tirto.id - Empat bulan terakhir menjadi masa sulit bagi Sri Rahayu, 26, dan warga desa di Kecamatan Kasimbar, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Sejak November lalu, sawah seluas 20 hektare milik keluarga besar Rahayu sulit digarap karena air irigasi tercemar. Air dari sungai yang menjadi andalan pertanian kini keruh, berbau, serta tak layak dipakai untuk mandi, cuci, kakus.
Air sungai tersebut mengalir dari atas bukit, yang saat ini sudah dieksploitasi oleh tambang emas PT Trio Kencana. Air sungai campuran lumpur itulah yang mengalir melintasi pemukiman warga Kasimbar. Semua terjadi hanya dalam waktu empat bulan.
“Kami mengadu ke Kepala Desa, untuk tanya dari mana air untuk sawah kami. Tapi kami malah disuruh beli air galon,” kata Ayu, panggilan akrabnya, kepada Tirto, 20 Februari lalu.
Ayu dan banyak warga lainnya tak mendapat respons apa pun dari Bupati Parigi Moutong. Sedangkan Camat Kasimbar dan beberapa Kepala Desa terang-terangan mendukung aktivitas tambang. Mereka bilang tambang bisa bikin kondisi ekonomi Parigi Moutong naik. Ayu hanya bisa merespons dengan skeptis.
“Bagaimana nasib petani? Ekonomi siapa yang mau ditingkatkan? Tambang ini buat masyarakat atau buat mereka?” kata Ayu kesal.
PT Trio Kencana adalah perusahaan tambang emas yang mendapat izin konsesi seluas 15.725 hektare yang didirikan sekira 10 tahun lalu. Selain di Kecamatan Kasimbar, lokasinya melintasi Kecamatan Toribulu dan Kecamatan Tinombo Selatan. Perusahaan yang justru berkantor di Jakarta itu mendapat izin menambang hingga 2040 mendatang, sejak terbit pada 28 Agustus 2020 lalu yang ditandatangani oleh Gubernur Sulawesi Tengah saat itu, Longki Djanggola.
Sudah melakukan eksplorasi sejak 2017 hingga 2020, 70 persen saham perusahaan itu dimiliki politikus Partai PAN, H. Surianto, yang merupakan mantan anggota DPRD sekaligus wakil ketua DPD PAN Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Ia juga tercatat menjabat Ketua Persatuan Sepak Takraw Indonesia (PSTI) Parepare serta Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Parepare, Sulawesi Selatan. Surianto juga menjabat sebagai ketua Laskar Merah Putih Parepare.
Sementara 30 persen sisanya dimiliki oleh pengusaha lokal bernama Goan Umbas yang juga anggota Dewan Penasihat Daerah Partai Gerindra Sulawesi Tengah. Selain dua nama itu, ada nama Hi. Syahrussiam Abdul Mujib sebagai Direktur Utama dan Rendy Umbas sebagai Direktur.
Dari catatan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) izin operasi produksi itu tertuang dalam surat keputusan operasi produksi bernomor 540/426/IUP-OP/DPMPTSP/2020. JATAM menduga penerbitan izin operasi produksi tersebut penuh dengan politik transaksional, sebab diduga ada kedekatan antara Longki dan Goan, yang sama-sama duduk di Partai Gerindra.
JATAM juga menuding Gubernur Sulawesi Tengah saat ini, Rusdy Mastura, tak pernah berpihak pada perjuangan warga dalam menolak ekspansi perusahaan tambang. JATAM mencatat, Rusdy kerap melontarkan pernyataan yang terang-terangan mendukung sektor pertambangan sejak kampanye pilgub 2020.
“Pengelolaan tambang emas adalah salah satu strategi yang paling cepat untuk meningkatkan pendapatan,” kata Rusdy, sebagaimana dikutip JATAM dalam rilis persnya. “Kalau semua itu dikelola dengan baik bagi hasil dengan investor, anggaran 100 miliar itu kacang-kacang (mudah). Tapi bertahap mana yang prioritas."
Sementara itu Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Tengah, Sunardi Katili, menduga dari total konsesi yang didapat PT Trio Kencana, 83 persen wilayahnya termasuk perkebunan, persawahan, dan permukiman warga, termasuk sungai yang menjadi sumber penghidupan.
Menggalang Aksi Massa
Aksi massa pertama menolak PT Trio Kencana terjadi pada 17 Januari, ketika 250-an demonstran dari Aliansi Rakyat Tani (ARTI) Kasimbar, memblokade jalan Trans Sulawesi. Saat itu aksi berlangsung damai kendati menyebabkan kemacetan lalu lintas. Massa membubarkan diri setelah terjadi negosiasi dengan pihak kepolisian.
Merasa aspirasinya tak didengarkan, para petani kembali menggelar aksi damai di Tugu Khatulistiwa di Jalan Trans Sulawesi, Kecamatan Tinombo Selatan—hanya 30 menit dari desa Ayu, pada 7 Februari lalu. Mereka menuntut Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura untuk datang dan mendengarkan mereka. Polisi memperkirakan jumlah massa mencapai 300 orang.
Tuntutan hari itu tidak terpenuhi, sebab hanya salah seorang staf Rusdy, Ridha Saleh, yang datang. Di depan ratusan warga, ia langsung menelepon Rusdy. Sang Gubernur berjanji akan datang ke warga paling lambat hari Minggu, 13 Februari. Namun, belakangan politikus Partai Nasdem tersebut berjanji dirinya akan datang pada Sabtu, 12 Februari, sebelum kunjungannya ke Poso.
Mendengar janji seperti itu, massa aksi yang datang ke Tugu Khatulistiwa pada 12 Februari justru lebih banyak. Ayu menduga jumlahnya mencapai ribuan orang. Massa aksi yang hadir tak terkecuali para perempuan dan anak-anak. Bahkan, para ibu sampai membikin nasi tumpeng untuk melakukan aksi damai tersebut sembari merayakan ulang tahun Gubernur Rusdy pada 8 Februari lalu.
Semua warga tergabung dari tiga kecamatan yang terdampak tambang emas itu: Toribulu, Kasimbar, dan Tinombo Selatan. Massa aksi dari tiga kecamatan diberikan pita dengan warna berbeda—putih untuk Toribulu, merah putih untuk Kasimbar, dan kuning untuk Tinombo Selatan, guna mencegah adanya aktor penyusup.
Pagi itu, aksi hanya dijaga oleh pihak kepolisian di level Polsek Tinombo Selatan. Warga meminta aparat untuk menghubungi Gubernur Rusdy dan menagih janji untuk datang. Massa aksi mengultimatum, jika hingga jam 12.00 WITA tak ada kabar dari Gubernur Rusdy maupun stafnya, Jalan Trans Sulawesi akan diblokade—salah satu jalan utama nasional Pulau Sulawesi.
Hingga akhirnya pihak Polres Parigi Moutong mendatangi massa aksi pada pukul 17.00 WITA, meminta mereka membubarkan diri sembari mengancam. Ayu bercerita, polisi mengancam jika ada warga yang meninggal atau infrastruktur rusak karena blokade jalan, semua akan dituntut dan dipenjarakan.
“Kami enggak akan blokade jalan kalau Gubernur datang sejak awal tepati janji,” kata Ayu, mengulang ucapan massa hari itu. “Polisi kasih waktu 10 menit, jika tidak mereka akan mengambil tindakan, entah tindakan apa yang dimaksud.”
Mulai Tak Kondusif
Keadaan berangsur mencekam saat siang berganti gelap. Pukul 18.30 WITA, mulai beredar informasi bahwa akan ada pembubaran paksa yang langsung diperintahkan oleh Gubernur. Informasi yang entah dari mana datangnya tersebut bikin massa aksi panik. Hingga pukul 21.00 WITA, sebagian ibu-ibu dan anak-anak memilih membubarkan diri dan beristirahat di rumah-rumah warga sekitar tugu. Sedangkan sisanya masih bertahan, termasuk Ayu.
“Kami tetap aksi. Mereka [polisi] enggak mungkin melukai dan menyakiti kami. Kami hanya menuntut janji Gubernur. Niat kami dari awal memang aksi damai,” kata Ayu.
Namun, sekira pukul 22.00 WITA, Ayu memilih beristirahat di rumah sepupunya yang berjarak kurang lebih dua kilometer dari Tugu Khatulistiwa. Keputusan tersebut diambil sebab anaknya yang masih berumur dua tahun sudah kelelahan. Suaminya pun meminta Ayu untuk istirahat.
“Saat itu saya melihat ada 10 truk Brimob yang baru datang. Semua pakaian hitam-hitam,” kata Ayu.
Ketika jarum jam beringsut ke angka 23.00 WITA, Ayu mendapat kabar bahwa bentrokan di Tugu Khatulistiwa pecah. Gas air mata mulai ditembakkan ke barisan massa aksi. Banyak warga yang rumahnya di sekitar tugu merasakan perihnya mata dan hidung mereka.
Setelah pembubaran massa menggunakan gas air mata, polisi mulai menyisir perkampungan warga hingga radius puluhan meter. Mereka berusaha mengejar dan menangkap warga. Aparat mendobrak, masuk paksa ke rumah warga, hingga menyeret asal para warga.
“Sampai masuk-masuk ke rumah warga, seperti memburu teroris,” kata Ketua Solidaritas Perempuan (SP) Palu, Ruwaida, menambahkan. “Sehingga ada perempuan, ada anak di dalam rumah. Ini menyisakan trauma ketika melihat polisi.”
Tak hanya sampai di situ, polisi bahkan juga menyisir hingga ke masjid di dekat Tugu Khatulistiwa. Banyak mobil dan motor massa aksi yang diparkir di masjid, ikut hancur dan ditembak bannya oleh polisi.
“Pembubaran ini brutal sekali, [warga] diburu seperti teroris,” tambah Nurlaela Lamasitudju, Sekretaris Jenderal Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Palu.
Akhirnya, Ayu baru bisa pulang ke rumahnya pada pukul 01.00 WITA, Minggu 13 Februari. Dan saat itu, polisi sudah menangkap 59 orang warga—tujuh di antaranya adalah tetangga Ayu di Kecamatan Kasimbar.
Tersiar kabar salah seorang demonstran tewas tertembak. Malam terasa semakin mencekam.
Peluru Tajam Menembus Tubuh Erfaldi
Satu orang yang diketahui tewas adalah Erfaldi, pemuda asal Desa Tada, Kecamatan Tinombo Selatan, berumur 21 tahun. Erfaldi adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Badannya tinggi besar. Erfaldi datang dari keluarga yang secara ekonomi kurang. Keluarganya berharap besar dari Erfaldi. Ibunya pengin dia menjadi tulang punggung keluarga.
Menurut keterangan Erfina, kakak Erfaldi, ia pamit pergi dari rumah sekira pukul 21:00 WITA. Erfaldi pergi menggunakan sepeda motor bersama temannya untuk menonton demonstrasi. Beberapa tetangganya juga turut pergi menonton. Jarak rumahnya ke lokasi cukup dekat, sekira 15 menit. Mereka tak menyangka jika demonstrasi akan berakhir dengan bentrokan. Sebab seperti yang sudah-sudah, aksi massa selalu berakhir dengan tertib.
Erfaldi, menurut Erfina, tidak aktif secara politik. Sehari-hari dia bekerja di sebuah bengkel milik pamannya. Aldi, panggilan akrabnya, lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Ia juga tak pernah terlibat demonstrasi atau aktivisme. Ia bahkan tak terlalu paham soal konflik tambang emas. Pendeknya, hari itu adalah demonstrasi pertama yang pernah didatangi sepanjang hidup Erfaldi.
Erfina terakhir kali menghubungi Erfaldi sekira pukul 23:30 WITA, untuk menyuruhnya pulang. Erfaldi juga sempat mengirimkan video demonstrasi kepada Erfina.
"Iya tunggu. Selesai ini," balas Erfaldi, seperti ditirukan Erfina.
Sekira pukul 00:00 WITA, keluarganya tersentak kaget ketika mendapat kabar bahwa Erfaldi tertembak dan telah dibawa ke Puskesmas.
"Begitu mendengar kabar kami langsung menuju ke sana," kata Erfina kepada Tirto. "Sampai di sana sudah banyak yang melihat [jenazah Erfaldi]."
Menurut Dedi Askary, Ketua Komnas HAM perwakilan Sulawesi Tengah yang turut menyelidiki kasus penembakan tersebut, situasi di sekitar lokasi demonstrasi berubah kaos dengan cepat menjelang tengah malam. Di saat-saat itulah, sejurus kemudian, Erfaldi tersungkur ke aspal. Wajahnya memar akibat menghantam aspal. Tubuhnya bersimbah darah. Ada lubang menganga di punggung sebelah kirinya. Semua terjadi begitu cepat. Tak ada yang melihat apa yang terjadi.
Tak lama kemudian seorang kerabat yang melihat membawa tubuh Erfaldi yang terkulai ke Puskesmas Desa Tada dengan sepeda motor sekira pukul 00:30 WITA. Jaraknya sekira 6 km dari lokasi kejadian. Dari pernyataan dokter yang menangani Erfaldi, ia tewas sebelum sampai ke Puskesmas.
“Erfaldi meninggal karena peluru tajam dari aparat yang mengenai bagian belakang sebelah kiri tembus di bagian dada,” sebut Dedi dalam keterangannya. “Ini terlihat dari kondisi luka saat dilakukan visum dan mengangkat proyektil yang tersisa dan hinggap di bagian tubuh korban.”
Menurut kepolisian, ada 20 senjata api milik personel polisi dan 60 butir amunisi yang disita untuk uji balistik. Sementara kepolisian telah menaikkan kasus tersebut ke dalam tahap penyidikan.
Sementara itu Kabid Humas Polda Sulawesi Tengah Kombes Didik Supranoto mengatakan massa tak mengindahkan imbauan polisi untuk tidak memblokir jalan. Menurut polisi, kemacetan pada pukul 22:00 WITA sudah mencapai 7 km baik dari arah Gorontalo maupun Sulawesi Tengah.
“Pada pukul 22:30 WITA, polisi mulai melakukan penindakan untuk membuka blokade jalan. Namun massa menolak dan melakukan perlawanan, sehingga terjadi bentrokan,” kata Didik, sembari mengatakan blokade jalan baru bisa dibuka pada pukul 00:30 WITA.
Didik mengklaim kepolisian telah memberikan arahan kepada personelnya agar tidak ada yang membawa maupun menggunakan senjata api. Ia mengatakan pihaknya baru mengetahui ada korban tewas keesokan harinya setelah mendapat informasi dan melakukan pengecekan ke Puskesmas.
“Sekarang Propam telah melakukan pemeriksaan terhadap anggota Polri yg diduga menyalahi SOP pengamanan dan mengumpulkan senpi pendek untuk dilakukan pencocokan dengan proyektil yg ditemukan,” kata Didik.
Infografik HL Indepth Parigi Moutong Berdarah. tirto.id/Fuad
Perburuan Berlanjut
Minggu pagi, 13 Februari, 59 orang yang ditahan sejak malam sebelumnya akhirnya dibebaskan. Namun, hampir semuanya keluar dalam keadaan babak belur. Ada dugaan kuat para warga yang ditahan mendapat praktik kekerasan oleh pihak kepolisian.
“Ada temannya adik saya, pulang mukanya bonyok,” kata Ayu.
Sunardi Katili dari WALHI juga membenarkan dugaan itu. Praktik kekerasan yang dilakukan oleh polisi sangat mungkin terjadi, apalagi mengingat penyisiran dan penangkapan yang terjadi sebelumnya terkesan brutal.
“Ada satu orang yang ikut ditahan ternyata adalah orang dalam gangguan jiwa (ODGJ). Saya juga kaget. Kemungkinan besar salah tangkap. Padahal itu orang kurang waras. Mungkin ikut ramai-ramai saat aksi, jadi polisi main angkut saja,” katanya.
Selama sepekan setelah aksi berujung bentrok di Tugu Khatulistiwa itu, pihak kepolisian rutin berkeliling ke tiga kecamatan tersebut untuk mencari para koordinator lapangan (korlap) aksi dari tiap kecamatan. Kata Ayu, ancaman dari aparat masih berlangsung, intel masih berkeliaran.
“Bahkan ada seorang petinggi polisi yang cari korlap ke desa saya, dia bilang, jika ketemu, mau diinjak batang lehernya,” kata Ayu kepada kami dengan suara sedih.
Apa yang dilakukan oleh polisi setidaknya senada dengan permintaan Gubernur Rusdy. Satu hari setelah aksi besar itu, ia meminta semua korlap ditangkap oleh polisi.
“Ancaman itu jadi keresahan warga. Tolong korlap dilindungi. Jangan disakiti korlap. Cukup Aldi yang dimatikan. Korlap berjuang untuk kami,” kata Ayu.
Ayu justru meminta Gubernur Rusdy untuk fokus mencari siapa pelaku penembakan Aldi. Menurut Ayu, tidak seharusnya ada warga yang mencari keadilan namun malah dibunuh oleh aparatnya sendiri.
“Kami tidak bisa tidur nyenyak. Kami gelisah tindakan aparat. Kami kecewa dengan aparat. Kami hanya menuntut keadilan. Ke mana Gubernur? Yang dihadirkan hanya polisi. Yang dihadirkan hanya oknum yang membunuh kami. Membunuh kami secara mental dan fisik,” katanya
Ia juga mendesak agar Gubernur Rusdy untuk mencabut izin usaha pertambangan (IUP) PT Trio Kencana karena dianggap akan mengancam lingkungan dan anak cucu warga di tiga kecamatan tersebut.
“Apa yang bisa kami titipkan ke anak cucu kami apabila pertanian di sini sudah rusak, sedangkan aset pertanian untuk mendukung Parigi Moutong?”
Mengapa Peluru Tajam Kembali Ditembakkan?
Sepeninggal Erfaldi, jajaran Polda Sulawesi Tengah dan Mabes Polri sempat mendatangi rumah keluarganya untuk menyampaikan bela sungkawa. Erfina mengatakan polisi akan menyelidiki kasus penembakan tersebut. Namun saat diwawancara, Erfina mengatakan belum mendapat perkembangan kasus tersebut.
"Janjinya secepatnya dicari pelakunya," kata Erfina.
Apa yang terjadi dengan Erfaldi sebenarnya dialami oleh salah satu korban kerusuhan di Bawaslu RI saat protes hasil Pilpres 2019 lalu. Protes berujung kerusuhan selama dua hari tersebut, 21-22 Mei 2019, tak hanya terjadi di Jakarta, namun juga beberapa kota besar lainnya. Setidaknya, ada 10 orang warga sipil yang tewas diterjang peluru tajam oleh pihak yang tak dikenal. Sembilan di antaranya berada di Jakarta, sedangkan satu orang di Pontianak.
Redaksi Tirto kala itu melakukan investigasi dengan menelusuri perjalanan tiga dari sembilan orang korban di Jakarta, mulai berangkat dari rumah hingga bagaimana akhirnya tertembak di lokasi. Mereka adalah Sandro, Adam Nooryan, dan Muhammad Reza.
Upaya menginvestigasi korban-korban dilakukan setelah Mabes Polri tak kunjung membuka hasil penyelidikan kematian sepuluh orang tersebut. Mereka mengklaim tak pernah menggunakan peluru tajam saat menangani massa aksi demo Bawaslu 2019.
Sama seperti Erfaldi, Sandro juga merupakan korban tembak salah sasaran. Ia bukan peserta demo protes ke Bawaslu RI. Wartawan Tirto menemukan fakta bahwa Sandro hanya seorang pedagang kain asal Jambi, yang saat peristiwa ditembak ingin membuka tokonya di Tanah Abang—yang jaraknya tak jauh dari kerusuhan Bawaslu RI. Penuturan istrinya, sang suami tak punya hasrat aspirasi politik apapun soal Pilpres 2019, sehingga tak mungkin ikut demo.
Hingga satu tahun setelahnya, nasib 10 orang yang tewas akibat peluru tajam tak jelas rimbanya karena polisi tak pernah merilis kasus tersebut. Publik tak pernah tahu bagaimana 10 orang itu bisa mati di hari-hari rusuh itu.
Pada 26 September 2019, mahasiswa bernama Himawan Randi dari Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara tewas ditembak polisi saat aksi Reformasi Dikorupsi di DPRD Sulawesi Tenggara. Brigadir Abdul Malik, divonis empat tahun penjara karena terbukti menembak Randi hingga tewas. Abdul mengatakan telah mendapat perintah untuk tidak membawa senjata api, namun dirinya lupa mengembalikan senjata api tersebut ke markas.
Komisioner Kompolnas Poengky Indarti menyesalkan jatuhnya korban jiwa dalam pengamanan demonstrasi. Kompolnas katanya mendesak pemeriksaan yang profesional, transparan, dan akuntabel terhadap kasus penembakan demonstran.
Poengky mengatakan penggunaan kekuatan dari anggota kepolisian termasuk diantaranya penggunaan senjata api sudah diatur dalam Perkap No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan. Selain itu penggunaan senjata api juga harus memenuhi aturan Perkap No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Oleh karena itu terkait adanya seorang warga yang meninggal dunia diduga akibat senjata api petugas saat unjuk rasa menolak tambang, harus diperiksa secara tuntas oleh Propam dan Reskrim. Perlu dilihat apakah penggunaan senjata api tersebut legal, proporsional, dan akuntabel? Apakah ada hal-hal yang membahayakan polisi dan masyarakat sehingga polisi perlu melepaskan tembakan?” tutur Poengky.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Imam Santoso mengatakan dalam sebuah demonstrasi seharusnya ada assessment dari personel kepolisian terkait situasi. Jika sebuah demonstrasi itu berpotensi menimbulkan kerusakan atau kematian kepada masyarakat atau polisi, mereka tidak boleh langsung menggunakan senjata api.
"Ada urut-urutannya," kata Sugeng. "Di sini kita bisa lihat kejadian di Parigi Moutong itu seperti apa. Di lapangan itu mereka sedang berdemo. Nah, berdemo menggunakan senjata tajam atau tidak? kalau tidak menggunakan senjata tajam maka meringkus, membanting boleh jika dia melawan. Kalau saya lihat terjadi pelanggaran prosedur. Bagaimana urutan perintah komando di lapangan, komandan peleton, komandan kompi, apakah ada arahan kepada anggotanya. Atau arahan dari pimpinan satuan wilayah seperti polres, polsek atau kasat Dalmas atau Kasatsabhara."
Usai kasus bentrokan dan penembakan tersebut, gabungan organisasi masyarakat membentuk Aliansi Rakyat Bersatu (ARB) Sulteng untuk mengadvokasi bantuan hukum dan psikosisial untuk para warga di tiga kecamatan itu.
Kata Sunardi, yang juga merupakan Koordinator ARB Sulteng, pihaknya sedang melindungi seorang korlap dan empat orang saksi penembakan Aldi. Ia menduga ada upaya kriminalisasi yang sedang dilakukan kepolisian kepada mereka.
“Pasalnya bisa macam-macam. Pidana, penghasutan, perusakan, dan lain-lain,” katanya.
Tak hanya itu, menurut Ruwaida, ARB Sulteng juga sedang mengupayakan program bantuan psikososial untuk para perempuan dan anak dari tiga kecamatan, termasuk yang di sekitar Tugu Khatulistiwa. Pasalnya, bentrokan malam itu bikin banyak warga trauma. Malah ia khawatir mengingat polisi yang melakukan program psikososial itu.
Nurlaela dari SKP-HAM mengatakan trauma dan beban psikologis terlalu berat untuk ditanggung keluarga Erfaldi. Bapaknya mulai depresi. Enggan makan dan tekanan darahnya naik. Kata Nurlaela, jika Pemerintah ingin memberi bantuan psikososial kepada keluarga korban dan warga yang trauma, seharusnya yang melakukan bukan dari pihak kepolisian, melainkan dari lembaga yang lebih kredibel untuk menangani trauma.
“Kadang hal-hal seperti itu tidak diperhatikan Pemerintah,” kata Nurlaela. “Apalagi upaya psikososial dilakukan oleh polisi. Mereka pelaku, mereka juga yang hibur. Aneh.”
Penulis: Adi Renaldi & Haris Prabowo
Editor: Adi Renaldi