tirto.id -
Memasuki November, giliran fase pemilihan dewan daerah berlangsung. Damaskus menentang.
“Ini pertama kalinya saya memilih,” kata Mohamad Murad Khalil, pria kepala enam yang bersama puluhan ribu warga Kurdi Suriah lainnya menolak kewarganegaraan dari pemerintah Assad.
Karena selama ini hidup tanpa status kewarganegaraan, hak-hak sipil Khalil tak terlindungi. Ia berharap nasibnya berubah melalui pemilihan umum.
“Kami punya kekuatan, kemauan, pasukan. Puji Tuhan, YPG dan YPJ,” tuturnya kepada Aljazeera. YPJ sendiri adalah milisi perempuan Kurdi yang berafiliasi dengan YPG.
Baca juga:Setelah Catalunya, Kini Basque Ingin Merdeka
Arond Lund, pakar Suriah dari Century Foundation, mengatakan bahwa sejauh ini tidak ada ancaman nyata yang dihadapi warga Kurdi selama pemilu berlangsung.
“Mereka telah membangun institusi dan tidak ada yang bisa menghentikan langkah mereka ke depan,” jelas Lund. Menurutnya, tantangan sejati bagi orang-orang Kurdi yang ingin independen ini adalah membangun ekonomi yang berfungsi.
Wilayah timur Suriah yang dikontrol Kurdi kaya akan sumber daya alam seperti minyak dan pertanian. Namun untuk urusan keuangan, infrastruktur dan akses ke dunia luar, Kurdi diperkirakan akan tetap bergantung pada Damaskus.
Plot Kebangkitan Kurdistan Suriah
Pada 7 Oktober 2011, pemimpin Kurdi Mashaal Tammo ditembak mati di apartemennya oleh sekelompok orang bertopeng yang dipercaya sebagai agen suruhan pemerintah Suriah. Peristiwa ini memicu kemarahan besar rakyat Kurdi di Suriah.
"Pembunuhan ayah saya adalah sekrup di peti mati rezim. Mereka melakukan kesalahan besar dengan membunuh ayah saya," kata Fares, putra Tammo, seperti dikutip The Telegraph.
Terlebih saat prosesi pemakaman Tammo di kota Qamishli, para pasukan keamanan Suriah masih menembaki kerumunan 50.000 orang dan menewaskan lima di antaranya.
Sejak itu, aksi-aksi demonstrasi Kurdi berjalan seiring para pemberontak di Suriah yang berujung pada meletusnya Perang Sipil Suriah sejak 2011. Perang itu makin melonggarkan kendali pemerintah Suriah atas wilayah Kurdistan di utara, dan memungkinkan elemen Kurdi leluasa membentuk daerah otonom.
Tepatnya ketika Partai Persatuan Demokratik Kurdi (PYD) dan Dewan Nasional Kurdi (KNC) menandatangani sebuah kesepakatan kerja sama pada 12 Juli 2012 yang melahirkan Komite Tertinggi Kurdi sebagai badan pemerintahan semua orang Kurdi di Suriah.
Di bawah administrasi Komite Tertinggi Kurdi, sebuah kelompok milisi bersenjata dibentuk. Unit Perlindungan Rakyat (YPG), nama milisi tersebut, tidak butuh waktu lama untuk merebut kota Kobane pada 19 Juli 2012. Dua hari kemudian, YPG merebut kota Amude dan Efrin.
Peran Komite Tertinggi Kurdi tahun 2013 mulai lapuk ketika PYD memilih berpisah dari KNC dan memilih jalan untuk menciptakan masyarakat dan pemerintahan multietnik yang progresif. PYD kemudian membentuk koalisi bernama Gerakan untuk Masyarakat Demokratik (TEV-DEM) yang tidak lagi berlandaskan etnisitas.
Pada 9 Januari 2014, tiga kanton atau wilayah yaitu Afrin, Jazira, dan Kobani mengumumkan konstitusi dan daerah otonomi sendiri bernama Rojava. Ketika wilayah Kobane mulai disatroni ISIS pada September 2014, pasukan YPG bersama beberapa milisi lainnya dan para sukarelawan internasional segera angkat senjata menggempur organisasi teroris itu.
Baca juga:Mengapa ISIS Keranjingan Menghancurkan Masjid?
Pemerintahan de facto Rojava kemudian menyatakan pembentukan sistem pemerintahan federal bernama Federasi Demokratik Rojava-Suriah Utara pada 17 Maret 2016. Tentu saja deklarasi ini dianggap sepihak dan tidak direstui oleh pemerintah Suriah yang segera mengecam tindakan kelompok Kurdi.
"Menciptakan sebuah serikat atau sistem federal ... bertentangan dengan konstitusi Suriah dan semua konsep nasional dan resolusi internasional," demikian pernyataan tersebut dilansir Aljazeera.
Meski demikian, koalisi Pasukan Demokratik Suriah (SDF)—yang dibentuk untuk memerangi ISIS dan di dalamnya juga tergabung YPG—mengatakan hal yang lain. Taj Kordsh, selaku juru bicara SDF menyatakan bahwa orang Kurdi ditolak dan dibungkam dalam perundingan damai di Jenewa.
“Kami merasa telah dimanfaatkan kekuatan-kekuatan besar dunia demi mendorong agenda mereka. Sekarang hak kami untuk melindungi diri sendiri. Kami tidak mendukung perpecahan Suriah, namun kami mengharapkan hasil yang setara dan adil dari perundingan damai, dan kami belum melihat apapun sejauh ini,” kata Kordsh.
Model Pemerintahan Rojava
Profesor dari Missouri State UniversityDavid Romano yang mengkaji Kurdistan menjelaskan bahwa sistem pemerintahan masyarakat Rojava berpijak pada model demokrasi langsung ala Athena. Masyarakat lokal dari tingkat desa ke atas mengorganisir pemerintahan mandiri semaksimal mungkin, seraya menghindari model pemerintahan pusat yang cenderung sentralistis. Dengan model seperti ini, negara menjadi kurang relevan karena pemerintahan berlangsung melalui dewan-dewan komunal.
Orang-orang dari berbagai latar belakang tidak hanya Kurdi terlibat, seperti orang Arab, Asyur, Turkmen Suriah dan Yazidi. Mereka membentuk berbagai kelompok, komite dan komune di jalanan dan lingkungan sekitar mulai dari tingkat desa, kabupaten dan kota. Mereka dari tiap kelompok bertemu per minggu untuk membicarakan masalah yang dihadapi di tempat yang mereka tinggali.
Baca juga:Kurdi, Bangsa tanpa Negara
Pemerintah Rojava menyatakan bahwa sistem politik mereka terbuka untuk semua kelompok etnis dan agama yang menghuni Suriah utara. Namun, bukan berarti tidak ada penolakan dari rakyat di wilayah Suriah utara.
Orang-orang dari golongan Arab Suriah misalnya, di tengah situasi perang sipil menuding kelompok nasionalis Kurdistan seperti milisi YPG sebagai “antek Assad”. Kelompok Arab Suriah sendiri menentang Presiden Bashar al-Assad yang telah mereka perangi selama enam tahun terakhir. YPG membantah tudingan tersebut.
Pada pemilu tahap pertama ini, sebanyak 12.421 kandidat bersaing memperebutkan 3.700 kursi. Pemilu ini diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Tinggi dari Federasi Demokratik Suriah Utara dan akan berakhir pada Januari 2018.
Jalan pemerintahan yang dipilih Rojava tentu saja amat berbeda dari negara-negara Timur Tengah cenderung diwarnai otoritarianisme, kapitalisme kroni, Islamisme, atau bahkan kombinasi dari semua itu.
Struktur politik yang kini sedang dibangun Rojava ini terinspirasi oleh gagasan Abdullah Ocalan, ketua Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang dipenjara di Turki setelah memimpin pemberontakan selama tiga dekade.
Baca juga:Balochistan yang Bergolak di Pakistan
Bagi Turki yang melabeli PKK sebagai organisasi teroris, politik kelompok Kurdi Suriah adalah ancaman nasional, mengingat wilayah Suriah utara berbatasan dengan Turki selatan.
Pembentukan parlemen dari pemilu komunal yang tengah berlangsung juga diragukan kesuksesannya oleh partai Kurdi lainnya seperti Dewan Nasional Kurdi.
Sementara itu, etnis Kurdi di Irak menghadapi eskalasi politik setelah mengadakan referendum yang ditentang keras oleh Baghdad. Panasnya situasi ini kontak senjata antara pasukan Peshmerga dan tentara nasional Irak.
Baca juga:Gonjang-Ganjing Referendum Kemerdekaan Kurdistan Irak
Posisi kebijakan luar negeri AS pun perlu diperhatikan. Dalam kasus ini, Damaskus bukan lagi sekutu AS dan kemungkinan Paman Sam bakal berpihak pada warga Kurdi di Suriah. AS mengambil langkah berbeda di Irak. Baghdad masih sekutu dengan Washington dan sama-sama menolak referendum yang telah dimenangkan oleh rakyat Kurdi di Irak utara.
Dilaporkan Al-Monitor, pada Oktober 2016 lalu Russia juga mendukung federalisme Kurdi Suriah. Meski demikian, dorongan Rusia agar pemerintah Suriah menerima status tersebut ditolak Damaskus dengan dalih mencegah perpecahan.
Nasionalisme Kurdi tidak muncul baru-baru ini saja. Perjuangan bangsa tanpa negara di Timur Tengah ini sungguh panjang. Beberapa negara atau daerah berdaulat Kurdi pernah berdiri namun hanya bertahan seumur jagung.
Baca juga:Umur Singkat Republik Mahabad yang Melawan Pemerintah Iran
Hal ini mewakili fenomena umum yang terjadi sepanjang periode antar Perang Dunia I dan II serta, yakni ketika berbagai macam republik lahir dan mati muda, serta pada masa Perang Dingin. Pendirian Republik Mahabad secara kuat dipengaruhi oleh kehadiran Soviet, yang juga mensponsori beridirnya Republik Gilan di Iran pada 1921.
Di Turki, warga Kurdi pernah mendirikan Republik Ararat yang berpusat di Provinsi Karakose pada 28 Oktober 1927. Belum genap tiga tahun berjalan, militer Turki menghabisi republik tersebut pada September 1930.
Di Iran pada 22 Januari 1946, orang Kurdi mendirikan Republik Mahabad. Umurnya singkat, tidak sampai setahun. Pada 15 Desember wilayah Mahabad kembali jatuh ke tangan Iran.
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf