Menuju konten utama

Peluang Kemhan Mau Proses Hukum Hoaks Mirage 2000-5 Pakai UU ITE

Hotman memprediksi ada dua pasal yang akan menjadi dasar laporan, yakni Pasal 27 ayat 3 UU ITE dan Pasal 28 UU ITE.

Peluang Kemhan Mau Proses Hukum Hoaks Mirage 2000-5 Pakai UU ITE
Wakil Menteri Pertahanan Muhammad Herindra (tengah) didampingi Sekretaris Jenderal Kemenhan Donny Ermawan Taufanto (kanan) dan pengacara Hotman Paris Hutapea (kiri) menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait tuduhan korupsi pembelian pesawat tempur Mirage dari Qatar di Kementerian Pertahanan, Jakarta, Senin (12//2/2024). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.

tirto.id - Kementerian Pertahanan menegaskan mereka akan memproses hukum terkait dugaan hoaks korupsi pengadaan pesawat Mirage 2000-5 yang sempat ramai di media sosial. Wakil Menteri Pertahanan RI, Herindra, menilai hoaks tersebut sebagai informasi sesat yang mengganggu upaya pembangunan pertahanan Indonesia.

“Saya mewakili Kementerian Pertahanan, menegaskan bahwa informasi-informasi tersebut adalah sesat, fitnah, dan hoax. Jika terus dikembangkan, maka informasi-informasi sesat ini dapat memperlemah upaya Kementerian Pertahanan dalam merancang sistem kekuatan pertahanan Republik Indonesia,” kata Herindra di Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta Pusat, Senin (12/2/2024).

Menurut dia, selama ini informasi-informasi sesat ini dikembangkan oleh pihak-pihak tertentu dalam proses diplomasi alutsista Indonesia.

Herindra mengatakan, rencana pembelian pesawat Mirage 2000-5 batal karena keterbatasan fiskal. Pemerintah lantas memutuskan pengadaan pesawat Dassault Rafale yang hadir dalam waktu dekat.

“Kementerian Pertahanan tetap fokus berusaha mencari pesawat tempur terbaik yang tersedia untuk menjaga wilayah udara Indonesia. Salah satunya adalah Rafale Dassault dari Perancis, yang akan segera hadir secara bertahap ke Indonesia. Pesawat tempur ini akan menjadi bagian yang memperkuat sistem pertahanan udara Indonesia,” kata Herindra.

Selain itu, Herindra menegaskan tidak ada kontrak aktif antara Kemhan dengan pihak PT TMI yang berafiliasi dengan purnawirawan TNI Glenny Kairupan. Glenny sendiri merupakan kolega dekat Menteri Pertahanan cum capres nomor urut 2, Prabowo Subianto.

“Tidak ada kontrak pengadaan alutsista antara Kementerian Pertahanan dan PT TMI,” Kata Herindra.

Herindra menegaskan, informasi tersebut sudah merugikan Kemhan. Mereka pun memutuskan untuk memproses hukum tudingan tersebut.

“Karena semua informasi tersebut adalah hoax dan fitnah, dan mendegradasi upaya penguatan pertahanan Indonesia, serta merugikan Kementerian Pertahanan, namun telah disebarkan secara masif oleh beberapa pihak, baik melalui sosial media, dan situs-situs online dengan berbagai tuduhan yang tak berdasar, maka Kementerian Pertahanan akan melakukan langkah hukum terhadap penyebaran fitnah dan hoax yang menyangkut Kementerian Pertahanan,” kata Herindra.

Kemenhan bantah tuduhan korupsi jet Mirage

Wakil Menteri Pertahanan Muhammad Herindra (kanan) didampingi Juru Bicara Menteri Pertahanan Dahnil Anzar Simanjuntak (tengah) dan pengacara Hotman Paris Hutapea (kiri) bersiap menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait tuduhan korupsi pembelian pesawat tempur Mirage dari Qatar di Kementerian Pertahanan, Jakarta, Senin (12//2/2024). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.

Kuasa Hukum Kementerian Pertahanan, Hotman Paris Hutapea, mengatakan ada sejumlah hoaks yang perlu diklarifikasi. Pertama adalah kontrak tidak aktif karena tidak ada pembelian. Kedua, soal korupsi Mirage yang melibatkan Eva Kaili sebagai hoaks karena tidak ada jual beli.

“Kalau kita masih waras, tidak mungkin ada suap kalau tidak ada transaksi,” kata Hotman di lokasi yang sama.

Hotman mengatakan kontrak Mirage ditandatangani pada 31 Januari 2023, tapi batal terlaksana. Ketiga adalah hoaks bahwa ada uang suap hingga menerima fee dari pembelian pesawat. Soal PT TMI, kata dia, juga hoax karena tidak ada kontrak melibatkan mereka.

“Tidak jadi beli, sudah tanda tangan kontrak, kontrak tidak pernah efektif karena syarat-syaratnya tidak dipenuhi, antar lain kita tidak punya dana. Jadi kalau dananya enggak turun, siapa yang mau nalangin uang suapnya, ya tidak mungkin pejabat Kemhan nalangin suapnya, sedangkan dananya dari kas negara enggak turun. Itu, kan, dananya bukan cepe atau dua juta, pas itu jutaan dolar,” kata Hotman.

Hotman menambahkan, “Jadi kontrak tidak efektif karena kita tidak sanggup, tidak ada dana sehingga kontraknya dianggap tidak jalan dan demi hukum sudah berakhir.”

Hotman mengatakan, dirinya memprediksi ada dua pasal yang akan menjadi dasar laporan, yakni Pasal 27 ayat 3 UU ITE dan Pasal 28 UU ITE. Namun, ia belum tahu kapan pelaporan akan dilakukan karena menunggu keputusan Kemhan.

Ia juga mengaku belum tahu akan melibatkan tim siber Polri atau tidak karena belum tahu lokasi pelaporan. Namun, ia memberi sinyal kasus ini akan ditangani serius usai pencoblosan 14 Februari 2024.

Substansi Pasal yang Disebut Hotman Sudah Berubah

Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar, menilai janggal logika Kemhan untuk memproses hukum hoaks Mirage 2000-5. Ia mengingatkan bahwa UU ITE saat ini sudah berubah akibat revisi terbaru yang dilakukan akhir 2023. Pasal yang dimaksud oleh Hotman sudah berubah.

Wahyudi sebut, UU ITE terbaru yang berlaku pada 2 Januari 2024 mengubah substansi Pasal 27 dan 28. Pasal 27 ayat 1 membahas soal kesusilaan; Pasal 27 ayat 2 membahas soal perjudian; Pasal 27A membahas soal pencemaran nama; Pasal 28 ayat 1 membahas soal kabar bohong yang mengakibatkan kerugian konsumen; Pasal 28 ayat 2 berkaitan hate speech dan Pasal 28 ayat 3 berkaitan kabar bohong yang memicu kerusuhan publik.

“Jadi kalau mau dipakai, yang paling dekat Pasal 28 ayat 3 terkait kabar bohong yang mengakibatkan kerusuhan, tapi unsur kerusuhan di masyarakat itu harus dibuktikan dulu, kecuali kemudian konstruksinya menggunakan konstruksi pencemaran nama di [pasal] 27A, tetapi kalau menggunakan konstruksi pencemaran nama itu juga enggak masuk karena konteksnya ini kelembagaan,” kata Wahyudi.

Pasal 27A baru bisa ditangani apabila Prabowo yang melapor langsung. Selain itu, penggunaan Kementerian Pertahanan sebagai pelapor tidak mungkin dilakukan sebagai subyek hukum. Ia mengingatkan, konstruksi hukum pencemaran nama baik harus individu dan bukan lembaga. Ia juga mengingatkan hoaks tidak bisa menjadi dasar saja untuk melapor dan membawa ke proses hukum.

Wahyudi juga menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan menutup informasi. Ia mengingatkan bahwa informasi dugaan korupsi berasal dari link media agregator MSN milik Microsoft. MSN sama dengan Google News milik Google yang juga agregator.

Wahyudi melihat pemerintah seharusnya tidak menutup atau menepis akses publik terhadap informasi tersebut. Ia menilai aksi penghilangan konten sebagai bentuk pembungkaman berekspresi untuk publik mendapatkan akses informasi.

“Mestinya Kementerian Pertahanan bisa melakukan proses klarifikasi atas kebenaran dari informasi tersebut, bukan justru kemudian malah membatasi akses terhadap informasi itu. Yang kedua justru malah mengambil langkah-langkah pidana karena tadi, sekali lagi mestinya kalau secara objektif unsurnya tidak terpenuhi kalau kemudian konstruksinya menggunakan Pasal 28 ayat 3,” kata Wahyudi.

Ahli hukum pidana Universitas Brawijaya, Fachrizal Affandi, menilai janggal dalam proses hukum yang dilakukan Kementerian Pertahanan dalam kasus hoaks Mirage. Ia menilai kasus ini janggal karena Kementerian Pertahanan sebagai lembaga malah memproses hukum dengan kapasitas lembaga padahal cukup diklarifikasi. Jika ingin menangani secara hukum, bukan melibatkan pengacara luar. Kemhan bisa melibatkan kejaksaan.

“Kalau memang itu masalahnya adalah masalah korupsi misalnya, ya kan tinggal ditelusuri kalau memang hoax tinggal bilang hoax, kalau memang mau melaporkan kan ada biro hukum atau pakai jaksa pengacara negara atau apa,” kata Fachrizal.

Fachrizal mengaku tidak bisa menjawab spesifik soal konstruksi hukum karena belum memahami UU ITE terbaru. Akan tetapi, ia menekankan bahwa pelaporan kasus UU ITE tidak bisa melibatkan kelembagaan, melainkan harus individu.

Di sisi lain, pelabelan hoaks tidak bisa dilakukan oleh Kementerian Pertahanan. Ia mendorong agar penegak hukum menelusuri dugaan korupsi lewat penyelidikan dan membuktikan apakah hoaks atau tidak, bukan dari pernyataan Kementerian Pertahanan semata.

Ia mengingatkan masih ada ruang potensi pidana lain jika berkaitan dengan korupsi, salah satunya adalah soal percobaan korupsi.

“Kalau ada laporan seperti ini, KPK mestinya proaktif mengusut kemungkinan ada tidak, benar, tidak. Jangan kemudian diputuskan hoaks. Memang ini masa kampanye, tapi enggak perlu kemudian Kementerian Pertahanan reaktif gitu secara kelembagaan, tapi kalau memang itu benar-benar hoaks, serahkan kepada proses hukum yang berlaku. Itu menteri, bukan kementerian. Artinya harusnya Prabowo yang menunjuk Hotman Paris, bukan Kementerian Pertahanan," kata Fachrizal.

Baca juga artikel terkait KEMENTERIAN PERTAHANAN atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz