja.”
Selain Yudhoyono, tuduhan Antasari juga menyasar pada Hary Tanoesudibjo.
Inilah kali pertama nama Hary Tanoe disebut dalam pusaran kasus rekayasa Antasari. Bahkan dalam buku Testimoni Antasari Azhar, nama pemilik MNC Group dan pendiri Partai Perindo itu tak ada sama sekali. Di sisi lain, sepanjang perjalanan di pengadilan, nama Hary Tanoe juga tak masuk menjadi salah satu pembesar yang ikut terseret dalam kasus Antasari.
Namun, Antasari tak segan untuk menyebut Hary Tanoe ikut terlibat dalam rekayasa kasus, yang disebut Antasari sebagai orang suruhan Yudhoyono.
Saat dikonfimasi soal tuduhan Antasari kepada Hary Tanoe, Arya Mahendra Sinulingga, Ketua Bidang Media dan Komunikasi Massa Partai Perindo, malah tertawa. Ia menganggap apa yang dikatakan Antasari sebuah lelucon. Arya meminta agar Antasari memperdalam penyataannya dulu dan baru kemudian disampaikan dengan data yang valid.
“Antasari silakan buktikan omongannya,” ujar Arya melalui telepon, Selasa kemarin (14/2).
Ia menjelaskan, Hary Tanoe sama sekali tidak memiliki kedekatan dengan Cikeas. Secara logika, jika Yudhoyono bisa mengutus Hary Tanoe, otomatis keduanya memiliki kedekatan. Namun Arya membantah hal itu. Menurutnya, tak ada hubungan bisnis antara Yudhoyono dan Hary Tanoe.
“Kami, kan, enggak punya hubungan kepentingan apa pun dalam pemerintahan SBY. Secara bisnis enggak punya,” katanya.
“Kan, bisnisnya iklan, iklan itu dari market. Market itu ya kita bangun market sendiri. Kita, kan, iklan bukan dari pemerintah. Kita iklan dari produk.”
Kini isu yang berputar, antara Yudhoyono dan Hary Tanoe di balik rekayasa kasus Antasari menjadi bola panas. Meski keduanya membantah, tetapi bola liar ini kadung diluncurkan. Apa yang akan dilakukan Antasari selanjutnya?
Ia tentu saja, bila tidak punya data valid, bakal kena gugatan balik, minimal tersandung pasal pencemaran nama baik yang diakomodasi oleh hukum Indonesia sebagai jerat pidana.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam