Menuju konten utama

Bahaya Laten Audit Dana Parpol yang Tak Maksimal

Dana parpol yang naik berkali-kali lipat harus dibarengi dengan audit yang makin ketat. Bukan hanya berdasarkan kaidah akuntansi, tapi juga harus berdasarkan kinerja alias kualitasnya.

Bahaya Laten Audit Dana Parpol yang Tak Maksimal
Ilustrasi parpol. ANTARA/Mohammad Ayudha

tirto.id - Bantuan dana dari negara untuk partai politik dianggap belum diaudit dengan baik. Penyebabnya, sejauh ini pemeriksaan dilakukan dengan dasar pendapatan dan pengeluaran alias kaidah akuntasi saja.

Pendapat itu dikemukakan Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII) Reza Syawawi. Menurutnya, pemeriksaan bantuan keuangan tak bisa dilakukan hanya dengan cara itu. Audit juga harus berdasarkan penilaian kinerja.

"Ini [pemeriksaan kualitas penggunaan dana parpol] yang lemah sekarang. Misalnya, parpol memaksimalkan anggaran untuk pendidikan politik. Nah pendidikan apa dulu? Jangan-jangan hanya seminar saja yang tidak ada hasilnya tapi sehari habis uang ratusan juta," ujar Reza kepada Tirto, Rabu (25/7/2018).

Menurut Reza, pemeriksaan penggunaan dana parpol harusnya mulai memperhatikan aspek kualitas, terlebih setelah anggarannya dinaikkan lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik yang diundangkan pada 5 Januari 2018.

Jika sebelumnya parpol yang memiliki wakil di DPR RI mendapat bantuan Rp108 per suara sah pemilu terakhir, maka aturan yang baru memberi partai dana Rp1.000 per suara sah. Kenaikan dana bantuan juga diberikan untuk parpol yang menempatkan wakilnya di DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.

"Harusnya auditnya juga kinerja [...] Sekarang kan auditnya keuangan banget. Harusnya kalau mau progresif BPK bisa lakukan audit kinerja untuk menilai apakah pendidikan politik itu hasilnya apa kira-kira," kata Reza.

Potensi Penyimpangan

Reza berkata, sebelum dana parpol naik jumlah bantuan keuangan dari negara dan pengeluaran parpol tidak sebanding. Kecilnya nilai bantuan keuangan sebelum PP 1/2018 terbit membuat potensi penyimpangan dana parpol juga minim.

Akan tetapi, setelah dana parpol naik, ada kemungkinan penggunaan bantuan keuangan tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Peluang partai menggunakan bantuan keuangan untuk kegiatan non-pendidikan politik dan operasional sekretariat terbuka lebar.

Berdasarkan PP 1/2018, dana parpol harus diprioritaskan untuk pendidikan politik dan operasional sekretariat.

"Potensinya [penyimpangan] ada kalau dana parpol naik signifikan [...] Ke depan harusnya dengan kenaikan anggaran [dana parpol] ini harusnya jauh lebih ketat [auditnya]," ujar Reza.

Sorotan juga diberikan Reza terhadap pendapatan dan penggunaan dana yang diperoleh parpol dari pihak swasta atau individu lain. Menurutnya, masalah pada aspek bantuan keuangan dari pihak swasta atau individu jauh lebih besar.

Reza mencontohkan, hingga kini masih banyak ketidakjelasan ihwal siapa saja pihak yang memberi sumbangan dana untuk parpol. Ia menyebut masih jamak terjadi adanya aliran dana ke parpol yang tidak jelas siapa pemberi aslinya.

"Sumbangan perorangan itu identitasnya siapa, tinggal di mana? Kalau perusahaan, itu milik siapa? Biasanya itu tidak dipublikasi. Jadi potensi penerimaan yang ilegal bisa saja ada orang menyumbang dengan identitas tak jelas, atau terjadi praktik semacam cuci uang," ujar Reza.

Keterbukaan Laporan Dana Parpol

Saat ini ada 10 parpol yang berhak mendapat bantuan keuangan dari negara. Kesepuluh partai itu adalah pengirim perwakilan di DPR RI periode 2014-2019. Peraih dana parpol terbesar dari 10 partai itu adalah PDIP, dan yang terkecil diraih Hanura.

Sebelum dana parpol naik, PDIP selaku pemenang pemilu legislatif 2014 mendapat bantuan keuangan Rp2,55 miliar setiap tahun dari APBN. Sementara Hanura mendapat bantuan Rp710 juta pada periode yang sama.

Jumlah bantuan itu dipastikan meningkat hampir 10 kali lipat mulai tahun ini, sesuai perintah PP 1/2018. Kepala Seksi Informasi dan Komunikasi Parpol dari Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Andi Muh Yusuf berkata, pada 2018 pemerintah sudah menggelontorkan dana parpol sebanyak hampir Rp122 miliar.

"Jumlah itu sudah sesuai PP 1/2018. Dana bantuan parpol sudah tersalurkan langsung ke rekening parpol," kata Yusuf kepada Tirto.

Penyaluran dana parpol sesuai PP 1/2018 dilakukan setelah semua partai yang berhak menerima bantuan sudah menyerahkan hasil audit laporan keuangan mereka ke pemerintah. Kewajiban partai menyerahkan laporan penggunaan dana parpol sebelum mendapat bantuan selanjutnya tercantum di Pasal 13 PP 1/2018.

Jika partai tidak menyerahkan laporan penggunaan dana parpol, pencairan bantuan bagi mereka akan ditunda. Penundaan berlangsung hingga laporan diperiksa BPK dan diterima pemerintah.

Yusuf berkata, semua laporan penggunaan dana parpol sudah diterima Kemendagri. Hasil pemeriksaan itu juga disertai beberapa catatan dari BPK. Akan tetapi, catatan dan laporan penggunaan dana parpol itu tidak bisa diakses bebas.

Tidak ada laporan penggunaan dana parpol pada laman resmi Kemendagri serta BPK. Hasil audit dan penggunaan bantuan keuangan juga tidak ditemukan di laman resmi masing-masing parpol, kecuali Gerindra.

Mengenai tidak terbukanya data ini, Juska Meidy Enyke Sjam, Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Internasional BPK, mengatakan kalau "hasil pemeriksaan ini dilakukan di seluruh perwakilan BPK di daerah, sehingga data tersebut dapat diketahui setelah dilakukan kompilasi."

"Karena dilakukan di setiap daerah, maka tidak ada kesimpulan atas pemeriksaan atas bantuan keuangan partai politik secara keseluruhan," tambahnya dalam keterangan tertulis, Selasa (31/7/2018).

Baca juga artikel terkait PARTAI POLITIK atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino