Menuju konten utama
Wansus Pemilu

Partai Buruh: Mimpi Negara Kesejahteraan & Upaya Menuju Parlemen

Partai Buruh menjelaskan soal Indonesia dan mimpi negara kesejahteraan hingga upayanya agar mulus melenggang ke parlemen.

Partai Buruh: Mimpi Negara Kesejahteraan & Upaya Menuju Parlemen
Header Muhammad Ridha. tirto.id/Tino

tirto.id - Memakai kemeja kotak-kotak dibalut jaket jeans warna biru dongker, Muhammad Ridha membagikan cerita bagaimana perjuangan kelas pekerja menuju kesejahteraan bersama.

Staf Khusus Ideologi dan Kaderisasi Partai Buruh ini yakin konsep ‘negara kesejahteraan’ atau welfare state yang ditawarkan Partai Buruh mampu menjawab tantangan ekonomi dan masalah demokrasi saat ini.

Negara kesejahteraan yang diperjuangkan Partai Buruh di Indonesia, mengacu pada pemerintah yang menyediakan layanan dan dukungan sosial kepada warganya. Negara kesejahteraan bertujuan untuk menyediakan kebutuhan dasar, seperti perawatan kesehatan, pendidikan, dan perumahan, kepada warga yang mungkin tidak memiliki sarana dan akses terhadap layanan ini.

“Kalau ditanya seperti apa dalam 'negara kesejahteraan'? Ya tentu adalah punya skema untuk melakukan perlindungan sosial terhadap warga negaranya dari dia lahir sampai dia mangkat (meninggal), sesimpel itu aja sebenarnya,” kata Ridha saat wawancara khusus di Podcast Tirto 'For Your Pemilu' di kantor Tirto, Jumat,4 Agustus 2023.

Pada 14 Desember 2022, Partai Buruh secara resmi dinyatakan lolos ikut serta dalam Pemilu 2024. Untuk mewujudkan ‘Negara Kesejahteraan’, Partai Buruh akan memanfaatkan momen untuk meraih suara sebanyak-banyaknya agar lolos ke parlemen.

Muhammad Ridha menyampaikan mimpi Partai Buruh untuk menciptakan kesejahteraan di Indonesia dan bagaimana strategi memenangkan kontestasi Pemilu 2024. Berikut ini petikan wawancara tim redaksi Tirto bersama Muhammad Ridha:

Apa yang menyebabkan Partai Buruh belum lolos parlemen? Ada kemungkinan sekarang [Pemilu 2024] bisa lolos?

Memang ada masalah di struktur politik elektoral kita itu sendiri. Yang mana bisa dilihat secara institusi, kaum elite mudah untuk [melakukan] penetrasi struktur institusi yang ada.

Artinya, kita sudah cukup tahu lah pada bagaimana KPU itu seringkali bisa dimanipulasi oleh elite-elite yang ada. Khususnya di tingkatan lokal ya, banyak cerita dimana banyak kasus pencurian suara gitu-gitu. Atau kita juga bisa melihat pada bagaimana bahkan tingkatan kebijakan peraturan itu sendiri seringkali ditentukan oleh kalangan elite.

Kebijakan dan peraturan tentang pelaksanaan pemilu dan lain-lain. Jadi enggak heran kemudian kalau kita melihat ruang pertarungan elektoral di Indonesia itu sendiri dan sebagaimana terjadi di banyak negara itu enggak setara.

Enggak menjamin bahwa walaupun partai kami sudah berhasil masuk dalam sistem pemilu, enggak menjamin kita bisa mudah untuk bisa mempropagandakan posisi kita, mendapat pengaruh dan lain-lain.

Ya kayak simpelnya kayak sekarang ini ketika kita sudah mau ngajak katakanlah warga gitu ya, pas udah ngomong, terus ditanya ‘udah nggak usah banyak cincong, lo punya duit berapa?’ Nah itu kan akhirnya pertanyaannya adalah siapa yang punya duit dan kita ngelihat dalam proses pemilu kita, money politics jadi hal yang utama.

Masalah [politik uang] itu adalah sesuatu yang menjadi bagian integral dari sistem kepemiluan kita dan saya pikir ruang bertarung itulah yang dihadapi. Oleh karena itu, bagi Partai Buruh kita melihat perlu melakukan serangan terhadap sistem yang enggak merata ini, yang enggak setara ini.

Bagi kita, salah satu hal yang bisa diperhatikan adalah masalah parliamentary dan presidential threshold [atau ambang batas parlemen dan pencalonan presiden].

Soal ambang batas itu ya?

Karena dengan adanya ambang batas ini, partai hanya bisa dimungkinkan untuk bisa ada di parlemen kan setelah dia bisa memenuhi ambang batas yang sudah ditentukan. Padahal kita tahu gitu, ambang batas yang ditentukan itu bukan hasil yang sepenuhnya demokratis. Itu muncul dari kongkalikong elite yang sudah berhasil menguasai politik negara.

Saya pikir ada dimensi manipulasi kekuasaan yang harus dilawan. Dan di sini lah letaknya, kalau kita bisa memenangkan agenda ini dalam rangka memenangkan JR (Judicial Review) agar ambang batas ini ditarik, ya kita melihat ada peluang itu.

Walaupun kita mengakui bahwa kemungkinan cukup kecil. Tapi itu buat kita cukup penting untuk diperjuangkan karena itu menjadi bagian penting dari rakyat Indonesia secara keseluruhan, yang merasa punya kepentingan dengan pemilu agar mereka bisa direpresentasikan dalam sistem yang ada.

Nah, kalau ditanya mengenai peluang Partai Buruh? Dengan adanya konfigurasi-konfigurasi aturan kepemiluan yang saya sebut tidak merata ini, maka solusi kita adalah berupaya untuk mencari simpati seluas mungkin dari masyarakat luas.

Karena yang bisa kita sandarkan adalah masyarakat itu sendiri, rakyat itu sendiri. Pertama, di rakyat, kita menemukan banyak paradoks, kalau diperhatikan di survei-survei popularitas incumbent [petahana] presiden sekarang tinggi sekali. Tapi, di sisi lain kita perhatikan justru rakyat sangat concern dengan isu-isu sosial ekonomi di negara ini.

Jadi penjelasannya apa? Kok orang begitu approve terhadap kekuasaan yang sekarang tapi kemudian mereka justru tetap masih punya concern terhadap kebijakan yang dibuat oleh mereka yang mereka approve.

Ini menunjukkan bahwa sebenarnya mereka tahu masalah tapi seringkali enggak tahu apa kesimpulan politik yang harus ditarik dari kondisi yang ada. Dan saya pikir disitu lah letak kesempatan bagi Partai Buruh bisa memberikan tawaran terhadap masalah yang mereka hadapi sekarang.

Muhammad Ridha

Muhammad Ridha. tirto.id/Andhika

Parpol lain juga menjerat massa buruh, bagaimana strategi Partai Buruh dalam situasi ini?

Pertama adalah mengoptimalisasi struktur organisasi. Sebab, secara umum partai buruh secara total punya katakanlah kurang lebih 5 juta anggota. Dan kalau kita lihat dari masalah electoral threshold yang 4 persen itu, sebenarnya hampir mencapai di angka 6,5-7 juta yang diperlukan untuk bisa mencapai threshold.

Jadi itu dulu yang pertama kali, kita memperkuat internal kita dulu supaya memastikan agar semua anggota serikat mendukung Partai Buruh. Nah, [kedua], problem-nya kemudian adalah tentu ini enggak mencukupi kan ya? Kita juga harus menggaet elemen serikat yang bukan menjadi internal dalam Partai Buruh.

Di situlah yang saya sebut tadi, perlunya kita membangun komunikasi dan sejauh ini kita sudah bisa mendorong terbangunnya aliansi di banyak wilayah. Yang mana isi aliansinya itu bukan cuma sekadar dari Partai Buruh saja tapi juga serikat-serikat yang di luar Partai Buruh untuk bersepakat memperjuangkan agenda gerakan buruh itu sendiri.

Nah, yang ketiga adalah berupaya untuk membangun komunikasi dengan elemen masyarakat sipil secara lebih luas. Karena masyarakat sipil, gerakan buruh kan bagian dari masyarakat sipil itu sendiri. Dan kita juga enggak bisa untuk menafikan begitu saja posisi masyarakat sipil. Makanya kita melihat bahwa agenda negara kesejahteraan ini bukanlah semata agenda ekonomisnya. Ini adalah agenda demokrasi.

Salah satu penyebab kenapa agenda demokrasi kita ini begitu kayak sekarang gitu ya, yang bukan cuma start tapi juga perlahan-lahan mundur adalah karena demokrasi kita menjadi terkonsentrasi di sekedar urusan politik saja.

Padahal sebenarnya demokrasi yang substansial justru dia bisa melebar ke urusan ekonomi juga dan urusan sosial. Salah satu penyebabnya adalah karena enggak ada redistribusi sumber daya yang diperlakukan negara untuk bisa memastikan bahwa setiap orang bisa berpartisipasi secara meaningful, secara bermakna dalam sistem sosial yang ada.

Soal parliamentary threshold bagaimana Partai Buruh memandang itu sih?

Ya, tentu buat kita adalah itu hambatan terhadap demokrasi. Karena itu akhirnya memaksa semua kontestan untuk tunduk dalam rezim pembatasan itu. Padahal kita tahu demokrasi justru memberikan ruang sebesar mungkin bagi kemungkinan partisipasi. Namanya juga demokrasi gitu kan, demos gitu kan, rakyat, seharusnya dia enggak berlaku terbatas bagi segelintir orang saja.

Dan kalau kita mau ngomongin politik real pemilu kan, sudah jelas yang diuntungkan adalah mereka yang sudah punya infrastruktur, yang sudah punya sumber daya yang diuntungkan dengan itu jadi bagi kami sih itu sebenarnya adalah semacam pelanggaran HAM.

Pelanggaran HAM yang mana bukan sekedar HAM itu dalam urusan yang biasa kita lihat ya, tapi juga urusan berpolitik gitu. HAM itu kan salah satu elemennya kan hak-hak sipil politik ya dan bagi saya sih itu adalah pelanggaran. Karena dia menghambat secara sistematis upaya masyarakat untuk bisa masuk ke dalam parlemen dan akhirnya ikut mempengaruhi proses politik.

Aliansi buruh banyak mendorong soal kenaikan Upah Minimum Pekerja (UMP), apakah ini menjadi materi kampanye Partai Buruh?

Masalah politik kita didominasi oleh pengusaha,enggak heran kemudian gagasan yang berkembang di masyarakat itu adalah gagasan yang didominasi oleh pengusaha itu sendiri. Sebab, kalau diperhatikan justru UMP yang tinggi itu kan sebenarnya daya belinya tinggi.

Dan kalau kita lihat dalam konteks sekarang gitu ya di mana ada konflik geopolitik, dinamika perang dan lain-lain, justru kita enggak bisa lagi tergantung sama konsumsi di luar [negeri] kan? Kita harus memastikan ada konsumsi di dalam [negeri]. Kalau kita mau mempertahankan industri tertentu karena kita enggak bisa tergantung sama yang di luartentutergantung pada tingkat konsumsi di dalam.

UMP yang tinggi berarti adalah tingkat konsumsi di dalam itu tinggi. Kita justru bisa menjadi buffer bagi kemungkinan industri untuk tetap bertahan, karena ada kepastian serapan konsumsi dari masyarakat kita sendiri.

Justru argumen bahwa upah tinggi itu akan menyebabkan PHK, itu sama sekali enggak berdasar dalam konteks sekarang. Karena justru dimana-mana setiap negara berupaya untuk memperkuat ekonomi domestiknya sendiri.

Oleh karena itu, kalau mungkin ada perusahaan yang bangkrut sekarang justru karena ketidakmampuan dia untuk bisa mengelola ekonomi secara efisien. Tapi enggak ada hubungannya dengan daya beli masyarakat. Enggak ada hubungannya dengan upah karena kalau upahnya tinggi tentu daya belinya terjaga.

Internal model kampanye Partai Buruh apakah mengandalkan iuran anggota atau membuka peluang-peluang kapital dari luar?

Iuran ya, ya iuran. Karena saya kebetulan ada di Dapil II Jakarta ya. Jadi itu Jakarta Selatan, Pusat. Kayak saya di Dapil Jakarta Selatan, kami mengandalkan iuran gitu untuk beroperasi walaupun kita tahu enggak banyak gitu ya.

Tapi yang pengen juga kita dorong adalah partisipasi publik gitu. Kita pengen bahwa aktivitas kita itu dibiayai oleh masyarakat. Karena kita tahu kalau kita enggak bikin relasi dengan masyarakat, enggak ada yang bisa mengontrol kita. Karena kan uang itu adalah menjadi kekuatan juga kan sebenarnya.

Kenapa kemudian banyak bohir bisa mengontrol politisi? Ya karena uang.

