tirto.id - Juru bicara Pasukan Demokratik Suriah (SDF) di Twitter pada 23 Maret 2019 mengumumkan bahwa ISIS dinyatakan kalah total setelah wilayah terakhir mereka di Baghouz, Suriah berhasil direbut.
Berita kekalahan ISIS sudah tersiar sejak Januari 2019 ketika SDF mengumumkan kantong terakhir ISIS di Baghouz tinggal seukuran 15 kilometer persegi. Bahkan di Irak, ISIS sudah mengalami kekalahan besar sejak 2017.
Pada awal berkuasa, daerah kekuasaan mereka mencapai 282.485 kilometer persegi, serupa luas negara Inggris Raya atau dua kali luas Pulau Jawa. Ada sekitar 12 juta orang hidup di bawah pendudukan ISIS. Kecepatan ISIS menguasai wilayah luas itu diperoleh saat kedua negara dilanda konflik, terutama di Suriah.
Meski ISIS berubah drastis dari 2014, mengalahkan ISIS bukanlah perkara mudah. Pembebasan wilayah-wilayah ISIS di Irak dan Suriah membutuhkan waktu empat kali lebih lama ketimbang saat sekutu menyingkirkan Nazi dalam peperangan front Eropa Barat pada Perang Dunia Kedua.
Butuh dua pasukan nasional dari Irak dan Suriah, ribuan kelompok milisi, dan koalisi pasukan internasional lebih dari 80 negara untuk merebut kembali wilayah ISIS sejengkal demi sejengkal.
Para Penggebuk ISIS
Kelompok milisi yang muncul karena kebrutalan ISIS datang dari minoritas agama, etnis dan politik yang berselisih. Beberapa dari mereka tak jarang membikin koalisi longgar, dari sebelumnya saling berselisih, jadi bahu membahu dalam memerangi ISIS.
Di Irak, selain tentara nasional, Pasukan Mobilisasi Populer (PMF) yang mayoritas diisi oleh penganut Syiah memainkan peran penting dalam pertempuran melawan ISIS. Menurut data CIA World Factbook, dari 95 hingga 98 persen Muslim di Irak, 64 sampai 69 persennya adalah Syiah.
PMF dibentuk atas restu pemerintah Irak pada 15 Juni 2014 menindaklanjuti seruan ulama Syiah terkemuka Ali al-Sistani yang menyerukan jihad membela kota-kota Irak. Anggotanya banyak dari sipil sukarelawan. Dalam kondisi darurat melawan keberingasan ISIS, PMF juga diisi oleh relawan Kristen Irak, Sunni, dan Syiah Turkmen. Diperkirakan jumlah anggota mereka berkisar antara 60 ribu sampai 140 ribu orang. Saat tentara nasional Irak kewalahan menghadapi ISIS di medan tempur, PMF justru dianggap mampu merusak keunggulan ISIS di tingkat perang gerilya dan psikologis.
Tentara Irak juga dibantu oleh Peshmerga, kelompok militer dari wilayah regional Irak Kurdistan yang bermarkas di Erbil. Jika PMF dibentuk saat kemunculan ISIS, Peshmerga sudah ada sejak kejatuhan Kekhalifahan Utsmaniyah pada 1922 dan makin menguatnya gerakan nasionalis Kurdi Irak.
Jumlah pasukan Peshmerga pada Oktober 2015 sekitar 190 ribu sampai 250 ribu orang. Sebelum bersekutu, Peshmerga kerap berselisih dengan pemerintah Baghdad. Di era Saddam Hussein, etnis Kurdi Irak mengalami penganiayaan hebat, Arabisasi, dan genosida.
Orang Asyur di Irak yang mayoritas memeluk Kekristenan tak mau kalah. Setelah wilayah mereka di tanah Niniveh jatuh ke tangan ISIS dan memaksa 30 ribu warga mengungsi, sebagian dari mereka membentuk milisi bernama Dwekh Nawsha. Pada Oktober 2014, personel Dwekh Nawsha berjumlah sekitar 100 orang laki-laki, ditambah 200 personel sukarelawan asing yang berasal dari AS, Kanada, Inggris, juga Australia. Beberapa petempur asing wanita juga dilaporkan bergabung dengan Dwekh Nawsha. Pada November 2014, milisi tersebut berhasil merebut kembali desa Baqofah, Irak utara yang dihuni Kristen Asyur.
Orang-orang Asyur di Suriah diperkirakan berjumlah 400 ribu jiwa dan paling banyak bermukim di Al-Hasakah, Qamishli, Malikiya, dan Aleppo. Sedangkan pemeluk Kristen di Suriah adalah salah satu komunitas Kristen tertua di dunia. Beberapa orang Kristen di Suriah masih dapat berbicara dalam bahasa Aram di zaman Yesus. Ketika desa-desa mereka disambangi ISIS, persekusi dan pembantaian terhadap minoritas Asyur Kristen dimulai.
Perang Sipil Suriah yang meletus pada 2011 membikin sejumlah orang Asyur membentuk milisi bernama Dewan Militer Suriah pada Januari 2013. Milisi Kristen ini adalah sayap militer Dewan Nasional Mesopotamia (MUB). Orang-prang Asyur mempersenjatai diri dalam upaya melindungi identitas etnis dan agama mereka di tengah kekacauan perang, termasuk saat kemunculan ISIS yang menyerang mereka.
Di medan tempur, MFS berkali-kali baku tembak melawan ISIS seperti pada Juni 2014 di di sepanjang perbatasan Suriah-Irak. Saat akhir Februari 2015 ISIS menyerang kampung-kampung Kristen di lembah Khabur dan ratusan warga ditangkap, MFS turun tangan memberi perlawanan sengit.
MFS juga punya cabang militer khusus wanita bernama Pasukan Perlindungan Wanita Bethnahrain (HSNB). HSNB didirikan pada Desember 2015. Mereka terlibat dalam pertempuran Raqqa melawan ISIS bersama dengan, MFS, Pasukan Demokratik Suriah (SDF) dan milisi-milisi lainnya pada November 2016.
Milisi Asyur Kristen lainnya adalah Nattoreh dan Khabur Guard. Keduanya terafiliasi dengan Partai Demokratik Asyur yang memperjuangkan penetuan nasib sendiri bagi bangsa Asyur. Beberapa sumber menyebut, Nattoreh terbentuk pada Oktober 2011 dengan kekuatan 100 sampai 200 petempur. Sedangkan Khabur Guard di akhir 2015 berkoalisi dengan YPG. Kedua kelompok ini terkonsentrasi di daerah Tal Tamer dan desa-desa dekat Sungai Khabur. Beberapa ditemukan berjaga-jaga di gereja-gereja dekat Hassaka, Malkiye (Dereik), dan Qamishli.
Lalu ada pula Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) yang terbentuk sejak 2004. Mereka melindungi daerah otonomi Kurdi di Suriah utara (Rojava) dan kerap membantu milisi-milisi lain melawan ISIS bersama para relawan asing (Prancis, AS, Inggris, Jepang, Aljazair, Cina). Saat pertempuran Kobani (5 September 2014 – 15 Maret 2015), YPG, Angkatan Udara AS, bersama koalisi milisi Kurdi lainnya termasuk sayap militer khusus wanita Unit Perlindungan Perempuan (YPJ) memenangkan pertempuran.
Dari pertempuran Kobani yang melibatkan banyak koalisi itu, terbentuklah Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang menjadi rumah besar bagi milisi-milisi perlawanan ISIS dari Kurdi, Asyur, Turkmen Suriah, dan suku-suku Arab lainnya. Didirikan pada 2015, SDF yang didominasi YPG mengatakan sedang berjuang untuk membangun Suriah yang demokratis dan federal di sepanjang garis wilayah Rojava di utara.
Bedir Mulla Rashid dalam "Military and Security Structures of the Autonomous Administration in Syria” (2018, PDF) menulis bahwa milisi-milisi koalisi SDF terdiri dari YPG, YPJ, Sotooro, MFS, Sanadeed Army, Raqqa Revolutionary Front, Northern Sun Brigades, Jazeera Brigades, Freedom Brigade, 99th Infantry Brigade, Hussam Awak, dan Dewan Militer Manbij yang menaungi beberapa milisi-milisi lainnya. Kekuatannya sekitar 60 ribu sampai 75 ribu petempur.
Koalisi SDF yang didukung Angkatan Udara AS dan negara-negara Barat itu berperan penting dalam merebut Raqqa dari ISIS pada Oktober 2017. ISIS menjadikan Raqqa sebagai ibu kota kekhalifahan sejak berhasil menguasainya pada medio 2013. Terebutnya Raqqa jadi kehilangan besar bagi ISIS karena kepemimpinan telah rontok, administrasi kekhalifahan otomatis tak efektif, kamp pelatihan hilang, dan aliran propaganda ISIS jadi surut.
Masa Depan Milisi
Bagaimana masa depan milisi-milisi tersebut setelah ISIS dinyatakan kalah total?
Tentara nasional Irak mengeluarkan peraturan yang memungkinkan milisi PMF menjadi bagian dari mereka. Kelompok militer lain yang sudah mapan seperti YPG dan YPJ jelas tetap mempertahankan eksistensi mereka sebagai tulang punggung militer di wilayah otonom Rojava. Mereka tampaknya masih terus menjalin hubungan dekat dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang diperangi pemerintah Turki. Sama halnya seperti YPG, Peshmerga akan tetap eksis menjadi pasukan penjaga Kurdistan Irak.
Dalam perkembangannya, SDF yang utamanya berfokus memerangi ISIS terlibat baku hantam dengan pasukan pro-pemerintah Suriah. Misalnya dalam pertempuran Khasham yang berlangsung dua hari pada Februari 2018. SDF yang dibentuk dua minggu setelah Rusia mengintervensi Suriah pada September 2015 melakukan serangan udara dan artileri besar-besaran terhadap pasukan pro-pemerintah Suriah, termasuk menyasar tentara bayaran dari Rusia.
Setidaknya ada tiga perusahaan militer swasta Rusia yang beroperasi di Suriah, Slavonic Corps, Turan Group, Wagner Group. Keberadaan Rusia di Suriah untuk mendukung pemerintahan Assad. Selain melawan milisi-milisi anti-pemerintah, para tentara bayaran Rusia juga menggebuk ISIS.
Layaknya kemunculan milisi-milisi spontan dalam palagan di Irak dan Suriah, di antara milisi kadang terlibat perselisihan. Dan, bisa saja setelah ISIS kalah, para milisi ini akan berperang satu sama lain karena sudah sama-sama kehilangan musuh bersama.
Editor: Nuran Wibisono