Kalau elemen komponen pembiayaan kita banyak dari masyarakat justru itu menjadi keuntungan bagi masyarakat karena dia punya kendali terhadap Partai Buruh. Kan salah satu menjadi kritik adalah banyak partai itu enggak bisa dikendalikan oleh masyarakat karena dianggap hanya menjadi instrumen bagi perpanjangan tangan elite organisasi itu sendiri.

Nah, tapi dengan kenyataan bahwa kita semua kere, ya kita akhirnya ngelihat justru kendali dari masyarakat adalah keuntungan buat kita. Dan di situlah pentingnya kita untuk didanai oleh masyarakat.

Jadi itu menjawab juga ke pertanyaan terakhir kan? Kita enggak bisa (didanai kapital). Kita enggak mau untuk urusan didanai oleh bohir gitu, karena kita enggak punya kendali program nanti.

Bagaimana Partai Buruh menggaet partisipasi publik?

Harus diakui Partai Buruh sebagai partai itu banyak diisi oleh elemen aktivis serikat buruh. Kita enggak banyak pengalaman sebenarnya dalam rangka memobilisasi dukungan di luar agenda keserikatan. Untuk pertama kalinya, kita menghadapi kenyataan ini dan yang kita ketahui sekarang adalah yang memobilisasi di tingkatan akar rumput sebenarnya bikin yang namanya Posko Orange.

Untuk memastikan bahwa ada ruang pengaduan bagi masyarakat kalau dia menghadapi isu-isu publik gitu kayak BPJS, masalah PHK, kekerasan seksual, dan lain-lain. Kita berikan ruang itu dimana mereka akhirnya bisa mengadu dan kita mempersiapkan diri untuk mengadvokasi isu-isu mereka.

Sejauh ini yang kita butuhkan adalah kampanye lebih masif, yang bisa bukan cuman menyentuh akar rumput tapi juga sampai ke opini publik gitu. Untuk ini mungkin bisa dikatakan masih belum ada jawaban yang clear. Ini keterbatasan kita secara sumber daya, pengalaman, dan lain-lain.

Tapi kita yakin, salah satu hal yang ini bisa dijawab kalau kita berhasil untuk memobilisasi secara masif di bawah untuk bisa mendukung agenda kita.

Apa hanya cukup bekal logisitik dari partisipasi publik?

Semua tergantung dari publik itu sendiri. Kalau saya sih salah satu orang yang percaya ya. Karena Tuhan tidak akan mengubah suatu kaum kecuali kaum itu mau mengubahnya. Jadi kalau ketika masyarakat sudah mau terlibat itu bisa menjadi solusi.

Keterlibatan masyarakat ini sangat tergantung momentumnya. Salah satunya adalah sekarang ini kan belum masuk masa kampanye kan dan oleh karena itu terbatas juga bagi Partai Buruh untuk bisa mendorong crowdfunding [sistem pendanaan kolektif]. Karena kita akan menggunakan itu di masa kampanye.

Bagaimana Partai Buruh memastikan caleg-caleg memenuhi kualifikasi?

Untuk Partai Buruh, kualifikasinya adalah cuma background check saja. Selama mereka tidak memiliki misal, bukan bekas kriminal, terus juga enggak punya pengalaman bahwa mereka pernah melakukan masalah dengan isu-isu kerakyatan, kita terima-terima aja gitu.

Jadi selama dia juga komitmen untuk mendorong agenda Partai Buruh, kita terima-terima aja gitu. Jadi secara kriteria enggak terlalu saklek ya. Tapi yang penting adalah ketika sudah masuk ya haruslah konsisten dengan memperjuangkan agenda Partai Buruh.

Salah satu hal yang kita lakukan adalah melakukan pendidikan, baik di tingkatan organisasi maupun di tingkatan dapil. Misal, beberapa bulan sebelumnya kita sudah melakukan pendidikan kader yang tengah menjadi calon. Tapi itu kan tentu enggak mencukupi kan? Jadi selain itu kita juga mendorong setiap kader yang menjadi calon untuk mengadakan diskusi rutin di tingkatan dapil.

Juga memastikan supaya setiap orang yang menjadi relawan yang direkrut oleh Partai Buruh memiliki pemahaman yang sama tentang isu yang mau dikampanyekan.

Setelah Rakernas, Partai Buruh mengungkapkan sejumlah nama untuk didukung dalam Pilpres 2024. Termasuk Anies, Najwa Shihab, dan lainnya. Namun, belakangan merapat ke kubu Prabowo, apakah internal sudah sepakat memutuskan merapat?

Belum, belum. Belum pernah sama sekali karena kita sesuai kesepakatan bersama ingin bikin konferensi dulu kan tentang itu. Yang ingin kita dorongpertama kali bagi saya, ya karena kebetulan kita pertama-tama harus pahami Partai Buruh ini sebagai kolektif.

Di mana banyak kepentingan di dalamnya, jadi enggak satu saja gitu. Dan saya menjadi bagian dari apa yang disebut dengan unsur komite politik nasional.

Komite politik nasional itu adalah unsur yang diorganisasikan oleh salah satu elemen pendiri Partai Buruh yaitu KPBI (Konfederasi Perjuangan Buruh Indonesia), yang mana posisinya itu hampir dekat dengan kelompok masyarakat sipil.

Kita ingin agenda kita konsisten lah dengan garis perjuangan masyarakat sipil. Jadi kalau ditanya tentang copras-capres? Enggak ada capres yang pengen kita pilih gitu kan secara posisinya komite politik nasional. Ya karena tiga-tiganya itu sudah terkena apa? Dosa-dosa politik gitu lho.

Anies ada Nasdem, Ganjar dengan PDIP, Prabowo sudah pasti gitu kan.Tapi yang juga kita harus, apa ya, akui problem politik di sekarang ini dalam Partai Buruh kan bukan cuma tentang politik masyarakat sipil, ada juga politik elektoral.

Politik elektoral ini salah satu hal yang jadi pertimbangan adalah kalau ada dukung capres, ada kemungkinan logistik masuk gitu loh.Dan buat beberapa elemen Partai Buruh, logistik ini menentukan gitu.

Banyak kita menemukan ya, calon-calon (Partai Buruh) yang enggak bisa turun bekerja hanya karena enggak ada uang bensin. Dan dengan dia memilih capres tertentu kan akhirnya bisa dipastikan bisa dapat tambahan minimal untuk bisa bekerja untuk mengorganisir dukungan.

Nah, hal yang kayak begitu jadi perdebatan sekarang. Kita mau mendorong agenda politik yang konsisten tapi kemudian mempertimbangkan sekitar chance [peluang] bisa masuk ke mana? Ke ruang parlementer atau ambil jalur yang taktis, saya enggak bilangnya ini pragmatis ya, tapi taktis yang bisa memungkinkan organisasi beroperasi lebih layak dalam mengusung dukungan.

Berarti belum ada ya nama-nama yang kira-kira mendekati ?

Sejauh ini kalau capres pasti ada ya, karena mereka juga melihat Partai Buruh secara konstituen ini ya saya bilang tadi ya ada 5 juta anggota serikat dalam Partai Buruh. Itu tentu angka yang cukup besar dibandingkan kelompok sosial yang lain gitu ya. Tentu mereka akan cawe-cawe ke Partai Buruh gitu.

Cuma buat kita di internal sendiri sih ya namanya juga partai politik ya cawe-cawe itu ya diterima saja sebagai bagian dari silaturahmi. Tapi urusan mau milih yang mana itu kan ada prosedur organisasinya yang harus dilalui.

Muhammad Ridha

Muhammad Ridha. tirto.id/Andhika

Partai Buruh menolak UU Ciptaker, namun ada peluang membuka afiliasi dengan calon-calon yang mendukung aturan ini, apakah tidak kontradiktif?

Kalau urusan itu tentu kontradiktif gitu. Tapi kalau kita bisa mendapatkan deal bahwa ketika kita mendapatkan dukungan ada revisi atau Omnibus Law itu bisa diutak-atik, tentu itu terbuka kemungkinan untuk itu.

Karena ya itu problemnya adalah ada masyarakat sipil yang memiliki agenda kritis tapi mereka enggak terorganisir dan akhirnya harus ke Partai Buruh yang elemen kritisnya juga terlalu kecil. Kita harus secara realistis melihat pertarungannya nanti.

Bagi saya sih yang terpenting adalah untuk urusan 'copras-capres' ini harus ada agenda kesejahteraan yang jelas gitu lho. Kalau mau bertemu dengan para capres dan membuat negosiasi, ada agenda kesejahteraannya apa?

Jangan dikasih cek kosong gitu, misal kalau Prabowo saya sih jelas-jelas aja, selesaikan semua isu HAM dari '65 sampai dengan ini. Karena bagi kita enggak mungkin ada negara kesejahteraan kalau kemudian nanti kita udah mau mengorganisir enggak ada kepastian bahwa pengalaman kayak pelanggaran HAM itu enggak terjadi lagi.

Jadi oke lah kita ketemu sama mereka tapi kita butuh deal yang paling substansial gitu lho. Karena enggak bisa lagi kita ambil deal cuma jadi komisaris gitu kan, jadi menteri gitu-gitu. Ya jadi menteri boleh lah, cuma kan kita pengen kalau jadi katakanlah, ya menteri tenaga kerja, kita pengen punya diskresi nih untuk bikin badan yang mana mempermudah setiap orang untuk membuat serikat.

Dan ketika mereka bikin serikat punya diskresi juga untuk mendesak perusahaan untuk segera melakukan kolektif bargaining. Itu kan sebenarnya bisa difasilitasi kan oleh negara kan? Karena mereka dikasih diskresi gitu.

Hal-hal konkret kayak begitu yang harus dibuka nanti di meja perundingan kalau kita ngomongin copras-capres itu. Jadi ya walaupun saya enggak setuju ya sama siapapun. Ntar kalau udah oke kita mau dukung tapi apa ini deal-nya? Deal politiknya apa? Kalau memang Pak Prabowo mau dukung Partai Buruh ya sudah selesaikan masalah HAM gitu.

Apakah parpol lain yang mendukung UU Ciptaker akan tergerus suaranya di area buruh?

Ini masalahnya adalah kalau urusan pemilu ini bukan cuma tentang agenda yang kedengarannya bagus ya, tapi juga benar-benar tentang organisasi di bawah gitu. Dan organisasi di bawah ini urusannya duit gitu kan, kebanyakan gitu.

Jadi pertarungan yang ada pertarungan yang bukan cuma tentang agenda tapi juga bagaimana kita bisa mengorganisasi kapasitas mesin politik kita. Nah, untuk terkait sama ketergerusan pengaruh dari partai lain, tentu kita akan mengantisipasi dengan memperkuat konsolidasi tingkatan bawah.

Perbanyak mungkin pertemuan dengan warga, perbanyak mungkin sosialisasi tentang agenda partai buruh gitu Dan juga memastikan bahwa warga-warga itu juga bukan cuma mendengar tapi juga menjadi bagian dari aktivitas kampanye.

Bayangkan suatu hari Partai Buruh sudah mencapai posisinya di parlemen atau kadernya di pilkada. Apakah kira-kira masih bisa mempertahankan komitmennya untuk membela kelas pekerja?

Ya harus lah, enggak ada artinya berkuasa itu tapi enggak bisa mendorong agenda sebagaimana yang dimauin gitu. Karena ini juga nih sekali lagi karena saya orang ilmu politik ya. Kayak saya sotoy dulu gitu ya tapi gini, sering kali di ilmu politik kan suka ada bilang tuh apa, adagium dari Lord Acton gitu ya. Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely [Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan absolut itu seratus persen korup] gitu.

Jadi orang yang berpolitik itu seakan-akan ya hati-hatilah dengan kekuasaan itu. Tapi justru saya mau bilang enggak, ketika sudah berkuasa gunakanlah kekuasaan itu secara bertanggung jawab gitu.

Dorong perubahan dengan kekuasaan itu, jadi kalau pun sudah bisa berposisi di atas ya sudah harus dibicarakan gimana caranya agenda yang sudah diperjuangkan dari awal itu bisa terialisasikan. Gunakan kekuasaan sebagai fasilitas, gunakan itu sebagai alat gitu untuk memastikan bahwa perubahan bisa didorong.

Jadi kalau imajinasi saya tentang kekuasaan nanti adalah justru memastikan bahwa kekuasaan bisa dipakai untuk didistribusikan ke warga. Agenda Partai Buruh adalah agenda kelas pekerja yang kebanyakan adalah rakyat kecil.

Kalau kita enggak bisa berdayakan rakyat dengan kekuasaan kita, di situlah mungkin Partai Buruh gagal. Tapi kalau agenda, kalau bisa Partai Buruh memberdayakan warga, mendorong warga untuk lebih politis, berpartisipasi dan akhirnya bisa men-shaping politik nasional, saya bisa bilang di situlah keberhasilan dari Partai Buruh.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Maya Saputri